HUKUM MENCINCANG MAYAT MUSUH
- Hukum asal membunuh orang-orang sipil
Dalam Islam, jihad memiliki etika yang harus dijaga. Diantaranya adalah tidak mencuri harta rampasan perang, tidak membunuh wanita, anak-anak, orang yang sudah renta dan pendeta, jika mereka tidak terlibat dalam perang. Akan tetapi jika mereka terlibat dalam perang, maka boleh dibunuh. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw yang ditujukan kepada para komandannya :
“Berangkatlah dengan membaca : Bismillahi wa billahi wa’ala millati Rasulillahi (dengan menyebut nama Allah dan menetapi millah Rasulullah). Janganlah kamu membunuh orang yang sudah renta, anak-anak, bayi dan wanita, dan janganlah kamu berlebihan sadis, dan kumpulkanlah harta rampasan perangmu. Lakukanlah perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (HR. Abu Daud : 2614) (Lihat Minhajul Muslim : 437 )
Dr. Wahbah Az-zuhaily berkata,”Dibolehkan membunuh orang-orang yang bekerjasama membantu dalam peperangan, baik melalui pikiran, kepengurusan, maupun yang terlibat langsung dalam pertempuran. Dan tidak diperbolehkan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan dari para wanita, bayi, orang gila, orang tua yang lemah, orang yang terbaring sakit, lumpuh, buta, orang yang tangan dan kakinya putus bersilang, terpotong tangan kanannya, kurang akal, rahib-rahib di tempat peribadatan mereka, kaum terintimidasi yang berada di suatu rumah atau gereja, orang-orang yang tidak mampu berperang, dan para petani di ladang-ladang mereka. Kecuali jika mereka ikut berperang dengan perkataan, perbuatan, pendapat, dan turut memberikan harta. Berdasarkan dalil bahwa Rabi’ah bin Rafi’ As-Sulamy mendapati Duraid bin As-Shimmah ketika perang Hunain. Maka ia membunuhnya, padahal ia adalah seorang tua renta yang usianya lebih dari seratus tahun. Hanya pikirannya yang bisa bermanfaat darinya.. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak mengingkarinya. Diperbolehkan juga membunuh wanita jika ia merupakan ratu musuh ; karena dengan membunuhnya akan mencerai-beraikan kekuatan mereka. Begitu pula jika raja mereka adalah seorang anak kecil dan mereka mendatangkannya dalam peperangan, maka tidak mengapa membunuhnya jika dengannya akan mencerai-beraikan kekuatan mereka.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu : 6/421)
- Hukum membunuh dengan mencincang tubuh
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan (VII/366) ia berkata,”Ketika perang Uhud dan kaum musyrikin sudah pulang, kaum muslimin melihat pada tubuh (jenazah) saudara mereka cincangan yang sangat parah ; kaum musyrikin memotong telinga dan hidung serta membelah perut mereka. Maka para sahabat Rasulullah saw berkata,”Kalau Allah memberikan kepada kami (kemenangan) dari mereka, pasti akan kami lakukan (hal yang sama)”. Akhirnya Allah menurunkan ayat :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَاعُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl :126)
Maka Rasulullah saw bersabda,”Kita memilih bersabar.”
Jadi mencincang (mayat) adalah dilarang dan haram berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagaiman tercantum dalam Shahih Bukhari dari Abdullah bin Yazid ra bahwa Rasulullah saw melarang untuk menjarah dan mencincang mayat (Al-Mutslah).
Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (V/120),”Al-Mutslah artinya : merusak jasad orang yang terbunuh seperti memotong anggota badannya, membuang kemaluannya dan sebagainya.
Dan di dalam Shahih Muslim dari hadits Buraidah bahwasannya Nabi saw memberikan wasiat kepada para komandan pasukan dan sariyah-sariyah beliau dengan sabdanya,”Berperanglah di jalan Allah dengan nama Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan janganlah berbuat ghulul, jangan mengingkari janji, jangan mencincang dan jangan kalian bunuh anak kecil…”.
Hanya saja, apabila musuh mencincang mayat kaum muslimin, maka kaum muslimin boleh membalas mencincang mayat musuh dan keharamannya hilang dalam kondisi seperti ini. Namun, bersabar serta tidak melakukan penyincangan adalah lebih baik bagi kaum muslimin.(Lihat Serangan WTC Dalam Timbangan Syar’i :32)
Ibnu Muflih berkata dalam Al-Furu’ (VI/218) menukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Sesungguhnya mencincang (mayat) adalah dibenarkan bagi kaum muslimin, mereka boleh melakukannya sebagai pemberian pelajaran setimpal dan pembalasan. Merekapun boleh tidak melakukannya dan bersabar adalah lebih utama, dan ini ketika tindakan mencincang tidak memberikan nilai tambah apapun dalam jihad serta tidak menjadi pelajaran bagi mereka dari melakukan tindakan yang serupa. Adapun jika dalam mencincang, secara menyeluruh terdapat ajakan kepada mereka kepada keimanan atau menjadikan mereka jera dari sikap permusuhan, maka di sini termasuk menegakkan hudud serta jihad yang disyari’atkan”. (Lihat pula Al-Ikhtiyarat tulisan syaikhul Islam : V/521)
Ibnul Qayyim berkata dalam Hasyiyah-nya (XII/180),”Allah ta’ala memperbolehkan kaum muslimin untuk mencincang orang-orang kafir jika mereka mencincang kaum muslimin, meskipun mencincang (sebenarnya) dilarang. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَاعُوقِبْتُمْ بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS An-Nahl :126)
Ini dalil bahwa memotong hidung dan telinga serta membelah perut dan yang semisal adalah hukuman yang setimpal, bukan semata-mata sikap permusuhan. Sementara balasan setimpal itu adalah adil. Sedangkan mencincang itu dilarang berdasarkan riwayat Hmad dalam Musnadnya dari hadits Samurah bin Jundub dan Imran bin Hushain ia berkata,”Tidaklah Rasulullah saw berkhutbah kepada kami melainkan memerintahkan kami untuk bersedekah dan melarang untuk mencincang.
Al-Baqarah :106
Dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah (فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ)
(وَجَزَآءُ سَيِّئَةٍ) (QS. Asy-Syuuraa : 40) (وَلَمِن انتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ ) (QS. Asy-Syuuraa : 41) dan firman Allah (وَإِنْ عَاقَبْتُمْ) (QS. An-Nahl :126) berkata,”Perintah ini dan yang semisalnya turun di Mekkah ketika jumlah kaum muslimin sedikit. Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk melawan orang-orang musyrik yang senantiasa mencaci-maki dan menyakiti mereka. Maka Allah memerintahkan kepada kaum muslimin kepada mereka yang melampaui batas untuk diperlakukan seperti apa yang mereka lakukan atau bersabar dan memaafkan. Ketika Rasulullah r hijrah ke Madinah, dan Allah memuliakan kekuasaannya, Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menghentikan perbuatan tersebut dan tidak saling bermusuhan satu dengan yang lainnya seperti orang-orang jahiliyyah..”(Fathul Qadir :1/241)
Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Ayat ini turun di Makkah ketika tidak ada kekuatan dan tidak ada jihad. Lalu dimansukh dengan ayat qital di Madinah. Pendapat ini dibantah oleh Ibnu Jarir, dan berkata,”Bahkan ayat ini termasuk Madaniyyah setelah umrah Qadhiyyah, pen dapat ini bersandar kepada Mujahid rahimahullah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim :2/221)
Surat An-Nahl :126
Ibnu Katsir berkata,”Allah ta’ala menyuruh berbuat adil dalam qisahsh dan memotong (anggota badan) dalam rangka menuntut hak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim :2/544)
Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata,”Ketika terjadi perang Uhud, 60 orang dari orang-orang Anshar terbunuh dan dari orang-orang Muhajirin 6 orang. Maka para sahabt Rasulullah saw berkata,”Jika suatu saat kita bisa menang sebagaimana orang-orang musyrik, maka benar-benar kita akan membuat mereka seperti itu.” (para sahabat yang terbunuh). Ketika terjadi Fathu Makkah, seorang sahabat berkata,”Kita tidak akan mengenal Quraisy lagi setelah hari ini.” Maka ada seseorang yang berkata,”Sesungguhnya Rasulullah saw telah menjamin keamanan kulit putih dan kulit hitam kecuali fulan dan fulan – beberapa nama yang disebut-. Maka Allah tabaaraka wa ta’ala menurunkan ayat : ( وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَاعُوقِبْتُمْ بِهِ ) hingga akhir surat. Maka Rasulullah saw bersabda,”Kita bersabar dan tidak akan balas dendam.” Ayat yang mulia ini memiliki persamaan dalam Al-Qur’an, karena mencakup disyari’atkannya berbuat adil dan anjuran berbuat keutamaan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim :2/544-545)
0 komentar:
Posting Komentar