Bolehkah Aku Menikah……?
Nikah disyareatkan menurut Al-qur'an, As-sunnah dan Ijma' kaum muslimin adalah sebagai berikut: Allah ta'ala berfirman,
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa': 3). Rosulullah bersabda,
تَزَوَّجُوْا اْلوَدُوْدَ اْلوَلُوْدَ فَإِنِّي مَكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
"Nikahilah wanita-wanita penyayang dan banyak anaknya (subur), karena aku berbangga diri dengan jumlah kalian yang banyak atas umat-umat yang lain pada hari kiamat." (H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban menshahihkannya).
Tingkatan Hukum Nikah
Sebelum keputusan final, hendaknya seorang melakukan intropeksi diri ketika akan menikah, dengan memahami tingkatan hukum di bawah ini, sehingga dia bisa mengetahui pada pada posisi mana ia berada. Adalah sebagai berikut:
· Hukumnya fardhu.
Jika seseorang yakin akan terjerumus pada perbuatan zina, jika tidak menikah. Kemudian sudah memiliki kemampuan untuk memberi nafkah istri, serta memenuhi hak-hak yang menjadi tuntutan dalam pernikahannya, dan dirinya tidak mampu lagi menjaga dirinya dari dari dorongan seksualitas dengan shaum dan yang semisalnya. Abu Hanifah berkata, "Nikah wajib hukumnya, jika seseorang takut akan terjerembab dalam perbuatan zina, jika tidak segera menikah, serta sudah memiliki kemampuan untuk memberikan mahar dan nafkah bagi istrinya.[1]
Imam Al-Qhurtubi berkata, "Orang yang sudah mampu menikah, kemudian takut terhadap bahaya yang menimpa jiwa dan dien, jika tetap membujang. Maka, wajib baginya menikah."[2]
· Hukumnya haram.
Jika seseorang yakin akan berbuat dzalim dan kemudharatan terhadap istrinya, jika tetap menikah. Karena tidak mampu memikul sebuah tuntutan pernikahan atau tidak bisa berbuat adil jika menikah dengan wanita lain.[3]
Imam Qhurthubi berkata, "Ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu memberikan nafkah serta mahar kepada istrinya serta hak-hak lainnya. Maka, tidak halal baginya menikah, sehingga dia menjelaskan kondisinya terlebih dahulu kepada calon istrinya.[4]
· Hukumnya makruh.
Jika seseorang takut dengan pernikahannya, akan menimbulkan mudharat bagi istrinya dan berbuat dzalim jika tetap melangsungkan pernikahan. Karena tidak dapat memenuhi tanggung jawab, seperti memberi nafkah dan lainnya.
· Hukumnya sunnah.
Jika seseorang tidak takut terjerumus ke dalam perbuatan zina seandainya tidak menikah dan tidak takut berbuat dzalim kepada istrinya seandainya menikah.
· Hukumnya mubah
Jika tidak ada persoalan yang menghalangi serta mendorongnya untuk melangsungkan pernikahan. Imam Syafi'I berkata, "Nikah ketika kondisinya mubah, maka boleh melangsungkannya atau mengahirkannya. Pada kondisi ini, meluangkan waktu untuk beribadah atau menyibukkan diri dengan ilmu, hukumnnya lebih afdhol. Karena Allah ta'ala pernah memuji Yahya Alaihis salam dengan berfirman, "
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِّنَ الصَّالِحِينَ
"Menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh". (QS. 3:39). Makna "khashura" pada ayat ini ialah tidak menikah dengan perempuan padahal memiliki kemampuan.[5]
Batasan Mampu Menurut Syar'i
Mengenai batasan mampu menurut syar'I, maka Rosulllah Shalallahu 'alaihi wassalam telah bersabda,
يَامَعْشَرَ الشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَجْ فَإِنَهُ أَغَضُ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
"Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian sanggup menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih Manahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. (Muttafaqun Alaihi)
Imam Nawawi menyebutkan dalam kitabnya bahwa, Makna "Asy Syabaab" pada hadist ini adalah pemuda yang sudah baligh dan belum berumur tiga puluh tahun. Sedangkan makna "Al Ba'ah" (mampu) para ulama berbeda pendapat sebagai baerikut:
Pertama, Pendapat yang paling benar tentang "Al Ba'ah" adalah dimaknai secara bahasa. Yaitu Al-Jima', maksudnya barang siapa yang mampu melakukan jima' dan punya kemampuan untuk memenuhi nafkah istrinya hendaknya ia menikah.
Kedua, Maksudnya ialah mampu memberikan nafkah kepada istri yang hendak ia nikahi.[6] Sayyid Syabiq menyebutkan di dalam kitabnya, "Jika ada seseorang yang berhasrat sekali untuk menikah, namun belum mampu menafkahi istrinya, maka hendaknya ia berpuasa.[7]
Sekilas Hukum Seputar Pernikahan
A. Nikah diusia muda (pernikahan dini)
Nikah dini, sangat dianjurkan oleh Rosulullah menurut hadist di atas. Karena secara hukum, siapa saja yang telah baligh, maka dia diperbolehkan menikah. Tentunya bagi yang mampu, baik secara pemenuhan kebutuhan biologis atau kebutuhan nafkah sang istri serta adanya ridha dari kedua orang tuanya. Umar pernah berkata yang dikutip oleh Imam Ahmad, "Jika seseorang pemuda tak berkeinginan untuk segera menikah, kemudian hanya dua; banyak maksiatnya, atau diragukan kejantanannya. Rosulullah bersabda,
"Barang siapa yang menikahi seseorang perempuan karena ingin menjaga pandangan mata, memelihara kemaluan dari perbuatan zina, atau menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkahan kepada keduanya." (H.R. Thabrani). Rosulullah bersabda,
"Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allh ta'ala, yaitu: Pejuang di jalan Allah ta'ala, budak yang membeli dirinya dari tuannya yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena ingin menjauhkan dirinya dari yang haram." (H.R. Ath Thirmidzi)
Dengan demikian, nikah dini merupakan solusi terbaik untuk menghindari perbuatan yang mendekati zina, seperti pacaran, TTM (Teman tapi mesra), HTS (Hubungan tanpa status) dan segudang perbuatan lainnya yang dilarang oleh Islam. Akan tetapi, ketika kondisinya mubah untuk menikah, kemudian memiliki amalan yang lebih diprioritaskan, maka mengakhirkannya itu lebih afdhol. Sebagaimana perkataan Imam Syafi'I, "Nikah ketika kondisinya mubah, maka boleh melangsungkannya atau menundanya. Maka pada kondisi ini meluangkan waktu untuk beribadah atau menyibukkan diri dengan ilmu, hukumnya lebih afdhol.[8]
B. Tidak menikah (membujang)
Dalam Islam hidup membujang disebut dengan "At-tabathul" yaitu memutus hubungan dengan wanita dengan tidak menikahinya, karena ingin beribadah kepada Allah ta'ala. Imam Ath-Thabari berkata, "Ath-thabatul" ialah meninggalkan kenikmatan dunia dan perhiasannya, memutus hubungan dengannya, untuk meluangkan ibadah kepada Allah ta'ala.[9] Rosulullah telah melarang hambanya membujang dengan bersabda,
إِنِي أَتَزَوَجُ النِسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِي فََلَيْسَ مِنِي
"Sesungguhnya saya menikahi wanita, barang siapa yang membenci sunnahkku, maka bukan dari golonganku." Sa'ad bin Abi Waqash berkata, Rosulullah telah menolak permintaan Utsman bin Mazghun yang hendak membujang. Seandainya Rosulullah mengizinkannya, niscaya dia akan hidup membujang seumur hidupnya,"[10]
C. Nikah tanpa wali (nikah lari)
Menurut Islam keberadaan wali merupakan rukun yang menentukan keabsahan sebuah pernikahan. Mereka adalah: Ayah kandung wanita, penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan dari ahli waris wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat. Karena Rosulullah pernah bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلَا بِوَلِي
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali." (Diriwayatkan semua penulis Sunan dan dishahihkan olh Al-Hakim dan Ibnu Hiban).
Seorang wali harus laki-laki, baligh, berakal sempurna dan orang yang merdeka (bukan budak). Perwalian wali yang dekat tidak syah dengan keberadaan wali yang lebih dekat. Jadi tidak syah perwalian saudara seayah dengan keberadaan saudara kandung, atau perwalian anak saudara dengan keberadaan saudara.[11] Syaikh Shalih Abdullah bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak syah.[12]
D. Menunda pernikahan dengan banyak berkhalwat dan pacaran
Selaku pemuda muslim hendaknya takut kepada Allah ta'ala, jangan sekali-kali menganggap remeh perkara ini. Meskipun banyak orang meremehkannya, Karena sesungguhnya hukum itu dinilai dari Syariat bukan dari pandangan manusia. Rosulullah bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْلَيَوْمِ اْلأَخِرِ فََلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya. Karena syetan akan menjadi orang ketiga," (H.R. Ahmad)
Imam Syaukani mengatakan, "Menurut kesepakatan para ulama bahwa berkhalwat dengan wanita Ajnabiyah (bukan mahram) hukumya haram.
الله ورسوله أعلم""
[1]. Al-Fiqh Al-Islami wa adilatuhi: 7/31-32
[2]. Fiqhus Sunnah: 3/13
[3]. Al-Fiqh Al-Islami wa adilatuhi: 7/31-32
[4]. Fiqhus Sunnah: 3/14
[5]. Al-Fiqh Al-Islami wa adilatuhi: 7/31-32
[6]. Syarh Shahih Muslim: 9-10/148
[7]. Fiqhus Sunnah: 3/13
[8]. Al-Fiqh Al-Islami wa adilatuhi: 7/31-32
[9]. Syarh shahih muslim 9-10/151
[10]. Al-Khafi: 3/3
[11]. Minhajul Muslim: 575
[12]. Tanbikhat 'ala ahkamin takhtashu bil mu'minat (terj):106
0 komentar:
Posting Komentar