JUAL BELI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
I. MUQODDIMAH
Segala puji hanyalah untuk Allah Ta'ala Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sholallahu alai w asallam.beserta sahabat, keluarga dan orang- orang yang selalu mengikuti jalan beliau hingga hari kiamat nanti.Manusia merupakan mahluk sosial artinya manusia itu tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Begitu juga dalam masalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari baik berupa kebutuhan primer seperti pangan dan sandang ataupun kebutuhan yang lain sifatnya sekunder (Tambahan) . Untuk itu manusia membutuhkan patner untuk melakukan transaksi jual beli. Islam dengan segala aturan yang komperhensif, bukan hanya mengatur masalah ibadah yang hubungannya dengan AllahTa'ala saja, tetapi juga mengatur masalah muamalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia. Diantaranya dengan mensyariatkan jual beli.
Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hidup tentang hal-hal yang belum ia ketahui dari syariat islam. Dalam sebuah Hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam :” Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Bagi seorang muslim yang terjun dalam dunia perdagangan seyogyanya mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan jual beli, hal ini dimaksudkan agar Muamalah jual beli yang dilakukan berjalan sah dan sesuai dengan ketentuan syara’. Karena tak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan untuk mempelajari muamalah yang berkaitan dengan dunia yang ia terjuni ini (perdagangan), sehingga tak peduli kalau mereka memakan barang yang haram, sekalipun usahanya kian meningkat dan keuntungan bertambah banyak.
Sikap semacam ini merupakan kesalahan besar yang harus diupayakan pencegahannya, agar semua orang yang terjun ke bidang ini dapat membedakan mana yang baik dan menjauhkan diri dari keburukan. Dengan disyariatkan jual beli ini, manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah dan sesuai dengan ajaran islam serta dapat menghindari kecurangan kedengkian, kecurangan dan hal-hal yang dapat merusak hubungan diantara sesama muslim.
II. DEFINISI JUAL BELI
Secara etimologi, Ba’I (Jual beli) merupakan pecahan dari kata باع-يبيع-بيعاlawan kata syiro’, yang berarti tukar menukar barang dengan barang.[1]
Kata Bai’ (jual) dan Syiro’ (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang.[2]
Ibnu Qudamah mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian jual beli secara istilah adalah,” Pertukaran harta dengan harta dengan ketentuan memiliki dan memberikan kepemilikan.[3]
Disebut jual beli karena salah satu dari dua orang yang melakukan akad tersebut bersepakat untuk mengambil dan memberi[4]
III. DALIL DISYARIATKANNYA JUAL BELI
Jual beli itu hukumnya mubah berdasarkan dalil-dalil dari Al quran dan Hadits serta ijma’
A. Dalil dari Al quran
.وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan memakan harta sesamamu dengan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu[6]
B.Dalil dari Hadits
. Dari Rafa’ah bin Rafi’ Radhiyallohu 'anhu berkata: Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam ditanya : pekerjaan apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab: pekerjaan seseorang yang dilakukan dengan tangannya dan setiap jual beli itu mabrur. (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dishahihkan oleh Al Hakim) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:
انما البيع عن تراض
“ Sesungguhnya jual beli itu saling ridho”[7]
C. Ijma’
Kaum muslimin telah sepakat bolehnya melakukan jual beli, karena pada dasarnya hukum jual beli itu mubah. Imam Syafii berkata: asal mula (hukum) jual beli itu semuanya mubah, apabila ada saling ridho antara dua orang yang sedang melakukan transaksi, kecuali hal-hal yang telah dilarang oleh Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam dari jual beli tersebut.
IV . HIKMAH DISYARIATKANNYA JUAL BELI
Allah mensyariatkan jual beli sebagai pemberi peluang dan keluasan untuk hamba-hambanNya. Karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang pangan dan lain-lainnya. Kebutuhan ini tak pernah terputus dan tak pernah berhenti selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena sebagian besar kebutuhan manusia itu tergantung pada orang lain. Maka dari itu dituntut untuk berhubungan ( bermuamalah) dengan yang lainnya. Dalam hubungan ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna dari pertukaran; dimana seorang memberikan apa yang ia miliki kemudian dia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhanya masing- masing.
Diantara hikmah disyariatkannya jual beli ialah agar seorang muslim dapat dengan mudah mendapatkan apa yang dibutuhkannya dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya tanpa ada kesulitan yang berarti.
V. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
A. Rukun Jual beli
Menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat :
- Penjual
- Pembeli ( Al Aqid)
Orang yang melakukan akad hendaknya orang baligh yang berakal sehat dan tidak terhalang untuk melakukan jual beli. Seorang penjual harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapat ijin untuk menjualkannya.
c. Barang yang dijual
d. Shighoh Aqd, yaitu ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan).
B. Syarat jual beli
Syarat menurut pengertian Fuqoha’ adalah sesuatu yang menyebabkan tidak ada sesuat itu menjadi tidak adanya sesuatu, maka dari itu jika syarat itu tidak ada, jual beli menjadi tidak sah.[8] Dalam jual beli ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar jual beli tersebut menjadi sah. Dan syarat-syarat ini dapat berhubungan dengan orang yang melakukan transaksi, barang yang dijual dan shighotul akad.
Syarat orang yang mengadakan transaksi (Al Aqid)
Orang yang melakukan akad harus orang yang berakal dan Mumayyiz, maka dari itu tidak sah akad orang gila, mabuk dan juga anak kecil yang belum mumayyiz . Apabila ada orang gila kadang-kadang sembuh dan kadang-kadang gila, maka apa yang diakadkan ketika ia sembuh hal itu menjadi sah dan apa-apa yang diakadkan ketika gial itu tidak sah. Akad anak kecil yang mumayyiz dinyatakan sah jika mendapatkan ijin dari walinya.
Syarat barang yang diperjualbelikan
Berkenaan dengan barang yang dijual terdapat enam syarat yaitu;
a. barang yang dijual harus bersih dan tidak najis
sebagaimana sabda Nabi Saw :
ان الله حرم بيع الخمروالميتة والخنزيروالاصنام
“Sesungguhya Allah mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan patung”[9]
Menurut jumhur ulama Illah diharamkan jual beli ketiga hal tersebut ( khomer, bangkai dan babi) adalah Najis. Madzhab Hanafi dan Az Zhahiri mengecualikan barang ada manfaatnya. Mereka berkata boleh menjual kotoran-kotoran dan sampah-sampah yang najis untuk dimanfaatkan dalm perkebunan. Barang-barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar perapian dan digunakan untuk pupuk tanaman. Begitu pula hal yang najis yang lain asal tidak untuk dimakan dan diminum.[10]
Sedangkan illah diharamkannya memeperjualbelikan patung adalah karena tidak ada manfaat yang diperbolehkan.[11]
b. Barang yang dijual ada manfaatnya
Maka jual beli serangga, tikus dan ular tidak boleh kecuali untuk diambil manfaatnya. Boleh juga menjual kucing, lebah dan singa untuk berburu dan dimanfaatkan kulitnya. Demikian juga memperjualbelikan gajah untuk mengangkut barang.
Jual beli anjing yang bukan anjing terdidik itu tidak boleh, Karena rasulullah melarangnya. Anjing-anjing yang dapat dijinakkan seperti untuk penjagaan, menurut Imam Abu Hanifah hal itu boleh diperjualbelikan.
Menurut Imam An Nakhay ; yang diperbolehkan hanya memperjual belikan anjing untuk berburu, dengan berdalil dengan Hadits Nabi yang melarang memperjual belikan anjing kecuali untuk berburu. Hadits ini diriwayatkan oleh An Nasai dari jabir dan Alhafidh mengatakan : sanadnya dapat dipercaya (tsiqoh).
c. Yang melakukan transaksi jual beli adalah pemilik barang itu sendiri, atau orang yang diberikan ijin oleh pemilik.
Jika jual beli berlangsung sebelum ada ijin dari pihak pemilik barang, maka jual beli seperti ini dinamakan bai’ul fudhul, yaitu jual beli yang akadnya dilakukan orang lain sebelum ada ijin dari pemiliknya. Seperti seorang yang menjual harta milik istrinya tanpa izin istriatau membelanjakan harta milik istri tanpa izin.
Akad Fudhuli ini dianggap sebagai akad valid, hanya mulai masa berlakunya tergantung pada pembolehan si pemilik atau walinya. Jika si pemilik membolehkan, baru dilaksanakan dan jika tidak, maka akad menjadi batal.
d. Barang yang dijual dapat dihitung waktu pennyerahannya secara syara’ dan rasa.
Sesuatu yang tidak dapat dihitung pada waktu penyerahannya tidak sah dijual. Seperti ikan yang ada di air. Sebagaima yang diriwayatkan ibnu Masud, ia berkata
لاتشتروا السمك في الماء فانه غرر.
, janganlah kalian membeli ikan dalam air karena sesungguhnya itu termasuk penipuan.
Contoh lainnya adalah menjual janin yang masih dalam kandungan induknya. Termasuk dalam hal ini adalah menjual burung yang sedang terbang dan tdak diketahui tempat kembalinya.
Termasuk dalam kategori jual beli ini adalah memperjualbelikan sperma pejantan semua jenis binatang, seperti :kuda, unta, dan kambing.
e. Barang yang dibeli harganya diketahui.
Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak mengetahui, maka jual beli tidak sah, Karena mengandung unsur penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan panyaksian barang sekalipun tidak ia ketahui jumlahnya, seperti jual beli pada barang yang kadarnya tidak diketahui (jazaf). Untuk barang yang dapat dihitung, ditakar dan ditimbang) maka kadar kuantitas dan sifat- sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Demikian pula harganya harus diketahui, baik itu sifat, (jenis pembayaran),jumlah maupun masanya.
f. Barang yang diakadkan ada di tangan
Diperbolehkan bagi seseorang yang membeli sesuatu, menjualnya atau
menghibahkannya atau menggunakannya sesuai dengan hukum, sesudah barang tersebut berada di tangan. Adapun jika belum ada di tangan, maka sah baginya bertindak sesuai dengan ketentuan hukum, kecuali menjualnya. Alasannya kerena pembeli sudah dinyatakan memiliki barang dengan hanya akad. Dan itu menjadi haknya untuk bertindak/ menggunakan hak miliknya sesuai dengan kehendaknya.
Adapun menjualnya sebelum ada di tangan, maka tidak boleh. Karena dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada waktu masih berada di tangan penjual. Sehingga menjadi jual beli ghurur. Dan jual beli ghurur itu tidak sah baik berbentuk barang I’qor ( yang tidak bergerak ) atau yang dapat dipindahkan. Dan bisa berbentuk barang yang dihitung kadarnya atau jazaf. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dengan sanad yang hasan; bahwa Hakim bin Hazim berkata :” Wahai Rasulullah sesungguhnya aku membeli barang jualan, apakah yang halal dan apa pula yang haram darinya untukku?” Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:”Jika kamu telah membeli sesuatu, maka janganlah kamu jual sebelum ada di tanganmu”.
Syarat Shighotul Aqd
Shighotul aqd adalah bentuk yang dengannya terjadi transaksi jual beli berupa ijab (penyerahan) dan Qobul (penerimaan) jika akad itu disepakati oleh kedua belah pihak.
Diantara syarat shighotul aqd adalah
- Ada kesepakatan antara ijab dan qobul pada barang yang mereka saling rela berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika kedua belah pihak tidak sepakat, maka akad (jual beli) tidak sah.
- Hendaknya tempat akad jadi satu, yaitu ijab dan qobul dalam satu majlis dengan hadirnya dua orang yang melakukan transaksi secara bersamaan. Atau dalam satu tempat yang diketahui satu pihak yang tidak hadir ketika ijab.[12]
- Bentuk ungkapan yang dipakai berupa kata kerja masa lalu (shighoh madliyah) misal penjual berkata,”telah kujual padamu” dan pembeli berkata,” telah ku beli darimu”atau dapat berbentuk masa sekarang jika yang diinginkan pada waktu itu,seperti sekarang aku jual dan sekarang aku beli. Namun jika yang diinginkan masa yang akan datang atau terdapat kata yang menunjukkan masa datang dan semisalnya, maka hal itu baru merupakan janji untuk berakad. Janji untuk berakad tidak sah sebagai akad sah, karena itu menjadi tidak sah secara hukum[13]
Menurut Imam Syafi’I jual beli itu tidak sempurna kecuali jika pembeli berkata,”aku sudah membeli”.
Ijab qobul dapat berupa perkataan,misalnya seorang pembeli berkata,” juallah barang ini padaku”, kemudian penjual berkata “aku jual ini padamu’. Bisa juga berupa perbuatan, seperti seorang pembeli berkata,”juallah pakaian ini padaku” kemudian penjual memberikan pakaian yang dimaksud kepada pembeli.[14]
VI. PENSYARATAN DALAM JUAL BELI
Para fuqoha berbeda pendapat tentang adanya persyaratan dalam jual beli diantaranya :
- Diantara mereka ada berpendapat bahwa jual beli dan syarat itu batal. Ini menurut Imam syafi’I dan Abu hanifah
- Ada yang membolehkan syarat dan jual beli, diantara mereka adalah Ibnu Abi Subrumah
- Menurut Imam Ahmad jual beli dengan satu syarat itu boleh, tetapi jika dengan dua syarat tidak boleh
- Menurut Abu laila jual beli itu boleh sedangkan syarat itu tidak boleh.[15]
Ada juga yang membolehkan semua syarat asalkan tidak menyelisihi syar’I , walaupun syarat itu jumlahnya banyak. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qoyyim dan Syaikul Islam Taqiyyuddin, dan ini –Insya Allah- merupakan pendapat yamg paling bagus, karena syariat islam itu merupakan syariat yang paling sempurna, tidak melarang sesuatu, kecuali hal tersebut mengandung sesuatu yang berbahaya dan merusak.[16]
0 komentar:
Posting Komentar