Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Selasa, 13 Desember 2011

AGAR TAK LAGI TINGGI HATI


AGAR TAK LAGI TINGGI HATI

Takabbur atau sombong adalah salah satu penghalang masuk surga, bahkan meski ia hanya seberat biji sawi berdiam di dalam diri kita. Ia mewujud dalam penolakan terhadap kebenaran dan peremehan orang lain. Si empunya merasa besar dan lebih utama daripada orang lain. Karenanya, setiap muslim harus berupaya menjauhi sifat tercela yang sangat membahayakan ini sebisa mungkin.
Takabbur bisa menyebabkan seseorang gagal mengambil hikmah dan pelajaran dari sebuah peristiwa yang sangat nyata sekalipun. Hal yang akan membuatnya terus berkubang di dalam dosa dan kesalahan. Seperti jawaban baginda Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam saat Bilal Radhiyallâhu ‘Anhu bertanya tentang sebab beliau menangis, setelah turun ayat 190-191 dari surat Ali ‘Imran, “Celakalah bagi orang yang membacanya namun tidak merenungkannya!”

Pribadi Rapuh
Mutakabbir (orang yang sombong) sebenarnya adalah pribadi yang rapuh. Hal ini dikarenakan perasaan ‘lebih’ dari orang lain yang dimilikinya menghajatkan simbol-simbol penghormatan, penghargaan, dan pemuliaan dari orang lain. Karena dengan adanya itu semua, jiwa ‘sakit’-nya baru akan terpuaskan. Sedang ketiadaan ‘pengagungan’ dari pihak lain, akan menyiksa jiwanya.
Untuk itu, dia akan melakukan apa saja untuk meraih ketinggian yang sejatinya semu itu. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya meski harus dengan penentangan terhadap kebenaran yang paling nyata, dan perendahan terhadap martabat kemanusiaan. Akibatnya, mutakabbir akan senantiasa berada di dalam aib dan kekurangan. Hal itu disebabkan oleh anggapan bahwa dirinya telah sempurna dan utama dalam segala halnya. Kondisi ini akan membuatnya enggan memeriksa dan meneliti-apalagi mengakui-berbagai kelemahan dan kekurangan dirinya. Sehingga berbagai nasihat, pengarahan, dan bimbingan dari orang lain hanya dianggapnya angin lalu yang pantas diabaikan.

Menjauhi Segala Bentuk Kibr
Kalau Allah mengakui kesombongan sebagai milik-Nya semata, kemudian mengharamkannya terhadap semua makhluk, bahkan menetapkannya sebagai penghalang masuk Surga-Nya, tentulah sifat takabbur tidak bisa dipandang remeh. Berbagai macam cara dan upaya harus kita tempuh untuk menghindarkan hati kita dari munculnya segala bentuk takabbur. Bahkan yang paling kecil sekalipun.
Yang harus kita lakukan pertama kali adalah menyempatkan waktu untuk melakukan muhasabah atau instropeksi diri. Hal ini penting agar kita memahami hakikat diri kita yang sejatinya rendah dan hina. Sehingga, kita merasa malu karena kesombongan memang tidak pantas kita miliki. Karena sesungguhnya, kesombongan itu sendiri adalah bentuk kagum diri yang berlebihan akibat gagal mengenali hakikat diri dan menempatkannya di tempat yang seharusnya? Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” (QS. al-Mursalat: 20)
Juga, agar kita selalu waspada tentang seberapa banyak bekal menghadap-Nya yang telah kita persiapkan. Agar kita tidak tertipu dengan sifat takabbur yang menipu dan menghancurkan itu. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah! Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)

Melacak Sumbernya
Selain pengetahuan tentang hakikat diri, pemahaman bahwa semua bentuk ‘kelebihan’, ‘keutamaan’, dan ‘prestasi’ yang kita miliki, terjadi dan kita punyai semata-mata hanyalah karena izin Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Jika Dia tidak menghendakinya, niscaya kita tidak akan memiliki apapun, sedikitpun dari semua itu. Dan bahkan, semuanya hanyalah ujian yang akan dimintai pertanggungjawaban. Serta tidak menunjukkan si empunya lebih mulia daripada orang lain yang tidak memilikinya. Karena kita mengerti, bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah hanyalah karena ketakwaannya.
Hal ini perlu kita pahami, agar semua bentuk nikmat Allah yang kita miliki tidak membuat kita lupa diri; seolah semuanya berasal dari diri kita sendiri dan terjadi karena kita sendiri. Apalagi jika kita mengira bahwa semuanya akan kekal selamanya, dan tidak akan berubah. Ujung-ujungnya, kita merendahkan dan meremehkan orang lain. Na’udzu billahi min dzalik!
Selain itu, bentuk-bentuk penghargaan dan penghormatan orang lain yang berlebihan kepada kita, juga bisa memicu munculnya sifat takabbur. Apalagi jika hal itu berasal dari orang-orang dengan pemahaman agama yang rendah, atau malah tidak paham sama sekali. Dimana penghargaan dan penghormatan itu mereka berikan semata-mata karena prestasi duniawi kita. Meski untuk mencapainya kita banyak berbuat maksiat dan dosa. Al-Quran sendiri telah membantah salahnya pemahaman akan tolok ukur kemuliaan seperti itu. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak! Sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. al-Mukminun: 55-56)

Amalan Pelembut Jiwa
Selain harus selalu mengingat akibat buruk takabbur, seperti keresahan jiwa, kebencian orang lain, serta terhalangnya kita dari memasuki Surga, melakukan serangkaian amalan yang insyaAllah akan melembutkan hati harusnya kita lakukan. Di antaranya adalah dengan mengunjungi mereka yang sakit, menyaksikan orang yang sedang sakaratul maut, menolong mereka yang kesusahan, mengantarkan jenazah, dan ziarah kubur.
Kemudian berteman dengan orang-orang yang memiliki kejujuran iman. Bahkan kalau perlu memperbanyak jumlah mereka dari golongan orang-orang yang dianggap rendah oleh manusia, serta menjauhi teman-teman yang sombong dan ingkar kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Kita upayakan agar sering-sering duduk bersama mereka yang lemah, fakir, miskin, dan sakit itu. Bahkan makan dan minum bersama mereka! Selain bisa membersihkan dan melembutkan jiwa, bukankah baginda Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam pun suka melakukannya? Termasuk di dalamnya adalah berupaya untuk memenuhi undangan mereka jika kita diundang, mendahulukan kepentingan mereka daripada para hartawan, serta berlatih untuk mendengarkan masukan, menerima pendapat, kritik, dan nasihat mereka kepada kita. Bahkan kalau bisa, kita upayakan untuk meminta maaf kepada mereka jika perkataan dan perbuatan kita menyinggung hati mereka. Kita harus yakin bahwa semua itu tidak akan menjatuhkan martabat kita. Ia sangat bagus untuk mendidik jiwa dan mengembalikannya kepada fithrahnya.
Selain itu, kita pun sebaiknya membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan berdebu-meski ada pembantu-agar bisa merasakan beratnya menjadi orang rendahan dan mengikis bibit-bibit kesombongan dalam diri kita. Rasulullah dan para sahabat beliau yang mulia pun, sering melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dengan tangan mereka sendiri.

Bercermin dari Kisah
Selain mendatangi majelis ilmu, membaca kisah-kisah pun mampu melunakkan jiwa dan memberi energi baru dalam diri kita, insyaAllah. Sebab, ibarat cermin, kisah-kisah itu akan memantulkan sejumlah bayangan tentang akibat baik sikap tawadhu’ dan akibat buruk para mutakabbir dangan kejujuran yang murni. Lintasan sejarah telah menyajikan kisah-kisah itu secara menakjubkan. Baik berjuta kisah tentang sikap tawadhu dari hamba-hamba yang ‘besar’ dalam arti sesungguhnya, maupun berjuta kisah tentang akibat buruk yang menimpa manusia-manusia sombong yang merasa besar.
Bagaimana sikap baginda Rasulullah, para sahabat, para ulama terkemuka, dan para mujahid memupuk sikap tawadhu’ dan menjauhi takabbur, akan memudahkan kita meneladani dan mengambil ibrah baik dari mereka. Siapa diri kita jika dibandingkan dengan mereka?
Sedang kisah-kisah Iblis, Namrudz, Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Jahal, Ubay bin Khalaf, serta manusia-manusia lain sejenis mereka, akan membuat kita tersadar; bahwa betapapun mereka angkuh melawan Allah, menolak kebenaran, dan berbuat kezhaliman, kesudahan buruk jualah yang pantas untuk mereka.

Kekuatan Spiritual
Jangan pula kita lupakan untuk membiasakan diri melakukan serangkaian ketaatan kepada Allah. Baik berupa ibadah-ibadah ritual, maupun ketundukan kepada hukum-hukum Allah lainnya. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin berkata, "Sesungguhnya hati manusia dihadapi oleh dua macam penyakit yang amat besar jika orang itu tidak menyadari adanya kedua penyakit itu akan melemparkan dirinya kedalam kehancuran dan itu adalah pasti, kedua penyakit itu adalah riya dan takabur, maka obat dari pada riya adalah:إِيَّاكَ نَعْبُدُ (Hanya kepada-Mu kami menyembah) dan obat dari penyakit takabur adalah: إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)."
Insya Allah, hal itu akan menjadi kekuatan luar biasa untuk membersihkan jiwa kita dari berbagai kotoran dan kehinaan. Bahkan akan membawa ke derajat yang lebih tinggi, hingga mencapai Surga. Semoga!

0 komentar:

Posting Komentar