AIR PEMADAM API
Jujur saja, banyak fakta-fakta mengejutkan tentang perilaku para aktivis pengajian di lapangan. Alih-alih menebarkan kesantunan dan kelemah lembutan, mereka malah hadir dengan pandangan sinis dan tidak bersahabat. Bahkan, banyak anak-anak ngaji yang dulunya penurut dan baik-baik saja, berubah menjadi pemberontak dan sering bikin masalah. Kesannya, mereka (beserta kelompok pengajiannya) adalah manusia-manusia terbaik di muka bumi, sedang selain mereka bodoh dan penuh dosa.
Banyak di antara kita yang hadir dengan seribu vonis dan stempel negatif. Sehingga, banyak aktivis pengajian yang kehadirannya lebih banyak terasa ‘mengganggu’ daripada memberi solusi. Wallâhu a’lam, tapi jika perubahan menuju hidayah itu tidak membuat mereka semakin menebarkan rahmah bagi sekitar mereka, baik dengan ucapan maupun penampilan, tentulah hati kita memprotesnya. Beginikah wajah syariat Islam yang konon adalah rahmat bagi semesta alam itu?
Di sisi lain, banyak pula yang berdakwah terlalu manis. Sangat santun dan lemah lembut, namun tidak memiliki prinsip. Seolah tujuan berdakwah adalah mencari pengikut sebanyak-banyaknya, sehingga ukuran keberhasilannya adalah sebesar apa penerimaan mad’u terhadap dakwah mereka. Meski untuk itu mereka melakukan banyak perubahan prinsip dan bid’ah baru.
Kelembutan Menyejukkan
Sikap santun adalah perhiasan yang menambah indah, sedang ketiadaannya akan membuat kotor. Selain akan menambah kelenturan dan kehangatan hubungan ukhuwah, sikap santun juga akan melunakkan hati manusia. Agama yang kuat dan berat ini, insya Allah akan lebih mudah diterima dan difahami jika disampaikan dengan cara yang benar. Kelembutan sikap ibarat angin sejuk yang akan meluruhkan kerak-kerak permusuhan dan kebencian.
Karena, jiwa manusia dianugerahi Allah naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci orang yang berbuat buruk kepadanya. Meski hakikatnya, hal ini sebagai kecintaan kepada kebaikan dan kebencian kepada keburukan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik atau buruk itu. Maka, jika orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau orang yang berbuat buruk menghentikan keburukannya, kecintaan dan kebencian manusia kepadanya akan melemah, bahkan bisa berbalik rasa. Cinta menjadi benci, atau benci menjadi cinta.
Bermula dari Ikhlas
Hal pertama yang harus kita upayakan agar memiliki kelemahlembutan di dalam bersikap adalah keikhlasan. Karena, faktor utama yang mendorong seorang muslim bergaul dan bersikap dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. Senyuman, bantuan, sapaan, nasihat, bahkan kebenciannya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, bukan karena yang lain.
Ini adalah energi luar biasa untuk membuat kita bisa bersikap santun, bahkan kepada orang yang kita benci sekalipun. Termasuk kemampuan berbuat baik meski kepada orang yang hanya kita temui sekali seumur hidup. Sebab kita memang tidak berharap pujian dan balasan dari mereka, tetapi dari Allah Ta’âlâ.
Karena sesungguhnya, jika kita bersikap santun atau kasar kepada orang lain karena adanya suatu keperluan, maka kita akan berpaling darinya jika apa yang menjadi keinginan kita itu telah tercapai. Dan hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.
Rahmat Allah
Kemampuan berlemah lembut di dalam dakwah adalah anugerah dari Allah, Sang Penguasa Langit dan Bumi. Ia adalah anugerah langit yang menjelma di muka bumi. Allah berfirman,
“Maka, disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Âli ‘Imrân: 159)
Imam al-Baghâwiy dalam tafsirnya menyebutkan, “Engkau bersikap memudahkan mereka, dengan akhlak, banyak menahan diri, dan tidak terburu-buru marah karena kesalahan yang mereka lakukan pada perang Uhud.” Sedang Qatadah mengatakan, “Engkau bersikap lemah lembut , berakhlak mulia, dan menahan diri terhadap mereka.” Karena itu, senantiasa memohon kepada Allah, agar Dia memberikan karunia-Nya itu kepada kita, mutlak harus dilakukan.
Perasaan menjadi hamba-hamba pilihan juga harus selalu kita hadirkan secara sadar. Sehingga saat kita menemui kesulitan untuk mengalahkan ego dan perasaan tinggi, juga beratnya penolakan orang lain akan dakwah kita, kita tidak gampang patah arang. Bukankah hamba-hamba pilihan memang tidak sembarangan?
Semoga, perasaan berada di atas jalan orang-orang shalih ini, akan memudahkan kita meneladani kebagusan akhlak dan kebesaran jiwa mereka. Termasuk teladan utama, Rasulullah Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Kekuatan ruhiyah yang-insya Allah-akan melimpahkan inspirasi untuk tetap bertahan dengan kehalusan budi pekerti meski penolakan datang bertubi-tubi. Agar kita tidak memutuskan sikap secara emosional dan tidak adil.
Kita Seperti Mereka
Seringkali kita lupa, bahwa beberapa waktu yang lalu kita juga manusia jahiliyah seperti mereka. Sehingga, sebenarnya kita juga tahu apa dan siapa mereka. Kalaulah bukan karena takdir Allah, bukankah kita masih tetap saja sama dengan mereka kini? Na’ûdzu billâhi min dzâlik.Maka, setelah kita merasa mendapatkan hidayah, mencoba untuk memberikan simpati dan empati kepada mereka haruslah kita lakukan. Kita harus melihat dari sudut pandang mereka agar kita tahu mereka memang memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga kesimpulan yang berbeda pula dengan kita. Agar kita bisa melihat apa yang mereka lihat, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Bagaimana seandainya kita adalah mereka?
Mengasihani, bersikap sabar dalam memberi tahu, meluruskan, atau menuntun mereka, bahkan mendoakan mereka, jauh lebih layak untuk kita lakukan daripada sekedar menyalahkan, mencaci maki, bahkan memusuhi mereka dengan sepenuh kebencian. Untuk itu, kita juga harus memperluas wawasan, karena selalu akan ada pilihan yang variatif dan lebih mudah selama tidak merupakan dosa.
Kadang, kita justru harus mengasihani diri sendiri dengan cara menumbuhkan rasa takut, jangan-jangan hidayah ini tercabut dari diri kita, dan kita kembali tergelincir ke masa lalu yang hitam itu. Hal ini efektif untuk memghentikan perasaan tinggi hati, sombong, merasa benar sendiri, paling alim, dan paling suci. Bukankah banyak fakta menunjukkan jatuhnya para juru dakwah ke alam jahiliyah karena tidak pintar menjaga konsistensi ilmu dan amal?
Bersihkan Hati
Mungkin kita tidak menyadarinya, bahwa sikap kasar dan keras di dalam berdakwah kadang muncul dari kotornya hati. Ia semacam kamuflase untuk menutupi kelemahan dan kekurangan diri kita sendiri dari pandangan orang lain.
Kemudian, kita secara kekanak-kanakan mentransformasikan hal itu dengan cara menjadikan orang-orang yang belum mendapat hidayah sebagai kambing hitam. Hati kita pun ternyata bergelimangan dendam, cemburu, iri hati, dan penyakit-penyakit hati yang lain. Subhânallâh, tentu bukan hal ini yang kita inginkan bukan?
Sehingga, jauh sebelum kita bersikap kasar kepada orang lain di dalam berdakwah, akan lebih bijaksana jika kita lebih mengkonsentrasikan pikiran untuk membersihkan hati kita sendiri. Agar ia menjadi qalbun salim, kalbu yang bersih dan menjanjikan kebaikan dan keselamatan.
Semua Butuh Proses
Jika kita ingat, perubahan diri kita dahulu tidak terjadi secara mendadak. Ia adalah proses tarbiyah yang panjang dan berkelanjutan, selain tentu saja, kuasa Sang Maha Kuasa. Pemahaman akan hal ini, menyadarkan kita bahwa mereka pun membutuhkan proses untuk berubah ke arah kebaikan. Tidak bisa kita memangkasnya dengan mencari jalan pintas. Kecuali Allah berkehendak lain.
Seringkali, ketidaksabaran menjalani proses justru mempercepat futur, mengeraskan hati, membuat phobi, dan menyempitkan pikiran. Kita hanyalah menunjukkan jalan, sehingga harus memahami kealpaan, kesalahan, dan kekurangan, untuk kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Dan, alangkah indahnya jika kita menuntun mereka dengan kebijaksanaan. Memadamkan api amarah dengan air menyejukkan. Bukan malah membuatnya semakin berkobar-kobar. Wallâhu A’lam. (www.ar-risalah.or.id)
0 komentar:
Posting Komentar