Hukum Memakai Cadar bagi Wanita
I.MUQADIMAH
Kita mengetahui bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun. Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh pada agamanya, dan ikhlas. Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam. Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang melanggarnya).
Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah. Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar a dan ada yang bersikap longgar seperti Ibnu Abbas a ; dan selama diantara mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan, "Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari. Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan senantiasa ada.
Ketika ulama berfatwa bukan berarti tidak mengacu kepada Rasulullah n , sehingga terkesan sebagian orang ingin meninggalkan fatwa ulama dan hanya mengacu kepada Rasulullah n saja. Ini adalah pemahaman yang keliru tentang fatwa. Sebab fatwa lahir dari ijtihad dan ijtihad itu adalah upaya sungguh-sungguh dari seorang yang punya kapasitas terntentu dengan menggunakan metode yang teramat ilmiyah untuk menyimpulkan hukum syariat Islam berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan Sunnah Rasulullah n.
Terkadang ada keterangan dari Rasulullah n yang sifatnya jelas, tegas dan to the point, Maka kita tidak butuh lagi fatwa dan para ulama pun tidak perlu lagi berijtihad. Semua orang cukup dengan sekali baca sebuah hadits atau ayat, langsung saat itu juga tahu hukum suatu masalah. Dalam kasus-kasus yang telah jelas dan terang dalilnya, kita tidak perlu lagi mengutak-atik hukumnya.
Namun ada sekian banyak permasahalahan yang tidak ada dalilnya yang sharih, bahkan terkadang hukumnya tersamar atau tidak disebutkan secara langsung atau tidak to the point tentang suatu hal. Sehingga sangat besar kemungkinannya untuk menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda antara satu orang dengan lainnya.
Tidak jarang dalil-dalil itu bukannya tidak ada, melainkan seakan satu sama lain saling bertentangan. Dan kasus ini bukan hanya dalam satu dua kasus, melainkan ada banyak kasus yang demikian.
Yang menarik, kerepotan dalam mengambil kesimpulan hukum ini bukan hanya dialami oleh kita di masa sekarang ini saja. Bahkan dahulu para shahabat sendiri pun pernah mengalami hal yang sama. Meski bunyi petunjuk dari Rasulullah n sama, namun mereka memahaminya dengan cara yang berbeda. Seperti kasus shalat ashar di perkambungan Bani Quraidhah yang terkenal itu.
Maka untuk bisa memahami hukum yang terkadung dalam sebuah dalil, diperlukan metode analisa yang tajam, aktual dan terpercaya. Yang mempu melakukannya tentu orang-orang yang punya kapasitas terutama dari sisi kafaah syar`iyah. Dan kegiatan ini disebut dengan ijtihad dan hasilnya adalah fatwa para ulama. Kalau antara satu fatwa dengan yang lainnya tidak sesuai benar, tugas kita adalah meneliti kembali manakala diantara fatwa-fatwa itu yang ditunjang dengan dasar yang lebih kuat. Bukannya kembali kepada Rasulullah n, sebab semua pun sedang berusaha kembali kepada Rasulullah n. Tapi manakah yang paling bisa diterima hujjahnya dalam rangka kembali kepada Rasulullah n.
Dan kita tidak perlu bingung berhadapan dengan banyak fatwa yang berbeda itu, silahkan lihat dasar pijakannya dan bandingkan antara satu dan lainnya. Yang paling kuat menurut anda itulah yang bisa anda pilih. Dan salah satu indikator yang paling kuat adalah yang dipegang oleh jumhur ulama, meski bukan satu-satunya indikator.
Maka mudah-mudahan Allah lmemberi taufik kepada penulis hingga mampu mengungkapkan pendapat yang benar, yang dapat memutuskan perselisihan atau memberikan solusi dalam perselisihan pada permasalahan cadar ini .
II.PENGERTIAN
Di katakan dalam kamus Al Muhith bawa kata cadar dalam bahasa arabnya (نقاب) Atau nikoob mempunyai arti : kain yang di gunakan untuk menutupi muka seorang wanita[1].
Istilah cadar sendiri sudah di kenal pada awal di wajibkannya hijab, sebagaimana Shofiyah binti Sirin menjadikan jilbabnya sebagai cadar padahal umurnya melebihi enam puluhan. (lihat Jilbatul Mar' ah Al Muslimah Oleh Syaikh Muhammad Nasrudin Al Baani ).
Istilah cadar sendiri sudah di kenal pada awal di wajibkannya hijab, sebagaimana Shofiyah binti Sirin menjadikan jilbabnya sebagai cadar padahal umurnya melebihi enam puluhan. (lihat Jilbatul Mar' ah Al Muslimah Oleh Syaikh Muhammad Nasrudin Al Baani ).
III. FATWA TENTANG CADAR DAN HUJJAHNYA
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam kajian ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan dengan dalil dan hujjah yang mereka ajukan. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini secara bashirah dan wa'yu yang sepenuhnya. Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.
A.Kalangan Yang Mewajibkan Cadar
Perlu di ketahui bahwasanya cadar merupakan suatu amalan yang di wariskan secara turun –temurun sejak masa sahabat ghinggga generasi setelahnya dan suatu amalan yang di lakukan secara turun temurun ini merupakan hujjah syar'I yang mesti laksanakan . dan kaum muslimin pun telah sepakat akan hal ini dan telah di kenal pada masa permula'an Islam , masa sahabat dan masa Tabi'in. hal itu di sampaikan oleh sejumlah Imam ulama di antaranya : Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr v , Imam An-Nawawi v , Ibnu Taiimiyah v dan praktek ini tetap berlaku hingga sekitar pertengahan abad ke -14, yaitu masa tercabik-caiknya Daulah Islamiyah menjadi beberapa negara kecil.
Al-Hafizh Ibnu Hajjar v di dalam kitabnya Fathul al- Baari berkata : ''kebiasa'an para wanita dari zamam dahulu sampai kini, masih tetap menutupi muka mereka dari pandangan orang lain yang bukan muhrimnya [2].
Awal mula terjadinya pembangkangan itu di mulai dengan melepas kerudungn penutup muka di negara Mesir kemudian merambat ke negara Turki , Syam, Irak , dan menyebar luas di Maroko serta negara-negara Non -Arab. setelah itu barulah berkembang kepada fenomena–fenomena mempertonkon Aurat, dengan menanggalkan model pakaian yang bisa menutupi seluruh anggota tubuh –naa uzzu billahi min zalilk.
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis Non- mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzah : 59)
Imam Suyuthi v berkata : ''Ayat ini adalah ayat hijab yang berlaku bagi seluruh wanita. Di dalamnya berisi kewajiban untuk menutupi kepala dan wajah mereka .''
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya memperaktekkan cara mengulurkan jibab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas kepala sehingga dekat kealisnya, atau diatas alis.
Imam As-Suyuthi v berkata : Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, didalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.
Syaikh Bakar bin Abu Zaid v berkata [3] : Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil :
1. Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah : Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
2. Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliyyah adalah wajah mereka, lalu Allah l perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi n serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ketubuh mereka. Kata idna yang ditambahkan hurup ‘ala mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
3. Menutupi wajah, baju dan perhiasan dengan jilbab itulah yang difahami oleh wanita-wanita Shahabat.
4. Dalam firman Allah l: Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah intuk dikenal, dan karena itu mereka tidak diganggu. “ Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, Maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganngu.
5. Aisyah j berkata : "Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, disaat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah n. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang dari kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
6. Asma’ binti Abu Bakar jberkata : “ kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisir rambut sebelum itu disaat ihram. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al. Hakim)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita Shahabat.
Demikian juga mazhab Imam Ahmad yang mengatakan : Setiap bagian tubuhnya, termasuk kukunya adalah aurat. Ini juga pendapat Imam Malik. Semenjak turunnya Ayat 59 dari surat Al Ahzab para wanita muslimah ketika itu menutup wajah dari pandangan pria. Jadi wanita dahulu mengenakan Niqob ( cadar).
b. Surat An-Nuur : 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ÇÌÊÈ
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya." (QS. An-Nur : 31).
Ibnu Abbas a di dalam menafsirkan ayat ini : “ Zinatahunna illa maa dhoharo minhaa “Yang di maksud ayat ini adalah : Wajah dan kedua telapak tangan termasuk tidak boleh terlihat. Bahkan lebih jauh lagi beliau mengatakan : Dalam Ayat ini Allah l memerintahkan kepada kaum muslimah jikalau akan keluar rumah karena ada suatu keperluan untuk senantiasa menutup seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah kecuali satu mata kirinya yang di gunakan untuk melihat. Di riwayatkan dari Ali bin Abi , dan Tholhah h marfu' dengan sanad baik/ jayiid. ( lihat Tafsir Imam Ath Thobari Jamiul Ahkam, Tafsir Al Qu'ranul Adzhim Imam Ibnu Katsir, Tafsirnya Imam As Syanqiti Adhwaaul bayan, dan Tafsir Imam Ibnul 'Arobi Ahkamul Qu'ran )
Ibnu Mas`ud a berkata bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju
Syafi'iyah dan Hanabilah mengatakan ayat ini secara mutlak mengharamkan sesuatu dari anggota tubuh secara mutlak untuk di tampakan begitu juga dengan perhiasan mereka di depan para lelaki asing kecuali yang biasa nampak darinya ( إلا ما ظهر منها )adalah yang dimaksud adalah biduni kosdin wala amdin (tidak sengaja ) semisal pakaiannya terkena sapuan angin lalu terlihat betisnya atau dari sesuatu dari anggota tubuhnya .dll.
Dari sini bisa di ambil kesimpulan bahwasanya para wanita di larang atau di haramkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya kecuali tersingkap dengan tidak di sengaja [4].
c. Surat Al-Ahzab : 53
4 #sÎ)ur £`èdqßJçGø9r'y $Yè»tFtB Æèdqè=t«ó¡sù `ÏB Ïä!#uur 5>$pgÉo 4 öNà6Ï9ºs ãygôÛr& öNä3Î/qè=à)Ï9 £`ÎgÎ/qè=è%ur 4 $tBur c%x. öNà6s9 br& (#rè÷sè? ^qßu «!$# Iwur br& (#þqßsÅ3Zs? ¼çmy_ºurør& .`ÏB ÿ¾ÍnÏ÷èt/ #´t/r& 4 ¨bÎ) öNä3Ï9ºs tb%2 yZÏã «!$# $¸JÏàtã ÇÎÌÈ
0 komentar:
Posting Komentar