Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

MENJAMA’ SHALAT KARENA HUJAN


MENJAMA’ SHALAT  KARENA HUJAN

        Disyari’atkannya menjama’ shalat karena hujan

أخبرنا أبو الحسن الشيزي, أنا زاهر بن أحمد, أنا أبو إسحاق الهــــــــاشمي , أنا أبو مصعب , عن مالك , عن أبي الزبير المكي , عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم  الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا, وَ المَغْرِبَ وَالعِشَاءَ جَمِيْعًا, فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ مَالِكُ : أَرَى ذَلِكَ كـَانَ فِيْ مَطَرِ .
Artinya : Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar dan antara shalat maghrib dan isya’ di luar waktu yang menakutkan dan di luar waktu safar. Malik berkata : saya berpendapat itu adalah pada waktu hujan.”  (Hadits shahih riwayat Al Bukhari, Muslim, Malik )[1]
          Dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم  الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا بِالمَدِيْنَةَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ أَبُوْ الزُّبَيْرِ : فَقُلْتُ لِسَعِيْدِ بنِ جُبَيْر: لِمَ فَعَلَهُ ؟ قَالَ : سَأَلْتُ ابنُ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِيْ , فَقَالَ: لِئَلاَ يَحْرَجَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِهِ.
Artinya: Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : Bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar di kota Madinah tidak karena takut ataupun safar. Abu Zubair berkata : aku berkata pada Sa’id bin Jubair, kenapa beliau mengerjakannya ? ia berkata : aku telah bertanya kepada Ibnu Abbas seperti apa yang telah engkau tanyakan (kepadaku), ia (Ibnu Abbas) berkata: supaya tidak kesusahan seorangpun dari umatku. (Hadits riwayat muslim )[2]

Pendapat para ulama’

        Para ulama’ saling berselisih tentang bolehnya menjama’ shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ dikarenakan hujan tapi tidak ketika safar.

§ Pendapat yang membolehkan

          Dari mereka ada yang membolehkan diantaranya adalah ; Ibnu Umar, Said bin Musayab, Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan kebanyakan fuqaha’ Madinah. Itu juga merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’ie, dan Ahmad.[3]
-         Imam Asy Syafi’I berkata :”Disyari’atkan menjama’ dzuhur dan ashar.”[4]Disebutkan pula bahwa yang demikian juga menengahi dari pendapat imam Malik yang membedakan antara shalat siang dan shalat malam, yang demikian itu terjadi ketika hujan.”[5]
-         Imam Malik mengkhususkan menjama’ pada shalat maghrib dan isya’ saja.[6]
-         As Subki bekata :”Penafsiran imam Malik menuntut pembolehan jama’ antara shalat dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya dikarenakan udzur hujan.”[7]Para Sahabat imam Asy Syafi’I mengatakan bahwa menjama’ antara dua shalat bagi orang yang menetap (bukan safar), dikhususkan bagi orang yang rumahnya jauh dari masjid dan dia kesulitan mendatanginya. Adapun orang yang rumahnya dekat dengan masjid maka tidak sah baginya untuk menjama’. Mereka juga mengecualikan imam tetap karena dengan tidak adanya jama’ah akan gugur (tidak terlaksana).[8]
-         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Diperbolehkan menjama’ Shalat dalam keadaan yang sangat dingin, gelap gulita dan semisalnya. Meskipun belum turun hujan, ini adalah yang lebih benar dari dua pendapat diantara ulama’ dan yang demikian itu adalah lebih utama daripada shalat di rumah, bahkan meninggalkan jama’ dalam shalat di rumah adalah bid’ah yang menyelisihi sunnah. Adapun yang sunnah adalah melaksanakan shalat yang lima di masjid secara berjama’ah dan yang demikian itu adalaha lebih utama daripada shalat di rumah menurut kesepakatan para ulama’.”[9]
-         Syaikh Masyhur bin Hasan Salman berkata:”Yang benar bahwa menjama’ dalam keadaan seperti ini adalah dibolehkan baik bagi imam ataupun yang lainnya.”[10]
-         Imam Malik ditanya tentang suatu kaum yang rumahnya dekat denga masjid, untuk melangkah ke masjid saja hanya membutuhkan beberapa langkah. Juga mereka yang rumahnya jauh dari masjid. Bagaimana menurut pendapat anda tentang mereka apakah semuanya diperkenankan untuk menjama’ shalat ketika turun hujan?, beliau berkata:”Aku tidak mengetahui suatu kaum ketika adanya shalat jama’, melainkan semuanya ikut, baik yang rumahnya dekat ataupun jauh adalah sama saja.”[11]
-         Muhammad bin Rusyd berkata (ketika mengomentari pendapat imam Malik) :”Beginilah adanya sebagian perkataannya, karena jika jama’ dibolehkan (dikarenakan memberatkan) bagi mereka yang jauh, maka termasuk pula yang dekat. Hal tersebut karena tidak sah bagi mereka untuk menyendiri dari yang lainnya, maka mereka shalat setiap yang lima waktu pada waktunya secara berjama’ah karena jika tidak, maka akan memecah jama’ah, begitu juga jangan sampai mereka meninggalkan jama’ah.”[12]
-         Imam Asy-Syafi’ie dan Abu Tsaur mensyaratkan hendaknya hujan itu terjadi (turun) ketika mulai memasuki waktu shalat pertama (dzuhur atau maghrib) dan hujan belum berhenti sampai shalat yang kedua (ashar atau isya’) dilaksanakan. Sedangkan ulama’ yang lain tidak mensyaratkan seperti itu. Dan disyaratkan juga dilakukan di masjid yang digunakan untuk melaksanakan shalat jama’ah. Imam Malik menambahkan dari perkataan Umar bin Abdul Aziz hendaknya jama’ itu dilakukan ketika hujan yang mengakibatkan tanah itu basah (becek) dan ketika dalam keadaan gelap (langit menjadi gelap karena hujan mendung).[13]
§  Pendapat yang tidak membolehkan
          Sedangkan ulama’ yang tidak membolehkan menjama’ shalat karena hujan adalah Al-Auza’ie dan ashaburro’yi.[14]serta Abu Hanifah dan Al Mazani.[15]
   - Menurut Abu Hanifah menjama’ dua shalat secara mutlak, baik dzuhur dan ashar maupun maghrib dan isya’ dalam satu waktu adalah tidak dibolehkan.[16]

Kesimpulan

-         Bahwa yang menjadi kelaziman syaratnya (shalat jama’ mathar) adalah jalan ke masjid, hal yang memberatkan, larangan bagi yang keluar kepadanya sebelum adanya udzur, seperti hujan dan lainnya.
-         Bahwa imam Asy Syafi’I berkata:” Menjama’ berlaku baik hujannya sedikit maupun banyak, tidak menjama’ kecuali bagi orang yang keluar dari rumahnya menuju ke masjid ataupun sedikit banyaknya dan jauh dekatnya, tidak menjama’ di rumahnya karena nabi shalallahu 'alaihi wa salam menjama’ di masjid dan orang yang menjama’ di rumahnya adalah termasuk menyelisihi orang yang shalat di masjid.”[17]
-         Bahwa pada dasarnya suatu ibadah itu adalah berkumpulnya jama’ah atasnya dan bukannya terpecah, sehingga ada yang mengatakan: “Menjama’ adalah dasar dari suatu ibadah, maka jika telah sampainya ibadah tersebut dan tidak dilaksanakannya jama’, maka hal tersebut merupakan kekurangan dia dalam kebenaran, adanya penyakit di dalam hatinya, atau bid’ah, tidak adanya adab, ujub ataupun riya’ dan sombong.”[18]
          Jadi dari hadits dan keterangan ulama’, bahwa menjama’ shalat karena hujan itu adalah boleh. Ini adalah kebanyakan dari pendapat ulama’ dengan tujuan supaya meringankan atau tidak memberatkan kita.

     Dafatar Pustaka
-         Bukhari
-         Muslim
-         Malik dalam al-muwatho’
-         Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah,
-         Muqaddimah Ibnu Rusyd
-         Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab
-         Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin
-         Bidayatul Mujtahid
-         Al Jauharin Naqyi Minhalul Adbi Al Maurud
-         Nihayatul Muhtaj
-         Zaadul ma’ad
-         Al Fiq ‘ala Madzahib Al Arba’ah
-         Majmu’ Fatawa 
-         Al Fatawa Al Kubra
-         Al Bayan wat Tahshil
-         Ad Dinul Khalis
-         Al Umm Al Lama’ fil Hawadits wal Bida'
-         Al- Mughni




[1] Hadits shahih riwayat Bukhari 543, 562 dan 1174, Muslim 49/705 dan 50/705, Malik dalam al-muwatho’ 4/332 dan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah:3/ 112, no. 1043
[2] Hadits riwayat muslim, no. 50/705 dan Al Baghawi: 3/ 112-113, no. 1044
[3] Lihat Syarhus Sunnah: 3/ 112
[4]Al Muwaththa’:1/ 144/ 4, Syarhuz Zarqani:1/ 293, Muqaddimah Ibnu Rusyd;1/ 112, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab:4/ 321. Lihat dalam Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 418
[5] Lihat dalam Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 418
[6] Bidayatul Mujtahid:1/ 173, Al Jauharin Naqyi:168. lihat dalam Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 418
[7]  Al Minhalul Adbi Al Maurud: 7/ 66
[8] Nihayatul Muhtaj: 2/ 282, Zaadul Muhtaj: 1/ 312, Al Fiq ‘ala Madzahib Al Arba’ah: 1/   dan lihat Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 423-424
[9] Lihat Majmu’ Fatawa :  dan Al Fatawa Al Kubra: 2/ 350, no. 293/209
[10] Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 424
[11] Al Bayan wat Tahshil: 1/ 403-404, lihat  Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 424
[12] Al Bayan wat Tahshil: 1/ 403-404
[13] Lihat Syarhus Sunnah: 3/ 112
[14] Lihat Syarhus Sunnah: 3/ 112
[15] Lihat AL Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab: 4/ 321
[16] Lihat Ad Dinul Khalis: 4/ 54 dan Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab: 4/ 321
[17] Al Umm: 1/ 95
[18] Al Lama’ fil Hawadits wal Bida' : 1/ 469- 470

0 komentar:

Posting Komentar