Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Orang Yang Lebih Berhak Menjadi Imam Sholat


Orang Yang Lebih Berhak Menjadi Imam Sholat

Tertib urutan orang yang lebih berhak menjadi imam sholat  telah disebutkan dalam hadits-hadits nabawi, antara  lain :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Dari Abu mas’ud Uqbah bin Amru Al Anshari bahwasnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Yang mengimami sebuah kaum adalah orang yang paling bisa membaca (aqra’) Al Qur’an. Jika mereka sama dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang mengimami adalah orang yang lebih tahu tentang as sunah. Jika mereka sama dalam hal as sunah, maka yang mengimami adalah orang yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seorang (tamu) mengimami orang lain (tuan rumah dll)  yang berkuasa (di rumahnya, di masjidnya, di majlisnya dll), dan janganlah seorang (tamu) duduk di kursi yang dikhususkan untuk tuan rumah kecuali bila tuan rumah mengizinkannya.”[1] Dalam lafal yang lain :

فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا

“ …Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah yang lebih tua usianya.”[2]
Berdasar beberapa hadits ini, para ulama menyebutkan urutan orang yang lebih berhak menjadi imam sholat adalah sebagai berikut :

(1)- Al Aqra’ bil Qur’an
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari Al Aqra’ bil Qur’an, apakah orang yang lebih banyak hafalannya ataukah orang yang lebih bagus bacaannya. Perbedaan pendapat mereka dalam masalah ini adalah sebagai berikut :
-          Orang yang paling / lebih banyak hafalan Al Qur’annya. Orang yang hafal ayat-ayat Al Qur’an lebih banyak, didahulukan atas orang lain, sekalipun atas orang yang lebih bagus bacaannya. Pendapat ini merupakan pendapat imam Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauri, Ishaq bin rahawaih, Abu Yusuf dan Ibnu Mundzir. Pendapat ibi juga diikuti oleh sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Di antara ulama kontemporer yang berpegang dengan pendapat ini adalah syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin.
-          orang yang paling / lebih bagus bacaan Al Qur’annya. Orang yang hafalan ayat-ayat Al Qur’annya lebih sedikit, namun bacaannya bagus, didahulukan atas orang yang hafalan ayat-ayat Al Qur’annya lebih banyak namun bacaannya kurang bagus. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, sebagian besar madzhab Syafi’i dan banyak ulama madzhab Hambali.
Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat berdasar hadits shahih :

عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنَ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

Dari Amru bin Salamah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Jika sholat telah tiba, hendaklah salahs eorang kalian mengumandangkan adzan dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya…”[3]
Bila mereka mempunyai hafalan Al Qur’an yang sama banyak, maka lebih bagus bacaannya dan lebih sedikit kesalahannya adalah orang yang lebih berhak menjadi imam. Berdasar keumuman hadits :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ


“ Yang mengimami sebuah kaum adalah orang yang lebih bisa membaca Al Qur’an.”

(2)- Orang yang lebih Faqih (paham hukum-hukum syar’i).
Berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam :

فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ


“ Jika hafalan Al qur’an mereka sama, maka yang menjadi imam adalah yang lebih mengetahui as sunah (nabawiyah).”
Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang lebih hafal Al Qur’an (aqra’ li kitabillah) dan orang yang lebih paham as sunah (afqah) lebih berhak menjadi imam, melebihi orang-orang lain. Namun mereka masih berbeda pendapat, mana yang lebih berhak menjadi imam ; aqra’ atau afqah ?
(a)- Orang yang lebih paham dengan hukum-hukum syar’i lebih berhak menjadi imam, melebihi orang yang lebih banyak hafalan Al Qur’an. Ini pendapat imam Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauri, Ishaq bin Rahwaih, Ahmad dan para ashabu ra’yi.  Berdasar hadits Abu Mas’ud di atas.
(b)- Orang yang lebih paham hukum-hukum syar’i lebih didahulukan atas orang yang lebih hafal Al Qur’an. Ini pendapat imam Atha’, Malik, al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur.

(3)- Orang yang lebih Dahulu Hijrah. Maksudnya, orang yang lebih dahulu berhijrah (meninggalkan) daarul harbi menuju daaru Islam lebih berhak menjadi imam. Hijrah merupakan sebuah ketaatan dan amalan mendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, orang yang lebih dahulu berhijrah ; lebih berhak menjadi imam. Berdasar riwayat shahabat Abu Mas’ud di atas.

(4)- Orang yang lebih Dahulu Masuk Islam. Berdasar riwayat shahabat Abu Mas’ud di atas.

(5)- Orang yang lebih Tua. Jika dalam hal hijrah sama ; baik karena berhijrah bersamaan atau sama—sama tidak berhijrah, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah yang lebih tua usianya. Berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada shahabat Malik bin Huwairits dan seorang sahabat lainnya :

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“ Sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat. Jika waktu sholat telah tiba, hendaklah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan hendaklah yang mengimami kalian adalah yang paling tua usianya.”[4]

(6)- Orang yang lebih Bertaqwa. Dalam pandangan dien, ketaqwaan merupakan sebuah keutamaan dan bahkan keutamaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seorang yang bertaqwa lebih utama menjadi imam. Allah berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ


“ Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa.” (QS. A Hujurat ;13).
Juga berdasar hadits penunjukkan shahabat Abu Bakar sebagai imam ketika Rasulullah sakit keras di akhir hayatnya.

(7)- Orang yang lebih Mulia. Dalam pengertian mulia nasabnya dan kedudukannya di mata masyarakat terhormat. Imam Al Baihaqi dan beberapa ulama lain berdalil dengan hadits shahih ;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda,” Manusia mengikuti Quraisy dalam urusan (kepemimpinan) ini.  Orang yang Islam mengikuti orang Quraisy yang Islam. Orang yang kafir mengikuti orang Quriasy yang kafir.”[5]
Sekalipun hadits ini berbicara tentang kepemimpinan, namun dari hadits ini disimpulkan bahwa kepeimpinan dalam sholat (imam) juga masuk dalam makna hadits ini.

(8)- Orang yang mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan dalam ingkup kecil seperti tuan rumah atas tamunya, imam masjid rawatib atas seorang musafir, atau dalam lingkup luas (penguasa wilayah).  Berdasar hadits Rasulullah :

وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang (tamu) mengimami orang lain (tuan rumah dll) yang berkuasa (di rumahnya, di masjidnya, di majlisnya dll), dan janganlah seorang (tamu) duduk di kursi yang dikhususkan untuk tuan rumah kecuali bila tuan rumah mengizinkannya.”

(9)- Orang yang merdeka dan tidak buta, diutamakan atas seorang budak atau orang yang buta. Hal ini supaya tugas imam bisa dijalankan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bish Shawab.


[1] - HR. Muslim, Kitabul Masajid Bab Man Ahaqqu bil Imamah no. 1532., Tirmidzi no. 235, Abu daud no. 582, An Nasa’i 2/76, Ad daruquthni 1/280,Al Baihaqi 3/90, Ibnu Majah no. 980, Ahmad 5/272.
[2] - HR. Muslim no. 1534.
[3] - HR. Bukhari Kitabul Maghazi no. 4302. Abu Daud Kitabu Sholah. An Nasa’i Kitabu Adzan. Ahmad 3/475.
[4] - HR. Bukhari Kitabul Adzan no. 631.
[5] - HR. Bukhari Kitabul Manaqib no. 3495, Muslim Kitabul Imarah no. 4702.

0 komentar:

Posting Komentar