Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

FATWA-FATWA SEPUTAR NYANYIAN DAN MENDENGARKAN MUSIK


FATWA-FATWA SEPUTAR NYANYIAN
DAN MENDENGARKAN MUSIK

Fatwa Qadhi al-Qudhat Taqiyuddin as-Subki:
"Nyanyian termasuk kemunkaran dan bid`ah. Tak pernah ada seorang Nabi pun yang membawa ajaran seperti itu. Juga tak ada satu kitab Allah swt yang menyampaikan ajaran seperti itu. Nyanyian merupakan perbuatan orang-orang bodoh, bahkan merupakan perbuatan setan. Para ulama berpendapat bahwa acara-acara yang disertai rebana dan seruling hukumnya haram. Imam Syafi`i tidak pernah mengatakan bahwa perbuatan seperti itu hukumnya mubah. Acara-acara dimana kaum pria dan kaum wanita berikhtilath juga termasuk perbuatan munkar yang wajib untuk ditolak. Kaum pria dan kaum wanita tidak diperbolehkan berkumpul bercampur baur kecuali di majelis-majelis yang khusus yang mana acara hiburan yang diiringi musik bukanlah termasuk salah satu majelis khusus tersebut. Maka anggapan mereka bahwa perbuatan itu termasuk salah satu perbuatan taqarrub adalah suatu kebohongan kepada Allah swt. Adapun perkataan mereka bahwa nyanyian dapat menambah peka rasa mereka, adalah perbuatan orang-orang yang bodoh atau yang pura-pura bodoh. Perasaan akan bertambah peka dan keimanan akan bertambah kuat bukan dengan mendengarkan nyanyian, tapi dengan mendengarkan hal-hal yang disyari`atkan Islam seperti mendengarkan bacaan al-Quran, sunnah, ilmu-ilmu, kisah kehidupan orang shalih, dan lain-lain yang dapat berpengaruh baik terhadap hati. Nyanyian tidak termasuk diantaranya. Mereka mengatakan bahwa as-sama` (mendengarkan) adalah salah satu cara taqarrub kepada Allah. Bila yang mereka maksudkan adalah mendengarkan al-Quran, sunnah, kisah hidup orang shalih, atau perkataan–perkataan lain yang berpengaruh baik dengan hati, maka perkataan itu benar. Namun bila yang mereka maksudkan adalah mendengarkan nyanyian, maka perbuatan mereka itu tidak benar. Adapun bila mereka mengatakan bahwa nyanyian itu hukumnya mubah, maka selama tidak ada suara rebana dan seruling, tidak ada ikhtilath antara kaum pria dan kaum wanita, tidak ada kondisi yang memungkinkan antara pria dan wanita yang bukan mahram saling memandang dengan bebas, tidak ada perkataan yang tidak senonoh, tidak ada cumbu rayu yang diharamkan, dan hal-hal lain yang dilarang agama, maka perbuatan mereka itu benar dan perbuatan itu termasuk yang diperbolehkan. Adapun bila perbuatan atau acara itu mengandung kemunkaran, seperti melihat hal-hal yang diharamkan dan mendengarkan hal-hal yang tidak patut maka apa yang mereka katakan itu tidak benar. Imam Syafi`i hanya membolehkan yang pertama, bukan yang kedua. Perbuatan dosa, meskipun kecil, namun jika dilakukan terus menerus maka dosanya akan menjadi besar sehingga tidak bisa lagi terhapus kecuali dengan istighfar yang benar-benar terucap dari lubuk hati serta dengan melakukan taubat secara sungguh-sungguh. Adapun bila taubat yang dilakukan itu hanya sebatas di lidah saja tanpa disertai tekad di dalam hati, maka taubat seperti itu adalah taubatnya para pendusta dan tidak ada manfaatnya dan tidak akan dapat menghapuskan kemaksiatan. Yahya bin Mu`adz ar-Razi mengatakan: 'Istighfar dengan lisan saja adalah taubatnya para pendusta.' "

Fatwa Qadhi al-Qudhat Burhanuddin bin Abdul Haq al-Hanafi:
"Nyanyian termasuk perbuatan bid`ah dan perbuatan haram yang dapat menyebabkan seseorang jatuh derajat keadilannya, tertolak kesaksiannya, dan hilang nama baiknya. Tak ada satu ulama terkemuka pun yang menghalalkan perbuatan seperti itu. Allah berfirman: "Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanya siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu." Dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Umamah dikatakan bahwa Nabi saw melarang jual beli (budak-budak) yang berprofesi sebagai penyanyi, perdagangan yang terkait dengannya, serta penghasilan yang diperoleh darinya. (HR. at-Tirmidzi). Dalam hadits lain dari Abu Ubaidah Rasulullah saw bersabda, "Sungguh bahwa kamu minum nanah sampai memenuhi perutmu adalah lebih baik daripada kamu menyukai syair-syair (nyanyian)". Ibnu Mas`ud berkata, "Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana hujan yang menumbuhkan rerumputan." Umar bin Abdul `Aziz juga berkata seperti itu. `Utsman berkata, "Sejak aku berbai`at kepada Rasulullah saw, aku tidak pernah lagi berkhayal, bernyanyi, dan menyentuh kemaluanku dengan tangan kanan." Suatu rombongan yang sedang berihram pernah lewat di hadapan Ibnu `Umar, ketika beliau mendengar seseorang diantara mereka yang bernyanyi, beliau berkata, "Sungguh Allah tidak akan mendengarkan kalian, Allah tidak akan mendengarkan kalian." Imam Malik berkata, "Apabila seseorang membeli seorang budak perempuan, kemudian terbukti bahwa budak perempuan itu adalah seorang penyanyi, maka dia boleh mengembalikannya kepada si penjualnya dengan alasan bahwa budak perempuan tersebut memilki cacat." Beliau pernah ditanya, "Adakah rukhshah dalam hal nyanyian menurut ulama Madinah?" Maka  beliau menjawab, "Nyanyian adalah perbuatan kaum fasik." Imam Syafi`i berkata, "Mereka berdua tidak boleh dianggap sah persaksiannya, karena mereka menyukai permainan musik yang dibenci, bahkan menyerupai perbuatan bathil. Orang-orang yang suka melakukan perbuatan tersebut dianggap safah (orang bodoh atau idiot yang tidak dianggap sah persaksiannya). Dan barangsiapa yang menyukai hal tersebut untuk dirinya sendiri maka dia dianggap bodoh, meskipun perbuatan tersebut tidak diharamkan secara jelas." Ada yang mengklaim bahwa Imam Syafi`i membolehkan perbuatan dan acara yang di dalamnya terdapat nyanyian. Ketahuilah bahwa tak ada seorang ulama pun yang membolehkan orang-orang untuk berkumpul menghadiri acara-acara dimana terdapat tarian, nyanyian, alat musik, wanita, dan murd (anak laki-laki yang masih muda dan tampan yang belum berjanggut), apalagi hal itu diadakan di rumah Allah swt., dan hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang sufi. Mereka menganggap nyanyian dan tarian dapat memantapkan kecintaan kepada Allah swt dan dapat menggerakkan kekuatan yang terpendam di dalam jiwa. Hanya kepada Allah-lah kita memohon penjagaan dan petunjuk."


Fatwa Syaikh Syarafuddin bin al-Hasan al-Hanbali:
"Nyanyian adalah termasuk bid`ah yang diharamkan sesuai kesepakatan jumhur ulama. Orang yang melakukannya berarti telah berbuat dosa, jatuh wibawanya, dan tertolak kesaksiannya. Banyak sekali dalil al-Quran maupun sunnah yang mengungkapkan celaan dan larangan atas perbuatan itu. Juga banyak keterangan yang mengungkapkan kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Banyak pula celaan dan larangan dari para ulama salaf dan para Imam yang empat dan yang lainnya terhadap perbuatan dan kebathilan ini. Nyanyian jelas mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari`at. Tabuhan rebana, tiupan seruling, dan nyanyian telah disepakati keharamannya oleh jumhur ulama. Kehadiran kaum pria bersama kaum wanita dalam acara seperti itu juga termasuk hal yang dilarang oleh Islam. Namun dari semua itu, bid`ah dan kemunkaran yang paling besar adalah keyakinan mereka bahwa nyanyian dan tarian adalah salah satu cara untuk ber-taqarrub kepada Allah swt. Perkataan seperti ini jelas-jelas merupakan kebohongan besar dan kebathilan yang nyata. Tidaklah mungkin ber-taqarrub kepada Allah dengan perbuatan-perbuatan bid`ah dan kemunkaran yang diharamkan. Syaikh Muwaffiquddin mengatakan, 'Perbuatan seperti itu termasuk kemaksiatan dan perbuatan main-main yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan ini juga dibenci oleh para ahli ilmu. Mereka menganggapnya sebagai bid`ah mereka pun melarang orang-orang untuk melakukannya. Tak mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang-Nya. Barangsiapa yang ber-taqarrub kepada Allah dengan melakukan kemaksiatan maka dia akan diusir dan makin jauh dari Allah swt. Dan barangsiapa yang menganggap perbuatan sia-sia dan main-main sebagai agama, maka dia termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Dan barangsiapa yang berusaha untuk sampai kepada Allah dengan menempuh jalan selain jalan yang ditunjukkan oleh Rasulullah maka dia akan menjadi orang yang gagal dalam menempuh tujuan itu'."


Fatwa Syaikh `Imaduddin bin Katsir asy-Syafi`i:
"Cukuplah bagiku Allah. Dialah sebaik-baiknya pelindung. Mempergunakan alat musik dan mendengarkannya adalah perbuatan haram sebagaimana ditunjukkan oleah hadits-hadits Nabi. Diantaranya adalah hadits dari Abdurrahman bin Ghum al-Asy`ari dari Abu Amir atau Abu Malik. Al-Asy`ari berkata, "Demi Allah dia tidak berdusta kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Pasti akan ada diantara umatku orang-orang yang menghalalkan minuman keras, sutera, dan alat-alat musik.'" Allah swt berfirman,  "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah". (Luqman: 6). Ibnu mas`ud berkata, "Demi Allah, yang dimaksud lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat tersebut adalah nyanyian". Adapun mengenai mempergunakan alat-alat musik ini untuk ber-taqarrub kepada Allah, serta menganggapnya sebagai suatu jalan untuk mendapatkan pahala-Nya, jelas pendapat seperti itu merupakan bid`ah. Tak ada seorang Nabi pun yang mengatakan demikian dan tidak ada datu pun kitab samawi yang mengajarkan demikian. Allah berfirman, "Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka main-main dan senda gurau". (al-An`am: 70). Firman-Nya yang lain, "Shalat mereka di sekitar Baitullah, tidak lain hanya siulan dan tepukan tangan". Dalam ayat tersebut disebutkan siulan dan tepukan, sedangkan suara rebana dan seruling lebih keras daripada itu. Sebuah hadits shahih riwayat Muslim mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Lonceng adalah seruling setan". Bila lonceng saja dikatakan seruling setan, bagaimana halnya dengan rebana yang diiringi dengan gendang dan seruling dengan beragam bentuk dan suara. Abu Bakar ash-Shiddiq menghardik dua orang budak perempuan yang menabuh rebana di hadapan puteri beliau, `Aisyah ra, pada suatu hari raya. Saat itu beliau berkata, "Beraninya engkau memainkan seruling syetan di rumah Rasulullah saw….!" Maka Rasulullah bersabda, "Biarkanlah wahai Abu Bakar, karena semua kaum memiliki hari raya. Dan inilah hari raya kita".  Dari peristiwa itu dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah menyetujui ucapan Abu Bakar, yaitu 'seruling syetan', namun kemudian beliau mengecualikannya untuk acara-acara hari raya yang dihadiri kalangan dekat saja, sebagai ucapan kegembiraan dan kebahagiaan. Adapun yang mengatakan bahwa nyanyian adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah kemunkaran dan bid`ah yang paling besar. Setelah abad ketiga, pendapat ini semakin menjadi-jadi di kalangan sufi, dan ketika terbukti mereka semakin menggemari dan mencintai perbuatan-perbuatan seperti itu tanpa pengetahuan sedikit pun akan akibat buruk dan kerusakan yang ditimbulkan, maka para imam semakin menginkarinya."

Mengungkap Hukum Mendengarkan Nyanyian:
Allah swt berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu." (QS. al-Mai`idah: 3). 
Dengan turunnya ayat itu Allah telah menyempurnakan Islam bagi kita dengan segala kewajiban, keutamaan, dan anjurannya. Allah telah menunjukkan semua jalan yang dapat kita ikuti untuk kemaslahatan hati dan agama kita. Allah juga telah menunjukkan semua hal yang diharamkan dan dimakruhkan-Nya yang dapat menjerumuskan kita pada kerusakan hati dan agama kita.
Maka bila ada orang yang berkata bahwa nyanyian adalah suatu jalan yang dapat kita gunakan untuk memperbaiki dan melembutkan hati, serta dapat membangkitkan kecintaan dan kepekaan pada-Nya, maka kemungkinannya adalah salah satu dari hal berikut:
Pertama, bila memang nyanyian itu mengandung kebaikan sebagaimana yang mereka katakan, maka untuk kesempurnaan agama-Nya Allah akan mensyaria`tkannya melalui Rasul-nya. Rasulullah pun akan melakukannya dan menganjurkan ummatnya untuk mengerjakannya. Beliau akan mensunnahkannya dan menyerukan seluruh ummatnya untuk juga melakukannya. Sebagai seorang Nabi, beliau tidak akan membiarkan suatu sebab yang dapat mendekatkan  seorang hamba dengan Allah swt dan dapat memperbaiki hati manusia serta agamanya, kecuali akan disyari`tkannya, diperintahkannya, dan diserukannya. Sungguh Rasulullah beserta agamanya bersih dari nyanyian yang mengandung banyak sekali kerusakan yang tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah. Demikian pula para shahabatnya dan seluruh pengikutnya semuanya bersih dari keterikatan dengan nyanyian. Penisbatan terhadap mereka dalam hal nyanyian adalah suatu kebohongan besar dan bukti yang dibuat-buat dengan tujuan supaya kebathilan yang mereka ciptakan itu laris dan tersebar di kalangan Muslim. Kebohongan itu mereka jadikan sebagai perisai untuk berlindung dari serangan golongan pengikut setia dan penolong Rasulullah.
Kedua, bisa saja mereka mengkui bahwa Allah pernah mensyari`atkannya demikian pula Rasul-Nya. Namun mereka tetap bersikeras menganggap bahwa nyanyian termasuk salah satu bagian dari hakikat keagamaan yang dapat membuat hati menjadi baik dan mendekatkannya kepada Allah. Bila demikian sikap yang mereka tunjukkan, berarti mereka menganggap Islam ini mengandung kekurangan, dan mereka –orang-orang yang menggemari nyanyian itu- yang kemudian menyempurnakannya. Mereka mengira bahwa mereka mempunyai hak untuk menentukan suatu kebaikan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh para shahabat Muhajirin dan Anshar. Mereka semua pasti terjerumus pada salah satu dari dua hal yang dapat menafikan Keislaman itu. Adalah lebih baik bagi mereka bila segera mengakui kebenaran dan mengikutinya. Orang yang menganggap nyanyian yang bathil, sia-sia, dan tidak bermanfaat itu sebagai bagian dari agama, maka dia termasuk orang yang disebutkan dalam al-Quran, yang artinya, "Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (QS. Al-An`am: 70). "Shalat mereka di sekitar Baitullah  itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu." (QS. Al-Anfal: 35). "Dan diantara mereka (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS. Luqman: 6-7).
Banyak dari kalangan salaf yang menafsirkan bahwa "perkataan yang sia-sia" itu adalah nyanyian. Mengenai hal itu diriwayatkan sebuah hadits marfu` dari `Aisyah, "Sesungguhnya Allah mengaharamkan biduan, membelinya, harganya (uang penjualannya), mengajarnya, dan mendengarkannya, kemudian ia membaca ayat yang artinya, 'Dan diantara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.'" Sedangkan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari abu Umamah, dan sanadnya adalah bahwa Nabi saw besabda, "Janganlah kalian menjual biduan-biduan, jangan kalian membelinya, jangan kalian mengajarkannya, tidak ada kebaikan dalam memperdagangkannya, dan harganya pun haram." Dalam hal ini turun surat Luqman: 6-7 di atas.
Para shahabat dan para tabi`in mengatakan bahwa ayat tersebut (QS. Luqman: 6-7) berkaitan dengan al-Ghina (nyanyian). Sedangkan mereka adalah manusia-manusia yang paling paham akan al-Quran dan penafsirannya. Abu Shahba berkata, "Aku bertanya kepada Abdullah bin Mas`ud tentang ayat ini, maka beliau berkata, 'Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah nyanyian dan mendengarkannya.' Ibn Mas`ud juga mengatakan, 'Nyanyian itu dapat menimbulkan kamunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.'"
Dalam kitab shahihnya al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdurrahman bin `Auf, beliau berkata, "Aku pernah mendatang Rasulullah saw, ketika itu Ibrahim –putra beliau- baru saja menghembuskan nafas terakhir di pangkuan beliau. Air mata beliau berlinang. Kemudian aku bertanya kepada beliau, 'Bukankah engkau pernah melarang untuk menangis?' Rasulullah menjawab, 'Sesungguhnya aku dilarang dari dua macam suara yang bodoh dan jahat. Yaitu suara tangis yang keras ketika ditimpa musibah seraya merobek-robek pakaian dan mencakar-cakar wajah disertai tangisan syetan, dan suara nyanyian seraya bersenang-senang dan bermain-main.'"
Orang yang memiliki hati yang hidup dan penglihatan yang diterangi dengan cahaya iman akan mengetahui dengan jelas dan pasti bahwa nyanyian-nyanyian, senandung-senandung setan, dan alat-alat musik adalah alat perjuangan setan untuk melawan Allah dan segala yang telah disyari`atkanNya untuk kemaslahatan hati dan agama seluruh hambaNya.
 Imam Abu Hanifah dan para shahabatnya berpendapat sangat keras tentang nyanyian, dan yang paling ringan adalah bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa dan kemaksiatan. Para ulama penduduk kota Bashrah pun sepakat akan terlarangnya nyanyian dan musik, kecuali Ubaidillah bin Hasan al-Anbari yang berpendapat nyanyian dan musik tidak mengapa. Dengan begitu Ubaidillah telah memisahkan diri dari jama`ah, padahal Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang meninggalkan jama`ah maka bila dia mati, kematiannya adalah kematian jahiliah."
Dalam kitab Adab al-Qadha, Imam Syafi`i berkata, “Sesungguhnya nyanyian itu adalah suatu perbuatan yang sia-sia, makruh (dibenci), dan menyerupai kebathilan. Barangsiapa yang gemar terhadap nyanyian maka ia termasuk bodoh yang tertolak kesaksiannya.” Imam Syafi`i juga berkata, “Aku tinggalkan kota Baghdad, di kota tersebut ada suatu perbuatan yang dipelopori oleh orang-orang zindiq (orang-orang yang tidak meyakini akhirat dan ketuhanan, atau orang yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan), mereka menamakannya ‘taghbir’. Perbuatan itu dimaksudkan untuk memalingkan menusia dari bacaan Al-Qur`an.”
Yang diamsud dengan taghbir adalah memukul-mukul dengan tongkat pada permukaan kulit atau bantal sehingga menimbulkan suara. Mereka lakukan itu seraya melantunkan syair-syair dengan tujuan hati menjadi lembut dan semakin zuhud. Taghbir dalam istilah ulama` salaf adalah nyanyian. Al-Hafizh Abu Musa al-Madini mengatakan, “Telah dikatakan bahwa yang dimakud dengan taghbir itu adalah nyanyian. Hal ini karena mengajak orang-orang untuk menari-nari hingga gerakan dan hentakan kaki mereka menerbangkan debu di tanah.” Abu Musa berkata, “Imam Syafi`i mengatakan, ‘Di kota Irak terdapat kaum zindiq yang memelopori taghir,’ dalam riwayat lain dikatakan, ‘Mereka menciptakan qashidah-qashidah (bait-bait nyanyian) untuk menyibukkan manusia sehingga tidak sempat lagi membaca al-Qur`an.’”
Tentang mendengarkan nyanyian, Abu Abdullah bin Batthah berkata, “Aku pernah ditanya seseorang tentang apa yang mereka sebut dengan qaul. Yang mereka maksudkan adalah mendendangkan nyanyian, mendengarkannya, serta berkumpul bersama orang-orang yang menggemarinya. Maka aku pun melarang dan menentangnya. Aku juga memberitahukan kepadanya bahwa nyanyian adalah salah satu perbuatan yang diharamkan oleh al-Quran dan sunnah. Nyanyian juga ditentang oleh para `ulama dan dibenci oleh orang-orang pintar. Hanya orang-orang yang bodoh dan lemah akalnya yang menganggap bahwa nyanyian itu mengandung kebaikan.
Dari Abu Musa al-Madini, bahwa banyak syaikh yang berkata, “Apabila orang-orang yang menghalalkan nyanyian itu dengan hadits dari `aisyah ra. –yaitu bahwa `Aisyah ra. berkata, ‘Rasulullah SAW datang menemuiku dihari tasyrik. Ketika itu di sampingku ada seorang budak perempuan milik Abdullah bin Salam memukul rebana dan bernyanyi’-, maka kami katakan bahwa Rasulullah SAW membolehkannya bagi dua orang budak perempuan tersebut karena mereka masih kecil dan saat itu juga sedang dalam suasana hari raya, dan inilah hari raya kita.”
Banyak para `ulama yang mengatakan dan memperingatkan bahwa dalam nyanyian itu lebih besar mudharat  daripada manfaatnya bagi hati, daya rusaknya terhadap hati juga lebih besar daripada kebikannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna.” (QS. al-Mu`minuun: 1-3).
Allah juga berfirman, “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…” (QS. Luqman: 6).
Dalam riwayat-riwayat yang shahih dikatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut adalah nyanyian. Pendapat tersebut diungkapkan oleh para `ulama yang terpilih dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang bodoh dan jahat.
Dalam nyanyian terdapat syahwat dan syubhat. Termasuk syubhat dalam nyanyian adalah pendapat yang mengatakan bahwa ruh orang yang dari semula memiliki perasaan cinta yang benar akan tergerak dan terbangkitkan bilamana mendengar ungkapan-ungkapan cinta dilantunkan. Adapun kandungan syahwat dalam nyanyian adalah bagian yang membangkitkan dorongan nafsu. Nyanyian dan musik adalah dua bagian yang sangat dinikmati oleh nafsu. Sangat mungkin nyanyian dapat memabukkan jiwa lebih parah daripada yang dilakukan khamr. Jiwa manusia memang sangat terpengaruh dengan pendengaran dan penglihatan. Mendengarkan nyanyian dapat menyebabkan kondisi mabuk yang parah pada jiwa manusia. Sesungguhnya Allah menggambarkan kondisi mabuk kaum Luth as dalam ayat, “(Allah berfirman): ‘Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukkan kesesatan.’” (QS. al-Hijr: 72).
Kebathilan yang terkandung dalam nyanyian itu dapat menularkan hal-hal yang tecela kepada orang-orang yang menghadirinya, meskipun dari kalangan shadiq. Hal ini sangat mungkin karena mabuknya nafsu dapat mengalahkan hati dan ruh. Bila hal itu terjadi maka akan tenggelamlah manusia dalam nafsunya dan nafsunya itulah yang akan berkuasa atas dirinya. Wallahu a`lam bishshawab.  


Mahasiswa Ma’had An-Nuur

Sukoharjo-Surakarta-Solo


0 komentar:

Posting Komentar