Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Senin, 12 Desember 2011

KALO LAGI SAKIT... HATI2.....



BAB I
YANG WAJIB DIKERJAKAN
OLEH ORANG YANG SEDANG SAKIT


1.     Rela menerima ketetapan Allah, bersabar menghadapi taqdir-Nya, dan berprasangka baik kepada Rabbnya. Semua itu akan lebih baik baginya. Rasulullah n bersabda:

“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala.”[1]
2.    Orang yang sakit harus benar-benar berada dalam keadaan antara rasa takut dan berharap; takut kepada siksa Allah atas dosa-dosanya dan mengharapkan rahmat-Nya. Yang demikian itu didasarkan pada hadits Anas:
“Bahwasanya Nabi n pernah menjenguk seorang pemuda yang tengah menghadapi kematian lalu bertanya: “Apa yang engkau rasakan?” dia menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar berharap kepada Allah dan sesungguhnya aku takut akan dosa-dosaku.” Maka Rasulullah n bersabda: “Tidak akan bersatu hati seorang hamba kedua hal tersebut dalam keadaan seperti itu, melainkan Allah akan merealisasikan harapannya dan memberikan rasa aman dari apa yang ditakutinya.”
3.    Separah apapun penyakit yang diderita seseorang, dia tidak diperbolehkan untuk mengharap kematian. Yang demikian itu didasarkan pada hadits Ummu Al-Fadhl s: “Bahwasanya Rasulullah n pernah menjenguk mereka, sementara ‘Abbas, paman Rasulullah n tengah mengeluh (karena sakitnya)sehingga mengharapkan datangnya kematian. Maka Rasulullah n bersabda,
“Wahai pamanku, janganlah engkau mengharapkan kematian karena sesungguhnya, jika engkau seorang yang baik lalu diberi penangguhan, engkau bisa menambah kebaikanmu, maka yang demikian itu lebih baik. Adapun jika engkau seorang yang banyak berbuat buruk lalu diberi tangguh kemudian engkau berhenti dari perbuatan buruk tersebut kemudian bertaubat, maka yang demikian itu lebih baik. Karenanya, janganlah engkau mengharapkan kematian.”
Dan yang lainnya dari hadits Anas yang senada dengan hadits tersebut secara marfu’, yang di dalamnya disebutkan:
“Kalau dia terpaksa harus melakukan hal tersebut, hendaklah dia berkata: “Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”
4.    Jika orang sakit itu mempunyai beberapa kewajiban yang harus ditunaikan. Hendaklah ia segera menunaikan kepada yang berhaq jika memang dia tidak merasa kesulitan untuk melakukannya. Jika tidak demikian, hendaklah ia berwasiat mengenai kewajibannya. Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang pada dirinya terdapat kezhaliman pada saudaranya, baik terhadap kehormatan maupun hartanya, hendaklah dia mengembalikan kepadanya sebelum hari Kiamat tiba, yakni hari ketika dinar dan dirham tidak lagi diterima.. Jika dia memiliki amal shalih, maka amal itu akan diambil darinya dan diberikan kepada yang berhaq. Jika dia tidak memiliki amal shalih, maka dosa-dosa orang itu akan diambil dan dibebankan kepadanya.”[2]
5.    keharusan untuk segera merealisasikan wasiat bagi orang sakit. Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah benar bagi seorang muslim yang masih bertahan hidup dua malam, sementara dia mempunyai sesuatu yang hendak dia wasiatkan, melainkan wasiatnya telah tertulisdi dekat kepalanya.”
Ibnu Umar berkata: “Tidak ada satu malam pun berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah n menyampaikan hal tersebut, melainkan aku sudah menyiapkan wasiatku.”[3]
6.    Diwajibkan bagi orang sakit berwasiat kepada kerabatnya yang tidak mewarisinya.
(QS. Al-Baqarah: 180)
7.    Orang yang sakit juga berkewajiban untuk mewasiatkan sepertiga hartanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Bahkan yang lebih afdhal adalah kurang dari sepertiga.
8.    Wasiat harus disaksikan oleh dua orang muslim yang adil. Jika kedua orang tersebut tidak didapatkan, boleh menggunakan dua orang non-muslim, dengan syarat meminta mereka agar benar-benar dapat dipercaya ketika muncul keraguan terhadap kesaksian keduanya, sebagaimana dalam surat Al-Maaidah: 106-108
9.    Adapun wasiat kepada kedua orang tua atau kaum kerabat yang menjadi ahli waris, hal itu tidak diperbolehkan karena wasiat seperti itu telah di-mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat tentang waris. Hal tersebut juga telah dijelaskan Rasulullah ` secara lengkap dan tuntas di dalam khutbahnya ketika beliau menunaikan Haji Wada', beliau ` bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap miliknya sehingga tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[4]
10. Diharamkan bagi seseorang menimbulkan kemudharatan dalam memberikan wasiat, misalnya dengan menafikan hak waris sebagian ahli waris dari hak yang seharusnya mereka terima atau mengutamakan sebagian ahli waris atas sebagian lainnya.
(QS. An-Nisaa’: 7, 12)
Juga hadits Nabi n : “Tidak boleh menimpakan kemudharatan kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Barangsiapa yang menimpakan kemudharatan, maka Allah akan menimpakan kemudharatan kepadanya. Barangsiapa yang mempersulit, niscaya Allah akan mempersulitnya.”[5]
11.  Wasiat yang mengandung unsur kezhaliman adalah bathil dan tidak dapat diterima. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Rasulullah n :
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kita ini yang bukan dari ajarannya, maka ia ditolak.”[6]
Terdapat pada hadits ‘Imran bin Hushain:
“Ada seorang laki-laki, yang ketika menjelang kematiannya dia memerdekakan enam orang budak laki-laki (dia tidak memiliki harta kekayaan selain keenam budak tersebut). Setelah itu, ahli warisnya dating dari pedalaman. Mereka memberi tahu Rasulullah n perihal apa yang telah dilakukan orang tersebut. Maka beliau bertanya: “Apa benar dia melakukan hal tersebut? Lebih lanjut, beliau berkata: “Seandaianya aku mengetahui, insya Allah, aku tidak akan menshalatkannya. Sesudah itu, beliau mengundi di antara mereka sehingga memerdekakan dua diantaranya dan mengembalikan empat budak lainnya.”[7]
12. Ketika kebanyakan orang pada zaman sekarang ini  melakukan bid'ah dalam menjalankan agamanya, apalagi yang menyangkut jenazah, maka suatu hal yang wajib dilakukan seorang muslim adalah berwasiat agar mayatnya diurus dan dimakamkan sesuai dengan sunnah.
(QS. At-Tahrim: 6)
Begitu juga para sahabat Rasulullah n mewasiatkan hal tersebut:

·         Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa ayahnya pernah berkata ketika sakit yang mengantarkannya kepada kematian: “Galikan untukku liang lahad dan letakkanlah diatasku beberapa batu bata, sebagaimana yang dilakukan atas jenazah Rasulullah n.”[8]
·         Dari Abu Burdah, dia berkata, “Ketika menjelang kematiannya, Abu Musa Radhiallahu ‘Anhu pernah berwasiat seraya berkata: “Jika kalian mengangkat jenazahku, maka percepatlah jalan, janganlah kalian mengiringi jenazahku dengan membawa setanggi, janganlah kalian meletakkan sesuatu diatas liang lahadku yang menjadi penghalang antara diriku dengan tanah; dan janganlah kalian mendirikan bangunan di atas kuburanku. Aku juga meminta kalian bersaksi bahwa aku terlepas dari setiap wanita yang mencukur habis rambutnya (sebagai bentuk ratapan), yang memukul-mukul pipinya, atau yang merobek-robek pakaiannya.” Mereka bertanya: “Apakah engkau pernah mendengar sesuatu tantang hal tersebut?” Dia menjawab: “Benar, yaitu dari Rasulullah n .[9]
·         Dari Huzaifah, dia berkata: “Jika aku mati kelak, janganlah kalian mengabarkan kematianku kepada siapapun karena sesungguhnya aku takut hal itu akan menjadi na’yun (pengumuman kabar kematian). Sebab aku pernah mendengar Rasulullah  n melarang mengumumkan kabar kematian.”[10]
Di dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi Rahimahullah berkata: “Disunnahkan secara mu’akkad agar orang yang meninggal dunia untuk berwasiat supaya menjauhi bid’ah yang menjadi adat istiadat dalam pengurusan jenazah, dan hal tersebut ditekankan melalui perjanjian.”


WALLAHU A’LAM


[1]  Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Al-Baihaqi, dan Ahmad.
[2]  HR. Bukhari, Baihaqi, dan selain keduanya.
[3]  HR. Syaikhaani, para penulis kitab As-Sunan, dan selain mereka.
[4]  HR. Abu Dawud & at-Tirmidzi menilainya hasan. Juga al-Baihaqi, hadits ini juga memiliki syahid (penguat) yang cukup banyak. Lihat kitab Majma’uz Zawaaid.
[5]  HR. ad-Daruquthni (no: 522), al-Hakim (II/57-58) dari Abu Sa’id Al-Khudri.
[6]  HR. Syaikhani dalam kitab shahihain, Ahmad, dan yang lainnya. Lihat kitab Irwaa-ul Ghaliil, hal: 88.
[7]  HR. Ahmad (IV/446), Muslim. Demikian juga dengan ath-Thahawi, al-Baihaqi dan yang lainnya.
[8]  HR. Muslim, al-Baihaqi (III/407), dan selain keduanya.
[9]  HR. Ahmad (IV/397), dan al-Baihaqi (III/395) dengan lengkap serta Ibnu Majah dengan sanad hasan.
[10]  HR. at-Tirmidzi (II/129) dan dia berkata hadits hasan.

0 komentar:

Posting Komentar