Mensikapi Perbedaan Furuiyyah
Dalam Puasa Arofah dan Iedul Adha
Perselisihan dalam masalah furu atau ijtihadi (baca: yang diperselisihkan), ternyata masih saja berdampak kepada perpecahan antara umat Islam. Padahal masalah furu’ seyogyanya tidak berdampak kepada hal yang negatif. Banyaknya pendapat dalam masalah-masalah furu’ mestinya menjadi rahmat bagi umat sehingga mereka bisa memilih banyak pendapat yang kesemuaanya itu adalah benar.
Termasuk di dalamnya adalah permasalahan menentukan hari arofah yang bertepatan dengan wuqufnya para jama’ah haji di Arofah, yang tentunya akan berdampak juga pada penentuan hari raya Iedul Adha itu sendiri. Bagaimana mensikapi dengan adil dalam perbedaan antara yang berkeyakinan tanggal 10 februari sebagai hari arofah bertepatan dengan tanggal sembilan dzul-hijjah dan yang berkeyakinan tanggal 11 februari sebagai hari arofah. Yang tentunya berakibat pada perbedaan pelaksanaan hari raya iedul adha itu sendiri???.
Dari situ perlu kiranya dikaji sejauhmana ulama mensikapi, sehingga tidak hanya akal-akalan atau berdasarkan pada prasangka yang tidak berlandaskan argumentasi yang benar yang didasarkan pada Al-kitab dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (fatawa qubro’:2/260) diantaranya, sebagai seorang Mujtahid telah ditanya tentang sebuah penduduk yang sebagian diantara mereka melihat hilal dzul Hijjal, akan tetapi hal itu belum diakui oleh penguasa setempat: apakah bagi mereka dibolehkan melaksanakan shaum di hari yang dzohirnya hari ke-9 dzul-hijjah tetapi hakikatnya sesuai dengan hasil ru’yahnya adalah hari ke-10 dzul-hijjah.?
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah membolehkan mereka untuk puasa di hari yang dzohirnya ke-9 dzul-hijjah yang telah dikenal khalayak umum, walaupun pada hakikatnya hari itu telah masuk tanggal ke-10 dzul-hijjah sesuai dengan hasil ru’yah yang mereka lakukan.
Secara umum ada dua argumentasi yang menguatkan pendapat ini; pertama, hadits Rosulullah saw yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, ia bersabda,” Puasamu di hari ketika kalian berpuasa dan berbukamu ketika kalian berbuka. Dan menyembelihmu ketika kalian menyembelih”. HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi. Yang telah dia shohihkan. Dan hadits yang bersumber dari ‘Aisiyah ra, Rosullah saw bersabda,” berbukamu ketika manusia berbuka. Dan menyembelihmu ketika manusia itu menyembelih”. HR. Turmudzi
Kedua, keterkaitannya dengan kata syahr dan hilal. ‘Aisyah ra telah berkata,’sesungguhnya hari Arofah itu hari yang diketahui oleh manusia. Hal itu berdasar, bahwa Allah ta’ala telah mengaitkan hukum tersebut dengan hilal dan syahr. Allah ta’ala telah berfirman dalam surat Al-baqoroh: 189, “mereka bertanya kepadamu tentang “Ahillah”-bulan tsabit- Katakanlah:”bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. Kata “hilal” berarti sesuatu yang diberitakan dengan terang-terangan. Maka apabila hilal itu nampak di langit dan belum diketahui dan dikenal oleh khalayak manusia, maka belum terkategori hilal.
Begitu pun dengan kata ‘Syahru’ diambil dari kata ‘syuhroh’ yang berarti terkenal, maka jika belum dikenal diantara manusia maka belum dikategorikan bulan itu sudah masuk. Perkiraan bahwa syahr telah muncul di langit, lalu memastikan bahwa malam itu merupakan permulaan bulan, baik hal itu terkenal dikalangan manusia atau tidak, jelas tidak berdasar. Sesungguhnya permasalahannya tidak sesederhana itu, karena nampaknya syahr dan dikenal oleh khalayak manusia sesuatu yang harus ada. Sehingga dalam haditsnya Rosulullah saw bersabda: “puasa kalian di hari kalian berpuasa, buka kalian di hari kalian berbuka, dan qurban kalian di hari kalian berqurban”
Dan melaksanakan puasa yang diragukan, apakah ia hari kesembilan atau kesepuluh dari bulan dzul hijjah, diperbolehkan oleh kalangan ulama dan tidak ada perselisihan dalam hal itu, karena asalnya tidak ada hari kesepuluh. Sebagaimana jika mereka ragu para malam ke –30 di bulan romadlon; apakah telah muncul hilal atau belum, sesungguhnya mereka di hari yang diragukan itu boleh melaksanakan puasa menurut kesepakatan para ulama. Adapun hari syak yang dimakruhkan untuk berpuasa adalah hari syak di awal romadlon; karena asalnya adalah masuk bulan sya’ban.
Sikap Yang Dibenarkan
Dalam mensikapi perbedaan dalam puasa Arofah, sangat erat kaitannya dengan penentuan hilal syawwal. Mengenai hilal syawal, bila seseorang melihatnya dia tidak diperkenankan berbuka dengan terang-terangan menurut kesepakatan para ulama. Kecuali jika ada udzur yang membolehkan dia berbuka, seperti sakit dan bersafar. Tetapi bolehkah dia berbuka secara sembunyi-sembunyi?. Ada dua pendapat, dan yang paling benar tidak dibolehkan berbuka dengan sembunyi-sembunyi. Yaitu termasuk pendapatnya madzhab maliki dan Ahmad.
Adapun yang membolehkan berbuka dengan sembunyi-sembunyi ketika ada udzur, adalah riwayat yang masyhur dari madzhab Abu hanifah dan madzhab Syafi’i. Telah diriwayatkan bahwa ada dua orang laki-laki di zaman pemerintahan Umar bin Khottob ra yang keduanya melihat hilal syawwal, lalu salah satunya berbuka. Ketika Umar mengetahuinya, dia berkata kepada orang yang berbuka,’kalau bukan karena temanmu, pasti akan aku pukul kamu”.
Hal itu disebabkan karena berbuka itu di hari ketika manusia berbuka, yaitu hari raya, dan orang yang melakukan puasa sendirian karena semata-mata dia melihat hilal, tidak masuk dalam hari raya yang Rosulullah telah melarang untuk bershaum di dalamnya. Yaitu shaum di hari iedul fitri dan hari Nahr. Dalam sabdanya,”Adapun yang pertama hari kalian berbuka dari shaum kalian, dan yang kedua hari kalian bermakan-makan dari hasil binatang qurban kalian”. HR Turmudzi, Abu Daud dan Ibnu Majah
Maka kaitannya dengan puasa arofah, bagi mereka yang menyuruh puasa di hari ke-30 dari romadlon walau bertentengan dengan ru’yah syawwal yang telah dilihatnya dengan diam-diam dan tidak menyuruhnya berbuka dengan diam-diam, maka dibolehkan dia berpuasa di hari yang menurut dzohirnya ke-9 dzul-hijjah walau menurutnya sudah masuk iedul Adha, karena dia masuk hari arofah. Inilah pendapat yang benar yang dasarkan pada kitab dan Sunnah.
Dan barangsiapa yang menyuruh untuk berbuka secara diam-diam sesuai dengan ru’yahnya, dia dilarang untuk berpuasa di hari yang menurut dzohirnya ke-9 dzul-hijjah walau menurutnya sudah masuk iedul Adha, karena hilal syawwal yang dilihatnya sendirian.
Maka berdasarkan pada uraian di atas, melaksanakan hari raya bersama khalayak manusia lebih diutamakan, karena sangat erat kaitannya dengan terlihatnya syahru, padahal syahru itu artinya dikenal dan diakui oleh khalayak manusia. Walaupun nantinya, dalam mensikapi puasa arofah berlainan, sesuai dengan bagiamana ia mensikapi hari yang diyakininya telah masuk iedul-fitri. Wallahu A’lam
Oleh Fajrun Mustaqiem
Mahasiswa Ma’had Aly’ Gading-Solo
Penulis anggota dari lingkar pena Ulin-Nuha
0 komentar:
Posting Komentar