Sesuatu Yang Tertunda
- Saya Gadis, 29 tahun, sebelumnya tak pernah membayangkan untuk mendapatkan seorang pendamping melebihi mimpi-mimpi saya semenjak remaja. Bahkan sampai hari ini, saya merasa belum terbangun dari mimpi tersebut karena betapa inginnya saya terus menerus bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya ini.Seperti kebanyakan remaja, saya juga sangat mendambakan seseorang yang kelak hadir mengisi hari-hari saya adalah seseorang yang tampan, punya penghasilan lumayan, dan baik (baik terhadap saya, orangtua juga adik-adik). Perjalanan waktu yang telah saya lewati, apalagi kemudian ketika saya harus merantau ke Jakarta bertarung dengan jutaan orang lain yang mengais harapan di kota besar ini, menambah satu syarat lagi: harus mapan (kalau perlu punya kendaraan).
Begitulah Jakarta, orang kampung yang sederhana, lugu dan polos seperti saya pun disulapnya menjadi orang yang glamour, borjuis, hedonis bahkan cenderung matre. Kalau dulu masih suka senang (cinta?) dengan teman laki-laki di kampung hanya sekedar kemahirannya menunggang kuda atau menjinakkan kerbau ngamuk di sawah, kagum dengan laki-laki bertelanjang dada yang berani meluncur dari atas jembatan ke kali dengan berbagai gaya salto. Kini, yang menjadi ketertarikan bagi saya adalah pria-pria yang bertubuh atletis, punya pekerjaan bagus (dan penghasilan bagus juga tentunya), memiliki kendaraan, dan (ini tidak boleh tidak) Tampan!
Kubayangkan setiap pulang setahun sekali ke kampungku di sebelah wetan Kota Semarang, Puji, Ambar, Desi, Rina, Eko, Yani, Wati dan semua wanita teman-teman bermainku di kampung akan iri dengan apa yang kuraih di kota, pakaian bagus, penampilan yang bukan lagi seperti kebanyakan gadis desa, dan dikawal pria tampan dengan mobil mentereng. Duh, sudah pasti bangga pakne dan mbokne memiliki anak yang berhasil seperti saya.
Namun ternyata, semua itu memang cuma mimpi, bahkan mimpi buruk yang membuahkan aib bagiku. Bukan lagi kebanggaan yang dirasakan oleh pakne dan mbokne, bahkan adik-adikku pun malu memiliki mbakyu yang hamil diluar nikah. Di kampungku, seorang gadis yang hamil diluar nikah adalah aib besar, bukan hanya bagi si gadis dan keluarganya, tapi juga orang-orang se kampung. Nasi sudah menjadi bubur, saya cuma bisa menyesal setelah menyadari bahwa tidaklah banyak yang diharapkan dari gadis cantik sepertiku yang tidak memiliki pendidikan tinggi, selain kecantikannya itu semata.
Meski saya coba meyakinkan pakne dan mbokne agar mau menerima saya (dan anak saya), saya mulai berpikir bagaimana seorang dengan “anak diluar pernikahan” bisa tetap bertahan hidup di kota. Tidak ada sanak famili, entah siapa yang akan menjadi pelindung kami. Saya menangis sejadinya, untunglah perusahaan tempat saya selama ini bekerja masih memperbolehkan saya bekerja, alhamdulillaah saya masih punya sesuatu untuk membeli susu anak dan membayar pengasuh bayi. Dan benar dugaan saya, keluarga di kampung belum bisa menerima saya, menurut mereka, terlalu besar beban malu yang sudah ditanggung mereka akibat cela anaknya ini.
Ya Allah, saya harus tegar. Ya, saya baru sadar, sudah sekian lama saya melupakan-Nya. Mungkinkah ini cara Dia untuk mengembalikan diri ini ke jalan yang benar? Entahlah, yang jelas saya merasa ketenangan dan kedamaian setelah saya mulai lagi bersentuhan dengan-Nya lewat sholat (alhamdulillah saya hanya perlu memperlancar kembali bacaan-bacaannya yang hampir terlupa), dzikir juga membaca Qur’an, walaupun terbata-bata, untungnya dulu orangtua saya menyekolahkan semua anak-anaknya di madrasah sejak ibtida’iyah sampai aliyah.
Saya semakin rajin beribadah dan berniat tidak akan pernah lagi melupakan Sang Khalik, Dia begitu dekat, dan saya rasakan cinta-Nya yang teramat sangat terhadap hamba yang hina ini. Disaat orang-orang terkasih tidak ada lagi yang mau menerima, hanya Dia yang dengan kelapangan Tangan-Nya seolah memelukku erat. Bahkan, atas bimbingan seorang teman sekantor –sebut saja Niet- di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan kemarin saya mengenakan jilbab. Subhanallaah, sejuk dan damai yang terasa saat itu, saya tidak peduli jika dikemudian hari akan ada suara-suara sumbang yang menganggap busana muslimah yang saya kenakan saat ini sekedar untuk menutupi masa lalu.
Tidak! Bagi saya, masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup yang bisa menjadi pelajaran. Bagian kelam dalam rentang yang pernah dilalui tidak perlu disesali, apalagi malu dan berusaha menutupi. Justru saya merasa bersyukur, setelah apa yang pernah saya alami dalam masa-masa kelam itu, Allah masih berkenan mengangkat saya dari kubangan penuh dosa, dan menyelamatkan hamba-Nya ini. Malah, saya merasa prihatin jika sepulang kantor sore atau malam hari di tempat-tempat tertentu menyaksikan mereka yang masih tenang dan bangga dengan dosa-dosa dalam kehidupan malam. Bagi saya, itu semua sudah berlalu, dan tetap akan saya ingat sebagai bekal hikmah agar tak mengulanginya lagi.
Alhamdulillah, keterbukaan yang menjadi prinsip pribadi saya, termasuk tidak menyembunyikan masa lalu saya inilah yang mendatangkan nikmat baru. Niet memperkenalkan kepada saya, seorang pria shaleh dengan pekerjaan yang lumayan, santun, cerdas dan alhamdulillah lumayan bagus penampilannya. Sebelumnya saya memang teramat akrab dengan Niet, hingga dia tahu semua yang pernah saya alami. Dan kata Niet, atas dasar itulah pria ini berkeinginan ‘tidak sekedar berkenalan’ dengan saya. Tentu saja saya sangsi, pria dengan berbagai kelebihan sepertinya, tentu saja masih sanggup mencari wanita baik-baik yang berlatar belakang baik, tidak memiliki masa lalu yang kelam.
Mau tahu apa kelanjutannya? Singkat saja. Dengan menggunakan wali hakim (karena orang tua saya tidak mau menikahkan saya, mungkin belum bisa memaafkan anaknya ini), saya dan pria itu menikah 25 Desember lalu. Prosesnya begitu cepat, dan mudah –saya yakin Allah yang mengatur semua kemudahan ini- sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan semuanya. Alhamdulillah dia bisa menerima saya apa adanya, juga anak saya. Bahkan keluarganya pun menyambut saya seperti halnya seorang bidadari karena kebetulan suami saya adalah anak pertama dari 4 bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Dan anak saya, mereka menganggapnya ‘malaikat kecil’ yang membuat suasana rumah menjadi penuh keceriaan.
Selesai? Tidak! Meski apa yang kuraih saat ini melebihi dari semua mimpi yang pernah singgah dalam setiap angan dan tidurku, masih tersisa satu mimpi, yakni semoga –sekali lagi saya meminta kepada-Mu ya Rabb- keluarga di kampung mau memberikan maafnya dan menerima kami. Akankah? Wallaahu’a’lam bishshowaab. (hidupkembali@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar