Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

MENGIRIM PAHALA KEPADA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL


MENGIRIM PAHALA
KEPADA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL


PENDAHULUAN
Dalam sebuah majlis ta’lim saya mendapat pertanyaan berkenaan dengan mengirim pahala kepada orang yang sudah meninggal (mayit). Dengan berdasarkan pertanyaan tersebut saya mencoba untuk mengkaji masalah ini dengan serius, membuka kitab-kitab fikih atas manhaj salaf as-sholih. Alhamdulillah, dengan do’a dan kesungguhan yang saya curahkan, Allah merestui terbitnya makalah ini.
Syubhat dalam masalah ini sangat marak di tengah-tengah masyarakat kita, apalagi komunitas jawa pada khususnya yang sangat akrab dengan kepercayaan yang sangat banyak sekali.
Melalui makalah ini, saya mencoba menyibak syubhat tersebut, karena saya lihat fitnah ini sangat menggejala di tengah-tengah masyarakat kita. Akibat ketidaktahuan dalam masalah ini menimbulkan percekcokan baik mulut maupun sikap di antara kaum muslimin, yang itu semua menjadikan kaum muslimin berpecah belah.
Dengan kemampuan yang saya miliki dalam membuka kitab-kitab salaf yang ada dan dengan munaqosah (diskusi) bersama dengan para teman dan ustadz, kemudian dengan  muthola’ah kitab-kitab yang ada, saya mencoba menerbitkan makalah ini.
Semoga sekelumit makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan harapan kita dengan makalah ini kita semua terbebas dari fitnah syubhat ini. Saya yakin dalam makalah yang saya tulis ini masih ada kekurangan yang perlu ditambahkan. Oleh karena itu saya selalu membuka pintu ishlah dan saran serta kritik dari para pembaca. Atas perhatian dan dukungan anda saya ucapkan “Jazakumullah”.

HUKUM MENGIRIM PAHALA KEPADA ORANG YANG SUDAH  MENINGGAL1
Suatu ketika Syaikh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah ditanya, Apakah  roh orang yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup?
Beliau menjawab: “Benar. Roh orang yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup, dengan dua hal yang sudah disepakati Ahlus Sunnah dan fuqoha’, ahli hadits dan tafsir, yaitu:
1)    Sesuatu yang menyebabkan orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan manfaat itu ketika dia masih hidup.
2)   Do’a orang-orang muslim bagi dirinya, permohonan ampunan yang mereka lakukan baginya, shodaqoh dan haji. Tapi ada perbedaan pendapat, apakah yang sampai kepadanya itu pahala infak ataukah pahala amal? Menurut jumhur, yang sampai kepadanya adalah pahala amal saja, tapi menurut sebagian madzhab Hanafi, yang sampai kepadanya adalah pahala infaq.

Mereka saling berbeda pendapat tentang ibadah fisik, seperti; sholat, shoum, membaca al-Qur’an dan dzikir. Menurut madzhad Imam Ahmad dan jumhur salaf, hal itu sampai kepadanya, yang juga merupakan pendapat sebagian rekan Abu Hanifah. Imam Ahmad menetapkan hal ini seperti yang disebutkan dalam riwayat Muhammad bin Yahya al-Kahhal, dia berkata: “Abu Abdullah pernah ditanya: “Seseorang melakukan suatu kebaikan, berupa sholat atau shodaqoh atau lainnya. Lalu dia membagi separohnya untuk ayah atau ibunya. Bagaimana hal ini? Dia menjawab: “Aku juga berharap seperti itu. Atau beliau berkata: “Shodaqoh atau apa pun bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal”. Dia juga berkata: “Bacalah ayat kursi tiga kali, lalu bacalah Qul Huwallahu ahad, lalu ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya keutamaannya bagi ahli kubur”.
Sedangkan yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan Malik, hal itu tidak sampai kepada orang yang meninggal.
Sebagian ahli bid’ah dari kalangan teolog mengatakan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang sampai kepada orang yang sudah meninggal, tidak pula do’a atau apa pun.
Dalil tentang manfaat yang bisa diambil orang yang sudah meninggal karena sebab tertentu semasa ia masih hidup
Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam shohihnya, dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Apabila anak Adam mati, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendo’akan dia”.
Pengecualian terhadap tiga perkara yang berasal dari amalnya ini menunjukkan bahwa hal-hal itu sampai kepadanya dan menjadi sebab sampainya manfaat kepadanya.
Di dalam sunan Ibnu Majah, dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan-kebaikan yang sampai kepada orang mukmin setelah meninggal dunia hanyalah ilmu yang pernah dia ajarkan dan sebarkan, atau anak sholih yang dia tinggalkan, atau mushaf yang dia wariskan, atau masjid yang dia bangun, atau rumah yang dia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang dia gali, atau shodaqoh yang dia keluarkan dari hartanya untuk kesehatannya dan hidupnya, yang semuanya sampai kepadanya setelah dia meninggal dunia”.
Dalil Tentang Orang Yang Sudah Meninggal Dunia Bisa Mendapat Manfaat Dari Selain Apa Yang Ia Usahakan
Dalil-dalilnya disebutkan di dalam al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ dan kaidah syari’at.
Sampainya do’a orang-orang muslim kepada orang yang sudah meninggal
Allah Ta’ala berfirman:
            Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), berdo’a. “Ya Allah ampunkanlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman”. (QS. Al Hasyr: 10)
            Artinya: “Dan mintaklah ampun bagi dosamu dan bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan”. (Q.S. Muhammad: 19)
Disebutkan dalam “As-Sunan”, disebutkan dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءُ
Artinya: “Jika kalian mengsholati mayat, maka tuluskanlah do’a baginya”.
            Begitu pula do’a bagi mereka saat menziarahi kubur mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam shohih Muslim, dari hadits Buraidah bin al-Khushoib, dia berkata: “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada orang-orang, jika mereka pergi ke kuburan hendaklah mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا َلَكُمُ اْلعَافِيَةَ
Artinya: “Kesejahteraan atas kalian wahai para penghuni kubur dari orang mukmin dan muslim, sesungguhnya kami insya Allah akan bersua kalian, kami memohon afiat kepada Allah bagi kami dan kamu sekalian”.
Sampainya pahala shodaqoh
Di dalam “As Shohihain” disebutkan dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, bahwa ada seorang laki-laki yang menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat. Aku menduga sekiranya ibu bisa bicara, tentu dia akan bershodaqoh. Apakah dia mendapatkan pahala sekiranya aku mengeluarkan shodaqoh atas nama dirinya? beliau menjawab: Ya”.1
Hadits dari Sa’ad bin Ubadah bahwasanya ibunya meningggal, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meninggal apakah aku boleh bershodaqoh untuknya? Rasulullah menjawab: Ya (boleh). Lalu aku bertanya: Shodaqoh apakah yang paling utama? beliau menjawab: Air”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun shodaqoh dari mayit, maka sesungguhnya itu bermanfaat baginya menurut kesepakatan kaum muslimin, dan itu berlaku dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits yang shohih”.3
Sampainya pahala shoum dan sholat
Hadits dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas: Bahwa ada seorang wanita (menemui Rasulullah) dan  berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku meninggal dan pernah bernadzar untuk shoum (apakah aku harus shoum atas nama dirinya?).  Beliau menjawab: Apa pendapatmu sekiranya ibumu itu mempunyai hutang, lalu engkau melunasinya, apakah itu juga merupakan pelunasan baginya? Wanita itu menjawab: Ya. Beliau bersabda: Maka shoumlah kamu atas nama dirinya”.
Dan disebutkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya:”Barangsiapa yang meninggal dan atasnya itu shoum, maka walinya menggantikan untuk shoum”.4
Imam ad-Daruqutni meriwayatkan hadits, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang selalu berbuat baik semasa hidupnya, bagaimana saya harus berbuat baik kepada keduanya setelah kematian keduanya? Belaiu shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya dari kebaikan setelah kebaikan adalah hendaknya kamu sholat untuk keduanya bersamaan dengan sholatmu, dan kamu shoum untuk keduanya bersamaan dengan shoummu”.5
Imam Nawawi berkata: “Para ulama’ berselisih pendapat dalam masalah shoum, jika ada orang yang meninggal sementara baginya shoum, maka yang rojih (benar) adalah boleh menshoumkan untuknya karena berdasarkan hadits-hadits shohih yang menerangkan dalam masalah itu. Adapun sholat dan seluruh amalan-amalan ketaatan maka itu tidak sampai menurut kami dan tidak pula menurut jumhur. (akan tetapi) Imam Ahmad berkata: ”Semua pahala sampai kepadanya seperti pahala haji”.6
Syaikhul Islam berkata: “Hadits-hadits kesemuanya ini shorih (benar) yang menerangkan bahwasanya boleh menshoumkan orang yang telah meninggal karena nadzarnya dan itu disamakan dengan melunasi hutang”.7
Beliau berkata lagi: “Adapun shodaqoh untuk mayit, maka sesungguhnya itu bermanfaat baginya menurut kesepakatan kaum muslimin, begitu juga haji, sembelihan, memerdekakan budak, do’a dan permintaan do’a, itu tidak ada pertentangan di dalamnya. Adapun shoum dan sholat tathowwu’ untuknya, dan qiro’atul Qur’an maka dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama, Dapat bermanfaat baginya (pahalanya sampai kepadanya). Ini adalah madzhab Ahmad, Abi Hanifah dan selain dari keduanya. Juga pendapat sebagian rekan Syafi’i dan lainnya.
Kedua, Pahalanya tidak sampai. Ini masyhur dalam madzhab Malik dan Syafi’i.8
Ibnu Qudmah al-Hambali berkata: “Segala (amalan) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah yang dikerjakan dan diperuntukkan si mayit maka pahalanya akan sampai si mayit yang muslim dan itu bermanfat baginya insya Allah”.9
Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa hadits tentang shoum dan haji untuk mayit, dan beliau berkata: “Hadits-hadits ini semuanya shohih, di dalamnya menunjukkan dalil sampainya pahala pada mayit dengan seluruh amalan yang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena sesungguhnya shoum, haji, do’a dan permintaan ampunan merupakan ibadah badaniyyah dan Allah telah menyampaikan pahalanya kepada mayit, begitu juga yang lainnya”.10
Pahala Haji
Tentang sampainya pahala haji kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Telah datang seorang lelaki kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya kepada beliau:
إِنَّ أُخْتيِ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : فَاقْضِ اللهِ, فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
Artinya: “Sesunguhnya saudara perempuanku telah meninggal, sementara ia pernah bernadzar akan berhaji, (apakah boleh aku menghajikannya?). Beliau menjawab: Apakah jikalau ia mempunyi hutang kamu akan melunasi hutangnya? Dia menjaab: Ya. Lalu berliau bersabda: Maka penuhilah (hak) Allah, karena ia yang paling hak untuk dipenuhi”.11
Diterangkan dalam “Fatawanya syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah” setelah menyebutkan hadits Bukhori di atas: “Dan di dalam Shohih Muslim, dari Buroidah bahwasanya seorang perempuan datang kepada Nabi dan bertanya: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meninggal, sementara beliau belum haji, apakah aku boleh menghajikannya? Beliau menjaab: Ya. Boleh.
Dalam hadits shohih ini menerangkan bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan menghajikan si mayit dengan haji fardhu maupun karena nadzar”.12
Imam Nawawi berkata: “Imam Syafi’i dan jumhur berkata: “Boleh menghajikan mayit dari fardhunya haji atau karena nadzarnya, baik dia mewasiyatkan ataupun tidak”.13
Pahala Qiro’atul Qur’an
Dalam masalah sampainya pahala qiro’atul Qur’an kepada si mayit, para ulama berselisih pendapat:
1)    Imam Nawawi berkata: “Adapun yang masyhur dalam madzhab kami (Madzhab Syafi’i), bahwa qiro’atul Qur’an untuk mayit itu tidak akan sampai pahalanya. Tapi ada sekumpulan dari rekan kami berpendapat, pahalanya akan sampai pada mayit. Ini adalah perkataan Imam Ahmad bin Hambal”.14
2)   Disebutkan dalam kitab “Al-Mughni” oleh Ibnu Qudamah al-Hambali dalam berhujjah sampainya pahala qiro’atul Qur’an kepada mayit, beliau berkata: “Hadits-hadits ini semuanya shohih, di dalamnya menunjukkan bahwa itu bermanfaat bagi mayit dengan segala amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, karena shoum, haji, do’a dan permintaan ampunan merupakan ibadah badaniyyah yang telah Allah sampaikan pahalanya kepada si mayit, begitu juga selain hal  tersebut, seperti yang telah kami sebutkan dari hadits yang menerangkan tentang pahala membaca surat YAASIN, Allah akan meringankan ahli kubur dengan bacaan ini, dan itu merupakan ijma (kesepakatan) kaum muslimin, bahwa mereka di setiap waktu dan masa selalu berkumpul, membaca al-Qur’an dan mereka hadiahkan pahalanya kepada orang mati mereka dengan tanpa susah payah”.15

Pengikut madzhab Hanafi membenarkan sampainya pahala qiro’atul Qur’an kepada mayit, telah diterangkan dalam kitab “Addurrul Mukhtar Waroddul Muhtar”: “Dan membaca surat “YAASIN”, seperti yang telah disebutkan: “Siapa orangnya yang masuk ke kuburan lalu membaca surat YAASIN maka Allah meringankan mereka pada hari itu, dan baginya kebaikan-kebaikan  dengan jumlah orang yang ada di dalamnya”.16
Perkataan ibnu Taimiyyah dalam masalah qiro’atul Qur’an bahwa, pahalanya akan sampai kepada si mayit, beliau menyebutkan dalam masalah ini ada dua perkataan menurut para ulama’, kemudian dirojihkan perkataan yang setuju bahwa pahalanya sampai kepada si mayit, beliau berkata: “Adapun shoum, sholat tathowwu’ dan qiroatul Qur’an, maka dalam masalah ini ada dua perkataan:
Pertama, Bisa bermanfaat bagi mayit. Ini madzhab Ahmad dan Abi Hanifah dan selain keduanya.
Kedua, Pahalanya tidak sampai pada mayit. Ini masyhur dalam madzhab Malik.17
Kemudian beliau berkata lagi: “Mereka saling bertentangan dalam masalah sampainya amalan badaniyyah, seperti shoum, sholat dan qiro’atul Qur’an. Adapun yang benar adalah semuanya itu sampai kepada mayit. Maksudnya pahalanya akan sampai kepada mayit”.18
Syarat Sampainya Pahala Qiro’atul Qur’an
Adapun syarat sampainya pahala qiro’atul Qur’an pada mayit adalah hendaknya bacaan Qori’ (orang yang membaca) tidak karena mendapat gaji (upah), karena kalau begitu maka pahalanya tidak akan sampai, kemudian mayit tidak mendapatkan pahala yang dihadiahkan.
Dalam pensyaratan ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun meminta upah dalam membaca al-Qur’an dan memberi hadiah, maka tidak sah, karena itu tidak harus terjadi kecuali karena (ikhlas) mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Apabila dilakukan dengan karena upah maka menurut kesepakatan (para ulama) tidak diterima, karena Allah hanya menerima amalan yang hanya diperuntukkan untuk mencari wajah Allah saja, bukan untuk mencari upah dunia….”
Kemudian beliau berkata lagi: “Adapun kalau tidak membaca al-Qur’an kecuali karena mencari upah maka tidak ada pahala baginya, kalau tidak mendapat pahala maka tidak akan sampai juga pahala itu kepada mayit sedikitpun, karena yang akan sampai kepada mayit  adalah pahala dari amal, bukan amalannya….”.19
Perkataan Yang Rojih (benar) Dalam Masalah Amalan Orang Yang Hidup Dapat    Memberi Manfaat Bagi Mayit
Adapun yang rojih dalam masalah amalan orang yang hidup itu dapat memberi manfaat bagi mayit adalah perkataan orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh orang hidup dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit (maka akan sampai), sebagaimana perkataan Ibnu Qudamah al-Hambali, dan seperti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil yang menunjukkan kemanfaatan bagi mayit, karena do’a orang yang hidup, permintaan ampun untuknya, shodaqohnya, pelunasan hutangnya, hajinya dan lain sebagainya dari amalan-amalan kebaikan yang telah tersebut dalam nash-nash as-Sunnah an-Nabawiyah yang menunjukkan sampainya pahala kepada mayit, adapun yang tidak tersebut dalam nash-nash yang shorih, maka itu diqiaskan pada nash-nash shorih yang ada.
Pertentangan Dan Bantahan Dalam Masalah Ini
Ada sebagian kelompok yang menolak atas perkataan yang mengatakan sampainya pahala amal orang yang masih hidup kepada mayit, dengan berdalil firman Allah Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Artinya : “Dan tidaklah bagi menusia kecuali yang telah diusahakannya”. (QS. An Najm : 39)
Dan dengan dalil sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
Artinya : “Apabila anak adam telah meninggal maka putuslah semua amalnya kecuali tiga: Shodaqoh jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak sholih yang mendo’akan baginya (orang tuanya)”.
Bantahan Pendapat Ini
Pertama, Ayat al-Karimah وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى"” yang telah mereka jadikan hujjah, maka jawabannya ada dua poin:
1)    Point pertama: Telah ditetapkan dalam sunnah al-mutawatiroh dan kesepakatan ummat, bahwasannya (hal di atas) akan sampai kepada mayit, karena ini adalah usaha dari orang lain. Begitu juga telah ditetapkan bahwasannya mayit dapat mendapatkan manfaat dengan shodaqoh yang diperuntukkan baginya dan dengan memerdekaan budak, itu semua adalah usaha orang lain selainnya. Adapun jawaban mereka yang telah ada di dalam ijma’ maka itu adalah jawaban yang menentang.
2)   Point kedua: Bahwasanya Allah Ta’ala tidak mengatakan; bahwasanya manusia itu tidak akan dapat mengambil manfaat kecuali dari hasil usahanya sendiri, hanyasanya Allah berfirman “Dan tidaklah bagi manusia itu kecuali yang telah ia usahakan”, yaitu ia tidak dapat memiliki kecuali usahanya dan orang lain tidak layak untuknya. Adapun usaha orang lain itu untuknya, sebagaimana manusia itu tidak dapat memiliki harta keculi hartanya sendiri dan bermanfaat bagi dirinya. Adapun harta orang lain yang dimanfaatkan untuk orang lain maka itupun bermanfaat  bagi orang lain, akan tetapi jika disedekahkan untuk orang lain maka bermanfaat juga. Begitu juga apabila ia bersedekah kepada orang lain dengan usahanya maka Allah akan menjadikan manfaat dengannya, sebagaimana do’a dan shodaqoh baginya yang dapat bermanfaat baginya. Kalau begitu tidaklah segala sesuatu yang dapat memberi manfaat bagi mayit atau orang yang masih hidup itu harus dari usahanya sendiri, terkadang karena usahanya sendiri dan terkadang dengan sedekah orang lain yang diperuntukkan baginya.
Kedua, Adapun hujjah mereka dengan hadits Nabi as-Syarif:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
Disebut di sana anak dan do’anya untuk orang tuanya, karena anak merupakan hasil usahanya, sebagaimaman firman Allah Ta’ala "مَا غَنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ" Artinya: “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”. (QS. Al-Lahab: 2). Mereka (ahli tafsir) berkata: “Maksud apa yang ia usahakan” adalah “anaknya”. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:
 إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan seseorang adalah yang ia dapat dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah dari hasil usahanya”.
Maka ketika dia berusaha mengadakan anak maka amalan tersebut adalah dari hasil usahanya. Akan tetapi ini tidak mencegah dari mengambil manfaat dengan do’a dan amalan saudaranya, bahkan dengan do’a orang yang tidak ia kenal, walaupun itu tidak terhitung dari amalnya. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
Tidak dikatakan amalan orang lain tidak dapat bermanfaat. Maka apabila anaknya mendo’akannya, itu adalah ungkapan dari amalnya yang tidak terputus, dan apabila orang lain mendo’akannya maka itu tidak termasuk dari yang ia lakukan, akan tetapi itu dapat memberi manfaat baginya dengan amal orang lain tersebut.20



1 Ar Ruh. Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah : 119-142
1 Shohih Muslim bisyarhin Nawawi : 7/89-90
2 Nailul Author Lissaukani : 4/91
3 Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 24/314
4 Naill Author : 4/93
5 Majmu’ Fatawa : 24/308
6 Shohih Muslim bisyarhin Nawawi : 7/90
7 Majmu’ Fatawa : 24/310
8 Majmu’ Fatawa : 24/314-315
9 Al Mughni : 2/567
10 Al Mughni : 2/568
11 Shohih Bukhori Bisyarhi Al ‘Asqolani : 11/584
12 Majmu’ Fatawa : 24/310-311
13 Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi : 7/98
14 Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi : 7/90
15 Al Mughni : 2/568
16 Addurrul Mukhtar Waroddul Muhtar : 2/242-243
17 Majmu’ Fatawa : 24/315
18 Majmu’ Fatawa : 24/366
19 Majmu’ Fatawa : 24/315-316
20 Al Mufasshol Fie Ahkamil Mar’ati Wal Baitil Muslimi Fies Syari’ah Al Islamiyyah. DR. Abdul Karim Zaidan : 11/188-194)

0 komentar:

Posting Komentar