Sesuatu Yang Tak Ternilai
- “Hujanlah sesukamu, toh rinainya akan kami tanggung semua” (Harun Al Rasyid). Kalimat yang terucap dari bibir sang Khalifah tersebut begitu singkat dan sederhana. Sang Khalifah seperti tidak peduli akan hujan turun tiada henti atau bahkan berhenti turun. Itu semua tidak berpengaruh terhadapnya. Meskipun ia pun sadar akan konsekuensi rinai yang muncul saat hujan turun, ia tak tergoyahkan. Tidak ada ketakutan ataupun kekhawatiran akan resiko yang muncul. Ia sadar segala sesuatu sudah diatur dengan cermat dan teliti. Ada zat yang berkuasa atas segalanya. Zat yang ketentuannya tak bisa ditolak ataupun dihindari.Terdapat ketabahan, keberanian, dan juga prasangka baik atas apapun yang terjadi. Ini didasari atas keyakinan bahwa apapun yang ditetapkan Alloh adalah suatu kebaikan. Maka bagi orang-orang yang sangat kuat keyakinannya dan sangat dalam cintanya, apapun yang terjadi pada dirinya tidak sampai mengubah prasangka baiknya kepada Alloh. Tidak ada yang ia takuti. Hari ini ataupun esok. Alloh sajalah tumpuan terakhir, harapan yang tak akan pernah mengecewakan, dan Sang Penghitung yang Maha Teliti tiada dua.
Ada sebuah permata di hati orang-orang beriman yang saat ia terasa kelezatannya, segalanya terlihat begitu indah. Permata itu adalah iman. Saat iman meraja, tak ada lagi duka dan derita. Ini bukan karena tidak ada luka dan perih, bukan. Ada duka dan luka. Tapi luka yang ada tidak lagi terasa sakit tertutupi kesadaran akan kenikmatan yang akan diperoleh kelak sebagai hadiah tak terukur dari Alloh. Apabila ini terpatri, seorang hamba akan mampu berteriak lantang menyuarakan kebenaran, berjalan tegap diatas bara celaan orang, gigih membela kebenaran dan keadilan. Ia tak akan gentar akan terpaan gelombang yang menggila, duri, dan amukan badai kehidupan.
Iman adalah bekal seorang mukmin untuk mengarungi kehidupan. Mencuat dari lubuk hati, iman merupakan bentuk kesadaran yang sederhana akan kehidupan. Bahwa setiap kehidupan dan kematian berada di tangan Alloh. Termasuk juga didalamnya rizqi dan pengalaman hidup yang akan muncul, baik berupa kesenangan ataupun kesusahannya.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasululloh SAW pernah bersabda akan tiga kunci merasakan kelezatan iman: cintai Alloh dan Rasul-Nya diatas segalanya, cintai seseorang hanya karena Alloh semata, dan membenci kekufuran untuk dirinya seakan neraka terletak dihadapannya jika ia melakukannya.
Alloh adalah zat yang paling layak untuk dicintai. Ia pantas untuk dinomorsatukan. Karena ia adalah Sang Pencipta, Maha Pemurah yang memiliki cinta yang tak bermusim. Alloh juga memiliki ampunan dan rahmat yang tiada batas. Bagaikan samudra tak berpantai. Tak bertepi. Cintailah Alloh saja karena ia akan membalas berlipat dan tak akan membuat kecewa, sedih dan sakit. Sementara Rasulullah adalah sosok yang lembut, berahlaq mulia, penyantun, dan sangat dalam kasihnya untuk segenap umat. Beliau berpribadi sempurna dan pembawa suluh penerang penjuru alam raya.
Cintailah juga saudara kita hanya karena Alloh, karena sifat cinta kita lemah. Kita butuh Alloh untuk menjaga selalu perasaan itu. Tiada keabadian tanpa izin dan kemurahan Alloh. Kita diciptakan dengan segala keterbatasan diri. Cinta saudara karena Alloh akan sangat mengagumkan manakala kita mengaca kepada hubungan kaum Anshar dan Muhajirin. Berbagai kisah yang menyentuh menggambarkan ketulusan dan sikap itsar yang luar biasa. Hinnga ada diantara mereka yang bersedia memberikan istri untuk saudaranya. Cinta karena Alloh akan membuat segalanya tampak sederhana dan penuh makna.
Membenci kekufuran adalah syarat ketiga untuk merasakan lezatnya iman. Memang tidak mudah karena iman adalah sesuatu yang tak ternilai. Tak ternilai karena tidak didapatkan secara percuma. Kecuali Alloh berkehendak lain. Tapi yakinlah bahwa hanya dengan iman saja jiwa akan terbebas dari sifat-sifat buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia. Muhammad Iqbal melukiskan dengan heroik dalam puisinya gambaran jiwa yang tercelup iman dan terhiasi keberanian yang menggelora:
Gema seruan kita terdengar melintasi gereja-gereja di Britania.
Sebelum skuadron membebaskan negeri-negeri.
Mengapa kau lupakan Afrika.
Jangan kau lupakan hamparan saharanya.
Bumi itu mendayung laksana pijar bola api.
Bentengkan dada kita sebagai pedang.
Mengapa kita gentar saat kezaliman menggila.
Kesewenangan merajalela.
Laksana kilatan kelewang yang hanya menerpa bunga-bunga terkubur rumput liar.
Mengapa sirna nyali kita pada penguasa bengis yang hendak memerangi kita?
najwasaja@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar