Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Senin, 12 Desember 2011

JARINGAN IB*** LIBERAL (Iblis aja gak ampe gitu)



 Liberal Menurut Tinjauan Syar'i
Oleh:Adian Husaini


      Fatwa MUI 29 Juli 2005: Sekularisme, Pluralisme Agama, Liberalisme (‘sipilis’) bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluk paham tersebut.
      “Kepada institusi PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam masyarakat. Apabila pemikiran Islam Liberal tersebut dimunculkan oleh pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi, baik berupa teguran keras (istitaabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU).” (Rekomendasi Konferensi Wilayah NU Jatim di Pasuruan, 11-13 Oktober 2002).
      Liberalisasi terjadi dalam semua aspek termasuk agama
      Liberalisasi sudah merasuk ke lembaga2 Islam.
      Istilah ‘ISLAM LIBERAL’ – tak dikenal dalam tradisi Islam
      Mengikuti Liberal Judaism dan Liberal Christian
      Istilah ‘Islam Liberal’ mulai populer di Indonesia tahun 2001 – muncul JIL (Jaringan Islam Liberal) yang didukung jaringan media massa. Sebenarnya, gerakan liberalisasi Islam di Indonesia dilakukan sejak awal dekade 1970-an.
      Moh. Shofan (Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina): Karena itu, organisasi-organisasi besar Islam sekarang ini harus digantikan dengan generasi muda yang liberal, sekuler, dan pluralis. Kehadirannya merupakan keniscayaan. Mereka harus bisa menggantikan, sebab kalau tidak, tentu organisasi-organisasi itu akan mandek dan menjadi benteng konservatisme. Dengan mengacu pada pemaparan di atas, sesungguhnya musuh utama kelompok progresif-liberal dalam memperjuangkan proyek pluralisme, liberalisme, dan sekularisme itu bukanlah Barat atau kelompok-kelompok di luar Islam, melainkan kelompok umat Islam sendiri.” (“Menakar Objektifikasi Pluralisme”, Media Indonesia, 22 Juni 2007).
      Hasil Penelitian Badan Litbang dan Diklat Depag tentang ‘Faham-faham keagamaan liberal pada masyarakat perkotaan’ di Yogyakarta (Dipresentasikan 14 Nov. 2006): Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman... ‘’
      Hasil penelitian Depag…: Dalam masalah theologi, Islam Liberal berpendapat : ‘’Tuhan apapun yang disembah oleh umat, tidak menjadi masalah. Di sisi lain Tuhan tidak berhak menghukum manusia karena tidak menyembahnya (atheis), karena hal ini bukan wewenang Tuhan untuk mengatur manusia, karena sudah masuk dalam ruang privat.” . Tentang nikah beda agama: “Larangan nikah beda agama menurut Islam Liberal dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan tuntunan Al-Quran bahwa Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.”
      Program keislaman AS di Indonesia (4 Mei 2007): Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.” http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html .

      Liberalisasi Agama: menempatkan agama sebagai bagian dari proses dinamika sejarah. Dominasi peradaban barat melahirkan westernisasi/liberalisasi
      Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi, ulama besar India: “… di saat sekarang ini selama beberapa waktu dunia Islam telah dihadapkan pada ancaman kemurtadan yang menyelimuti bayang-bayang di atasnya dari ujung ke ujung…Inilah kemurtadan yang telah melanda muslim Timur pada masa dominasi politik Barat, dan telah menimbulkan tantangan yang paling serius terhadap Islam sejak masa Rasulullah saw…”

MODERNISME ­­à PEMBARUAN AGAMA à LIBERALISASI AGAMA
      N. Madjid:  “Pembaruan harus dimulai dengan  dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” (“Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” 3 Januari 1970).

WESTERNISASI/LIBERALISASI AGAMA KRISTEN
      Dampak WESTERNISASI Kristen di Barat: Di Amsterdam, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.
      Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.
      Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur -- terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang. (Herlianto, Gereja Modern, Mau Kemana?, 1995)

LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA
      Program liberalisasi islam di indonesia sejak  awal 1970-an:
1.     Pentingnya konstekstualisasi ijtihad.
2.    Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan.
3.    Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
4.    Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Dr. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1999):
      Harun Nasution: “Dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animisme, politeisme atau henoteisme, tetapi agama monoteisme, agama tauhid. Dasar ajaran monoteisme ialah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta.” (Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 15).
      Agama-agama yang dimasukkan ke dalam kelompok agama monoteisme, sebagai disebut dalam Ilmu Perbandingan Agama, adalah Islam, Yahudi, Kristen, dengan kedua golongan Protestan dan Katholik yang terdapat di dalamnya, dan Hindu. (hal. 19).
      Pada mulanya, Yahudi, Kristen dan Islam berdasar atas keyakinan tauhid atau keesaan Tuhan yang serupa. Dalam istilah modern keyakinan ini disebut monoteisme. Tetapi dalam pada itu kemurnian tauhid dipelihara hanya oleh Islam dan Yahudi. (hal. 22).
      Prof. HM Rasjidi (Tokoh Dewan Da’wah): Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.” (ditulis tahun 1975).

LIBERALISASI SYARIAT
      Lebaralisasi Syare'at dilakukan dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad yang menekankan aspek kontekstual historis, sehingga hukum islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian hukum islam.
      Definisi Relativisme: the doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute. what is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and relative, depending on the person, circumstances, or social situation. The view is as ancient as Protagoras, a leading Greek Sophist of the 5th century BC, and as modern as the scientific approaches of
       “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun,  untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena wakyu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar. (Redaksi Justisia: Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Alamat Redaksi: Gedung H.I Lantai I Kampus III IAIN).
      Kenapa Tuhan di era Nabi Luth mengharamkan perkawinan homo? Boleh jadi (kalau memang kisah Luth ini sebagai sesuatu yang benar adanya dan bukannya sebagai mitos belaka) pelarangan tersebut adalah ada “narasi yang tak terbaca”. Betulkah Perilaku homo itu menyimpang? Tentu tidak. … Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk Kebodohan umat Islam generasi sekarang Karena ia hanya memahami doktrin agamanya Secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut… Boleh jadi cerita kaum Luth itu (kalaupun benar adanya, jangan-jangan malah cuma mitos) terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang kebetulan homoseks? (Agama Peduli Homoseksual; Membebaskan Kaum Homoseksual dari Penindasan Agama).
      Prof. Dr. Siti Musdah Mulia ( Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta) : “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya." (Buku Muslimah Reformis, 2005:63)
      Sebagian ulama, seperti Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi an-Na'im berpendapat poligami hanya dibolehkan pada masa-masa awal Islam dan dilarang ketika umat Islam sudah menjadi masyarakat yang beradab.” (Musdah Mulia, Menggugat Poligami/makalah).
      “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”  (A. Mun’im Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, Paramadina&The Asia Foundation), 2004:164)
      Ulil Abshor Abdala ( Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal): Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”  (Harian Kompas, 18-11-2001) “…apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya”.  “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.” (Ulil Abshar Abdalla, Epilog buku “Mengebor Kemunafikan”, karya FX Rudi Gunawan)

LIBERALISASI AL-QURAN DAN TAFSIR AL-QURAN
      Dekonstruksi Dan  Desakralisasi Al-Qur’an. AL-Quran Bukan KItab Suci, Al-Quran Bukan Lafdhan wa-Ma’nan dari Allah, tetapi kata-kata  Muhammad, Al-Quran adalah Rekayasa Politik Utsman, Al-Quran adalah Produk Budaya Arab, Al-Quran masih Meninggalkan Sejumlah Masalah Mendasar, Perlu Dibuat Al-Quran Baru: EDISI KRITIS AL-QURAN
      Dosen Institut Agama Islam Negeri (Iain) Injak Lafadz Allah (Majalah GATRA, edisi 7 Juni 2006
      "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput."
      Pada 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia.  "Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.” Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. "Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral," katanya setengah berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.

HERMENEUTIKA
      Dikembangkan Studi Kritik Quran Dan Desakralisasi Al-Quran. Hermeneutika Jadi Mata Kuliah Wajib. Mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadis” di Program Studi Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta (Sem VIII):
      Tujuan: Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan hadis. (Referensi: Mohammed Arkoun, Rethinking Islam; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence; Kenneth Crag, The Event of the Quran: Islam in Its Scripture; Farid Essac, Qur’an Liberalism and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression).
      “Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian.”
      Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, (Edisi 23 Th XI, 2003): “Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an…
      Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, (Edisi 23 Th XI, 2003): “Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad…
      Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, (Edisi 23 Th XI, 2003): Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain…
      Sumanto Al-Qurtuby: Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu).

HERMENEUTIKA DAN LIBERALISASI TAFSIR
      Hermeneutika menjadi Mata kuliah wajib Di Perguruan Tinggi Sebagai alternatif metodePenafsiran al-Quran
      Tujuan mata kuliah “Hermeneutika dan Semiotika” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,  Universitas Islam Negeri Jakarta:
       “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis”. (Referensi yang dianjurkan: (1) Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (2) Umberto Eco, Semiotics and the Philosophy of Language, (3) H.G. Gadamer, L’art de conprehende: Hermeneitique et  tradition philosophique.
      … tafsir-tafsir klasik Al-Quran tdk lagi memberi makna dan fungsi yg jelas dlm kehidupan umat Islam.
      “Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih dalam level manusia, pastilah “terbatas”, “parsial-kontekstual pemahamannya” serta “bisa saja keliru”. (Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Rektor UIN Yogya)
      Prof. Dr. Syafii Maarif: Iman saya mengatakan bahwa Alquran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Maha Mutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya. Kolom Opini Republika 29/12/06
      Realitas yg berkuasa: Realitas, atau asbab nuzul à prinsip utama (substansi) teks wahyu. Mengabaikan realitas dg mengutamakan teks wahyu yg baku akan menyebabkan mitos; teks berubah menjadi mitos disebabkan mengabaikan sisi kemanusiaannya & hanya ter-fokus pd sisi gaibnya saja QD: Hal 23
      Teks Manusiawi: Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, al-Quran tlh bergeser kedudukannya dr Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran tlh berubah dr wahyu menjadi interpretasi" (QD:34-35)
      Teori Tafsir Abu Zayd: Kami memposisikan pembaca teks (manusia), -dg segala aspek sosial & latar belakang historisnya-, sbg kuncinya sbg hakim dlm memaknai teks al-Qur’an. (QD: 19-23)
      Liberalisasi Aqidah Islam dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama
      Jalaluddin Rakhmat: “Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk sorga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka percaya rahmat Allah itu luas.”
      “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (GATRA, 21 Desember 2002).
      Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang
      “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama… Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”  (Buku Tiga Agama Satu Tuhan,  Mizan, Bandung, 1999, hal. xix.)
      Goenawan Mohamad: Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya. (Tempo, 29 Juli 2007).
      Sumanto – Sarjana Syariah IAIN Semarang: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil  menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Rumah Kata, Yogyakarta, 2005, hal. 45).
      Prof. A. Munir Mulkhan: “Karena itu doktrin kesalehan dan dosa, surga dan neraka, serta doktrin tentang iman dan kafir, perlu ditafsir ulang. Iman tidak sekedar percaya kepada adanya Tuhan dengan segala sifat-Nya, tapi juga bukti empirik kesediaan menerima pengakuan orang lain atas Tuhan dengan cara mereka. Kesalehan tidak sekedar dilihat dari ritual formal, tapi juga dari kemanfaatan hidupnya bagi orang lain.” (hal. 163-164). (buku: Kesalahen Multikultural, dalam bab berjudul “Pendidikan Agama dan Penyemaian Teologi Inklusif.”
      Muhsin Labib, dosen ICAS Jakarta: “Mukmin sejati pastilah kafir sejati karena ia beriman kepada Allah sekaligus kafir kepada orang-orang zalim (thaghut). Karena itu, kita mesti menjadi kafir yang baik, kafir profetik.” majalah ADIL, No. 19, 28 Juni-11 Juli 2007).

CONTOH-CONTOH AJARAN SESAT YANG DIBELA KAUM PLURALIS
      Wahyu  dari Jibril versi agama Salamullah—Lia ‘’Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’ (Lia Eden sebagai wahyu, yang diterbitkan dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003). (Ruhul Kudus, sub judul ‘’Seks di sorga”).
      Surat Lia Eden ke Ormas-ormas Islam, 14-8-2006:
      "Kalangan umat Islam yang telah menzalimi dan memenjarakan Lia Eden dan Muhammad Abdurrahman kami sebutkan sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab atas keputusan Allah SWT dalam Fatwa-Nya yang terberat yakni: PENGHAPUSAN AGAMA ISLAM."
      Kitab Darmogandhul (salah satu aliran Kebatinan Jawa): “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir, ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.” (Prof. HM Rasjidi, Islam dan Kebatinan, Bulan Bintang, 1977)
      Kitab Gatholoco (Terj. Prof. Rasjidi): “Allah, artinya olo yakni jelek, karena kemaluan lelaki atau perempuan itu jelek rupanya. Kalimat syahadat: ‘’Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah artinya “Aku menyaksikan bahwa hidupku dan cahaya Tuhan serta Rasa Nabi adalah karena bersetubuhnya bapa dan ibu. Karena itu saya juga ingin melakukan (bersetubuh) itu. Mekah artinya bersetubuh, yakni perempuan yang memegang kemaluan lelaki, kemudian ia mekakah berposisi untuk bersetubuh.”
      “Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib al-Rahman, hal. 38).

0 komentar:

Posting Komentar