Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Ketika Kita Hanya Mau Bicara, Enggan Mendengar


Ketika Kita Hanya Mau Bicara, Enggan Mendengar

JAKARTA - Sepasang suami istri menunggu tamu yang juga pasangan suami istri. Tamu itu diundang untuk makan malam, tapi rupanya terlambat datang. Sambil menunggu kedatangan tamu itu, tuan rumah mengisi waktunya dengan obrolan yang tidak begitu jelas alurnya.
Kemudian tamu suami istri itu muncul. Ruangan itu lantas jadi riuh dengan obrolan. Masing-masing mengobral obrolan. Tak perduli apakah percakapan itu nyambung dengan percakapan sebelumnya. Mereka hanya bicara dan bicara.
Kehadiran seorang petugas pemadam kebakaran yang mencari kebakaran namun tidak menemukannya, malah membuat ngerumpi mereka makin seru. Sebentar-sebentar meletup selisih paham antara tuan dan nyonya rumah karena kurang komunikatif. Tapi kemudian cepat dipadamkan.
Perbincangan makin tidak jelas juntrungannya ketika babu rumah tangga itu juga ikut-ikutan nimbrung bicara. Tentu saja kehadirannya tidak disetujui majikannya. Tapi apa mau dikata, sang pemadam kebakaran tak menolak babu itu ikut bicara.
Inilah sebuah potret kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, termasuk di sini, di mana orang hanya mau berbicara dan ogah mendengar. Memang tampak komunikatif, namun sebenarnya kita hanya mau bicara dengan diri kita sendiri.
Bahkan ketika pikiran kita tidak diterima orang lain, ternyata kita tak mendengarnya karena sibuk ngomong dengan diri sendiri. Lakon drama Biduanita Botak (The Bald Soprano) karya Eugene Ionesco yang dipentaskan oleh Teater Keliling di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (21/8) malam, memang ingin bicara tentang kebuntuan komunikasi. Teater itu masih akan mementaskan lakon tersebut Minggu (22/8) malam ini.
Betapa dalam kehidupan masyarakat orang cenderung hanya mau bicara. Lebih celaka lagi, bicara untuk dirinya sendiri. Ionesco ingin mengeritik, mentang-mentang mempunyai mulut maunya bicara saja. Akhirnya, obrolan itu menjadi tidak bermakna.
Di atas panggung yang ditata agak funky Teater Keliling pimpinan Dery Syrna menampilkan kisah yang absurd itu dengan gaya bermain-main, meski tetap menggelitik. Penonton pun bebas bisa tertawa bersama-sama. Menertawakan dan ditertawakan tanpa harus membangkitkan permusuhan.
Ionesco memang ingin bermain-main dengan bahasa dan menunjukkan, kata-kata yang diucapkan itu tidak bermakna, tidak bisa dipahami sebagaimana orang berhadapan dengan suatu bahasa asing yang tidak dikuasainya. Hasilnya, tentu saja kebingungan. Kebingungan itu sudah dimulai Ionesco dari judul lakonnya. Tak ada biduanita botak di sana. Ini adalah ide eksistensialis dan absurd dalam drama-drama yang ditulisnya.
Dalam lakon yang dipentaskan Teater Keliling itu hawa eksistensialis itu kurang terasa. Kita tidak mendapatkan pergulatan eksistensialis akibat kebuntuan komunikasi akibat lenyapnya makna suatu bahasa. Naskah yang berat itu, malah pernah gagal pada pementasan pertamanya di Paris tahun 1950, terasa jadi enteng di tangan Teater Keliling. Mereka tampil dengan percakapan yang kontekstual dengan keadaan Indonesia mulai dari masalah Aceh, Ambon dan Timor Timur serta seabrek
masalah lain yang masih pergunjingan hangat.
Sejak awal pementasan, sudah terasa lakon itu telah "diIndonesiakan". Dery Syrna dan Andre Lusa mebagi-bagikan kembang berwarna merah dan putih saat naik panggung sambil melantunkan lagu dari Aceh, Ambon Manise dan Bo Lele Bo. Lalu, letupan sketsa keadaan meluncur dari mulut pemain, menyerempet ke mana-mana. Ketika mereka bernyanyi, mereka tidak lagi menyanyi do-re-mi-fa-sol, tapi "DOM-re-mi..." Penonton pun tahu ke mana arah sentilan mereka.
Banyak masalah yang ada di negeri ini disentil mereka habis-habisan mulai dari masalah investasi yang jeblok, hujan PHK yang semakin deras sampai protes dan demo yang makin menjamur. Mereka mengatakan, banyak pabrik gulung tikar sekarang. Sementara yang lain menjawab, seharusnya pabrik itu menggunakan beton dan bukan tikar sehingga tidak bisa digulung.
Teater Keliling berjuang keras untuk mengangkat masalah eksistensialis yang tidak ringan dalam pentas mereka. Namun mereka juga terbebani untuk menghibur penonton. Tidaklah mudah memadukan dua hal itu. Apalagi mereka memilih naskah Ionesco yang bicara soal kebuntuan komunikasi antarmanusia. Paling tidak, mereka telah berhasil mengajak penontonnya untuk sesekali mentertawakan diri sendiri. Syukur-syukur juga tak marah bila ditertawakan. Kita memang perlu belajar mendengar, jangan hanya jago bicara. (W-9)

0 komentar:

Posting Komentar