Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Hukum melafadzkan niat dalam sholat


Pertanyaan pertama:
Hukum melafadzkan niat dalam sholat

Jawaban
Dalam masalah niat ada yang telah disepakati oleh para ulama ada pula yang masih diperselisihkan oleh mereka, adapun yang disepakati oleh para ulama adalah tempat niat yaitu didalam hati. Tidak ada seorangpun dari kalangan ulama ahlu sunnah yang menyelisihi kesepakatan ini.
Sedangkan yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah tentang keharusan (boleh tidaknya) melafadzkan niat. Tentang masalah ini bisa kita simpulkan bahwa madzhab para ulama terbagi menjadi tiga kelompok:
a)            Golongan yang menyunnahkan melafadzkan niat dalam setiap ibadah, terutama dalam ibadah sholat. Bahkan sebagian golongan ini menjadikan “melafadzkan niat” sebagai syarat sah sebuah ibadah. Mereka adalah “Syafi’iyah” (pengikut Imam asy-syafi’i). Perlu dicatat pendapat “Syafi’iyah” belum tentu pendapat imam asy-syafi’I, terutama syafi’ah yang hidup setelah masa imam asy-syafi’i. Dengan dalih bahwa itu akan lebih memantapkan hati atau lebih membantu keikhlasan hati.
b)           Golongan yang melarang melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang ditimpa rasa was-was saat ingin beribadah (seperti sholat). Mereka berdalih bahwa itu akan membantu orang yang tertimpa was-was tadi untuk mengihklaskan niatnya serta membantu menghilangkan rasa was-was. Kelompok ini diwakili oleh “Malikiyah” (pengikut imam malik) dan “Ahnaf” (madzhab hanafi).
c)            Golongan yang menghukumi secara mutlak (tanpa pengecualian) bahwav “melafadzkan niat” sebuah kebid’ahan. Pendapat inilah yang paling benar dan menjadi pegangan mayoritas ulama. Alasan golongan terakhir ini adalah:
Ø    Niat adalah ibadah sedangkan ibadah sendiri haruslah berdasarkan contoh/petunjuk dari rasulullah saw. Dan setiap ibadah yang dilakukan oleh seseorang tanpa petunjuk /contoh dari rasulullah maka itu adalah perbuatan bid’ah. Dan rasulullah belum pernah melafadzkan niatnya apalagi mengkeraskannya, begitu pula sahabat beliau atau para ulama lainnya. Ibnu Qoyiim rhm berkata, ““Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengucapkan “Nawaitu Ro’al Hadats” (aku berniat menghilangkan hadats). Beliau sama sekali tidak pernah berbuat seperti itu, tidak pula seorang pun dari para Shahabat. Sekalipun lafadz niat itu hanya satu huruf, tidak pula ditegaskan riwayat yang shohih maupun dho’if.[1]
Ø    Rasulullah saw menyuruh kita untuk mencontohi beliau dalam sholat baik sejak takbir sampai salam bahkan sampai dzikir beliau bersabda,صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّيSholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat”. Dan rasulullah belum pernah menyatakan bahwa permulaan sholat adalah dengan melafadzkan niat, akan tetapi dengan takbir. Beliau bersabda, “« إذا قمت إلى الصلاة فكبر ثم اقرأ ما تيسر معك من القرآن » “Jika kamu ingin melaksanakan shoolat maka bertakbirlah lau bacalah yang mudah bagimu dari alqur’an”.(HR. Bukhori 1/182).
Ø    Melafadzkan niat termasuk tanda kekurangan akal. Ibnu Taimiyah berkata, “Melafadzkan niat menunjukkan kekurangan dalam berfikir dan beragama. Jika dilihat dari kaca mata agama, maka melafadzkan niat termasuk perkara bid’ah, sedangkan jika dilihat dari kaca mata akal, maka orang yang melafadzkan niat sama seperti orang yang hendak menyantap makanan sambil berkata: “ Aku berniat meletakkan tanganku di piring ini, aku ingin mengambil sesuap darinya, lalu memasukkannya ke mulut, mengunyahnya dan menelannya agar aku kenyang”. Tentu hal ini menunjukkan ketidak beresan dalam akalnya.[2]
Ø    Ulama dari kalangan syafi’iy sendiri mengingkari orang yang melafadzkan niat. Imam An-Nawawi -salah satu ulama syafi’I abad 7 H. berkata : “Beberapa rekan kami berkata : “Orang yang mengatakan itu, telah keliru, karena bukan itu yang dikehendaki oleh Imam Asy-Syafi’I dengan kata An-Nuthq didalam sholat. Akan tetapi yang dimaksud adalah Takbir”.[3] Maksudnya orang yang mengatakan bahwa imam syafi’I membolehkan melafadzkan niat beralasan karena imam asy-syafi’I berkata, ““Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup, sekalipun tidak dilafadzkan, tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan An-Nuthq (padahal yang dimaksud dengan An-Nuthq oleh Imam Asy-Syafi’I disini adalah Takbir –bukan lafadz niat-)[4].




Pertanyaan kedua
Hukum membaca qunut shubuh.

Jawaban
Sebenarnya qunut shubuh menjadi ajang perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama dari kalangan syafi'iyah menganggap qunut shubuh merupakan sunnah. Akan tetapi setelah diteliti ternyata qunut shubuh yang dilakukan terus-menerus oleh mayoritas orang hari ini ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan sebagian ulama membid'ahkan pelaksanaan qunut shubuh yang terus menerus.
          Berikut nukilan penjelasan Ibnu Taimiyah mengenai hal ini:
"Dalam sebuah hadist shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah bahwasanya rasulullah melaksanakan qunut pada sholat shubuh setelah bacaan "samiallah liman hamidah" beliau berdo'a dalam qunutnya,"
اللَّهُمَّ نَجِّ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اُشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ }. " (Abu Hurairah melanjutkan) kemudian setelah itu (setelah satu bulan) beliau meninggalkan qunut."
          Dalam hadist yang diriwayatkanoleh sahabat Anas juga dikatakan bahwa rasulullah , "pernah qunut selama sebulan lalu meninggalkannya" dalam lafadz lain dikatakan, "bahwa belaiu tidak pernah melaksanakan qunut kecuali selama sebulan penuh." (HR Bukhari-Muslim).
          Adapun lafadz qunut, "   اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْت dan seterusnya ini adalah lafadz yang diajarkan oleh rasulullah kepada Hasan dan Husain untuk sholat witir bukan untuk sholat shubuh.
          Jadi kalau kita perhatikan ternyata qunut yang dilaksanakan oleh rasulullah adalah qunut "nazilah" (qunut yang dilakukan karena ada sebab) dan dilaksanakan tidak hanya pada sholat shubuh namun disetiap sholat. Adapun hadist yang menerangkan bahwa beliau pernah melaksanakan qunut shubuh sesungguhnya dalam hadist ini tidak ada lafadz yang  menunjukkan bahwa qunut tersebut hanya dilaksanakan saat sholat shubuh saja. Dan hadist dari Anas  memperkuat bahwa pelaksanaan qunut hanya sebulan penuh yaitu ketika ada sebab, sehingga ketika sebab tersebut hilang maka qunutnya ditinggalkan oleh rasulullah .
          Selain diatas, yang menunjukkan bahwa qunut subuh tidak ada dan bahwa qunut hanya dilaksanakan ketika ada sebab adalah:
Æ    Perbuatan para sahabat dimana Abu Bakar pernah melaksanakan qunut ketika kaum muslimin menaklukkan nabi palsu "musailamah al-Kadzab", begitu pula Umar melakukan qunut ketika pasukan islam memerangi orang-orang kafir pada masanya, juga Ali ketika perang melawan penduduk syam dan mereka melaksanakan qunut itu hanya ketika ada sebab lalu kemudian meninggalkannya.
Æ    Jikalau memang qunut shubuh yang terus-menerus itu ada, tentunya para sahabat melakukannya, karena mereka terkenal sebagai generasi yang sangat antusias melaksanakan sunnah rasulullah   atau minimal mereka meriwayatkannya  dan sangat tidak mungkin mereka menyembunyikan permasalahan ini karena itu merupakan perkara yang sangat agung dalam islam. Namun kenyataannya belum pernah diriwayatkan bahwa para sahabat melaksanakannya atau meriwayatkannya. (lih. Majmu' Fatawa. Zaadul ma'ad & Fatwa lajnah Ad-daimah dll.)
Wallahu  a'lam


Pertanyaan ketiga:
Disujud manakah do'a yang kita kehendaki dapat dipanjatkan, apakah boleh dengan menggunakan bahasa sehari-hari?

Jawaban
          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam Majmu' Fatawanya menjelaskan bahwa di dalam hadist shahih Rosulullah saw senantiasa berdo'a setelah membaca tasyahud sebelum salam dan tatkala beliau sujud.[5] Rosulullah bersabda,

  "أَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ مِنَ الدُّعَاءِ"  وفي الحديث الآخر  "فَأَكْثِرُوْا مِنَ الدُّعَاءِ"
          "Ketika sujud hendaklah kalian bersungguh-sungguh untuk memanjatkan do'a." (H.R. Muslim) dalah hadist lain: "Maka perbanyaklah do'a."
          Dalam hadist ini dijelaskan bahwa Rosulullah saw tidak mengkhususkan do'a pada rakaat pertama atau kedua, namun lafadz yang digunakan adalah umum. Dengan demikian dianjurkan untuk memanjatkan do'a dan memperbanyaknya pada setiap kali sujud.
          Sedangkan berdo'a ketika sujud dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa yang lainnya. Maka mengenai hal telah disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Kitab Majmu'nya ketika menjelaskan hukum takbiratul ikram dengan mengunakan bahasa farisyah beliau berkata, "Jika bertakbir dengan menggunakan bahasa farisyah, sedangkan dia mampu berbahasa arab, maka sholatnya tidak syah. Karena Rosulullah bersabda,  صَلُوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي"Sholatlah kalian sebagaimana kalian meihatku sholat." Jika tidak mampu bertakbir dengan menggunakan bahasa arab, dan tidak ada waktu  untuk belajar, maka boleh bertakbir dengan bahasa lisannya. Jika tidak bisa melafadzkannya, maka takbir dengan terjemahannya. Jika waktu untuk belajar itu tersedia, maka lazim baginya untuk belajar, jika tidak mau belajar, kemudian bertakbir dengan menggunakan bahasa lisannya (selain bahasa arab), maka sholatnya batal. Menurut beliau hal ini berlaku juga ketika berdo'a dengan menggunakan bahasa selain bahasa arab.[6]
          Sedangkan menurut Abu Hanifah beliau berkata, "Tidak diperbolehkan berdo'a didalam sholat kecuali dengan menggunakan do'a-do'a yang ma'sur yang sesuai dengan al-qur'an. Adapun menurut mazhab Imam syafi'i, diperbolehkan berdo'a dalam sholat dengan do'a-do'a yang dipanjatkan di luar sholat baik mengenai urusan dunia maupun urusan dien.[7] Sedangkan menurut Lajnah daimah dijelaskan bahwa, berdo'a dalam sholat merupakan perkara yang luas macamnya, namun afdholnya berdo'a dengan do'a yang sesuai dengan Akhbar yang shahih dari Rosulullah saw.[8]

Pertanyaan Keempat
Maksud berdo'a dengan bahasa hati tatkala sujud?

Jawaban:
Kami tidak mengetahui maksud bahasa hati disini. Sedangkan yang kami ketahui bahwa dalam berdo'a memang terdapat adab-adab  supaya doa kita dikabulkan sebagaimana dijelaskan oleh Amir bin Muhammad Al-Madari, di antaranya adalah menghadirkan hati tatkala berdo'a. Maksudnya, hendaknya seseorang yang berdo'a melibatkan hatinya saat berdo'a sehingga do'a benar-benar muncul dari hati dan lisannya dan jangan sampai do'a hanya di lisan sedang hati lalai dari do'a tersebut. Rosulullah bersabda, "Ketahuilah…. Sesungguhnya Allah tidak menerima do'a dari hati yang lalai dan kacau (saat berdo'a). (H.R. Thirmidzi)

Pertanyaan kelima
Hukum mengusapkan tangan setelah do'a

Jawaban
       Sebagaimana biasanya mayoritas permasalahan fikih tidak terlepas dari perbedaan. Kita sebagai seorang pencari kebenaran tentunya diwajibkan untuk mencari selanjutnya mengikuti pendapat yang paling kuat dan benar diantara pendapat-pendapat yang ada.  Dan Allah sangat memuji hambanya yang mencari dan mengikuti pendapat yang terbaik (terkuat dan terbenar) diantara pendapat yang ada. Allah swt berfirman,
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
        Artinya, " Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, (17).  Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal. (QS. 39:18)

Perbedaan pendapat mengenai masyru' atau tidaknya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah berdo'a muncul karena adanya beberapa hadist yang berkenaan dengan perkara ini;
Ä   Yang memperbolehkan berdalil dengan hadist yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi,
وَعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ }
Artinya, "Dari Ibnu Umar beliau brkata, "Adalah rasulullah jika membentangkan tangannya ketika berdo'a maka beliau tidak mengulurkannya sampai mengusapkan keduanya kewajahnya."
     Hadist ini menurut mereka memiliki syahid-syahid (penguat) yang menyebabkan hadist ini dapat diterima, namun sayangnya mereka tidak menyebutkan mana saja hadist yang menjadi syahid bagi hadist diatas.

Ä   Sedangkan yang melarang beralasan penetapan sebuah ibadah haruslah berdasarkan nash yang jelas dan shohih. Ternyata setelah diteliti hadist-hadist yeng menyebutkan bahwa rasulullah mengusap kedua tangannya ke wajahnya tidak ada yang kuat artinya semuanya dari jalur yang lemah. Begitu pula hadist riwayat tirmidzi diatas didalam jalur rowinya terdapat rowi yang bernama, Hamad bin 'Isya dimana para ulama mendoifkannya. Jadi mengusap kedua tangan sehabis do'a atau sehabis sholat tidak dibenarkan karena tidak ada dalil yang bisa dijadikan dalil sebagai sandaran dalam hal ini. Dan inilah pendapat yang kami yakini sebagai pendapat yang kuat. (Lih. Majmu' Fatawa: 7/272 & Fatawa lajnah Ad-daimah 6/363, 8/73 &74)

Pertanyaan keenam
Bagaimanakah dzikir setelah sholat tahajud?

Jawaban;
          Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani menjelaskan bahwa, disunnahkan menutup sholat tahajud dengan raka'at yang ganjil yaitu sholat witir berdasarkan hadist Abdullah,
مَنْ صَلَّى مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْرًا فَإِنَّّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِذَلِكَ
          "Barang siapa yang mengerjakan shalat malam hari, maka akhirilah shalat itu dengan witir (sebelum datang waktu subuh), karena Rosulullah saw menitahkan hal demikian." (H.R. Muttafaqun Alaihi).
          Sedangkan do'a setelah salam dari shalat witir Rosulullah saw mengucapkan: "Subhanal Malikil Quddus, "Subhanal Malikil Quddus, "Subhanal Malikil Quddus, (Maha suci Allah yang Maha Merajai dan Maha luhur)." dibaca sebanyak 3kali. Dan biasanya beliau membaca do'a qunut sebelum ruku', setelah selesai mengerjakan shalat witir, beliau mengucapkan, "Subhanal Malikil Quddus," sebanyak tiga kali, lalu beliau memanjangkanya diakhirnya mengucapkannya; "Rabbul Malaikati War Ruuh (Rabb Malaikat dan Ruh (Jibril).[9] (H.R. Am-Nasa'I dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Pertanyaan Ketujuh:
Bagaimana hukum meninggalkan sholat wajib yang tidak sengaja, karena suatu sebab sehingga sudah masuk waktu sholat wajib berikutnya, seperti belum sholat ashar namun sudah masuk waktu maghrib?
Orang yang meninggalkan sholat karena sebab (udzur syar'i). Seperti tidur, lupa atau yang semisalnya. Maka cukup baginya mengqodo'nya saja dan tidak ada kafaroh lainnya baginya.[10] Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik bahwa Rosulullah bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
      "Barang siapa yang tidak melaksanakan sholat karena lupa atau ketiduran, maka dendanya adalah melaksanakan sholat tersebut ketika ingat." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Maka cara mengqado'nya telah disebutkan di dalam Kitab Al-Lajanah Da'imah yang diketuai oleh Syaikh bin Baz bahwa hendaknya dia mengerjakan sholat ashar terlebih dahulu, jika waktunya memungkinkan sebelum melaksanakan sholat maghrib secara berjama'ah, karena mengerjakan sholat lima waktu secara tartib (urutan) hukumnya wajib. Akan tetapi jika tidak mungkin untuk melaksanakan sholat ashar dan sudah dikumandangkan iqomat, maka hendaknya ia sholat bersama jama'ah sholat magrib tersebut dengan niat sholat ashar. Jika Imam sudah salam dari sholat magrib, maka dia berdiri menambah satu raka'at lagi kemudian salam. Setelah itu dia bangkt kembali untuk melaksanakan sholat maghrib. Hal ini diperbolehkan karena dalil-dalil syar'I yang ada menunjukkan perbedaan niat antara Imam dan makmun tidak mengapa.[11]



[1]               Zaadul Ma’ad : I/ 196
[2]               Al-Fatawa Al-Kubro : I/ 214
[3]               At-Ta’lim : 100
[4]               Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab : II/ 243
[5]               . Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 2/206
[6]               . Majmu' syarh muhazab: 2/244
[7]               . Majmu' syarh muhazab:2/436
[8]               .Al-Lajnah Daimah: 7/59
[9]               .Qiyamul Lail terjmh : 130-131
[10]             . Majmu' syarhul muhazab: 3/15-19
[11]             . Al-Lajnah Daimah: 6/160

4 komentar:

  1. Hal-hal seperti ini wajib diketahui, semoga banyak orang yang mencari tahu/ kebenaran. amin

    BalasHapus
  2. waaah, bagus sekali, sangat mencerahkan...
    jazakallah khairan...

    BalasHapus
  3. http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

    Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
    Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..

    Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama...

    BalasHapus
  4. http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

    Berikut petikannya...

    "Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya."

    BalasHapus