Ulang Tahun Saya...
- Malam tadi, bulan Oktober, biasanya sejak jam menunjuk angka dua belas, selalu saja silih berganti sms masuk ke ponsel saya mengucapkan berbagai macam doa melengkapi ucapan ulang tahun. Email account saya biasanya tak jauh dari inbox di ponsel saya, juga dipenuhi kabar serupa. Siapa, sih, yang tidak bahagia menerima ucapan selamat semacam ini? Tak berbeda dengan saya, kebahagiaan tentu saja luap, merasa terharu bahwa hari kelahiran saya masih diingat oleh banyak orang.
Malam lalu, agak berbeda dari tahun sebelumnya, sms pertama yang mengucapkan selamat itu saya terima sehabis shubuh. Ya, malam kemarin, usia saya genap 25 tahun.
Dulu, saya pernah agak-agak kumat dengan tidak mau menerima ucapan selamat ulang tahun. Itu saya alami saat saya masih SMEA dan sedang idealis-idealisnya. Saya mengatakan, tak usah mengucapkan selamat ulang tahun, sebab tak ada tahun-tahun yang terulang. Tak ada waktu yang kembali pulang. Waktu berlalu bagai gerbong-gerbong yang terus berlalu, tidak kembali lagi tahun depan.
Dulu, saya pernah agak-agak kumat dengan tidak mau menerima ucapan selamat ulang tahun. Itu saya alami saat saya masih SMEA dan sedang idealis-idealisnya. Saya mengatakan, tak usah mengucapkan selamat ulang tahun, sebab tak ada tahun-tahun yang terulang. Tak ada waktu yang kembali pulang. Waktu berlalu bagai gerbong-gerbong yang terus berlalu, tidak kembali lagi tahun depan.
Memang benar, tidak ada waktu yang terulang. Kalaupun kemudian ada yang berubah pada ‘pandangan saya’ di mana sekarang saya selalu membalas ucapan ulang tahun itu dengan ‘minimal’ balas berdoa, juga tak jarang saya mengucapkan selamat untuk teman-teman yang berulang tahun, bukan lantas saya sekarang berubah memahami adanya waktu yang kembali. Sama sekali tidak. Tetap sama seperti delapan tahun lalu, saya merasa hari ini bukanlah hari yang saya lalui di tahun kemarin, dan akan kembali saya jumpai tahun depan.
Jika saat ini saya ‘gemar’ memberi—dan menerima—bingkisan-bingkisan kecil dengan lukisan lilin menyala, hanyalah bahwa saya merasa memerlukan sebuah ‘tanda kecil’ untuk mengungkapkan kasih sayang dan perhatian, juga cinta..
Ucapan ulang tahun, sungguh, merupakan ungkapan perhatian dan kasih sayang. Ia adalah bagian dari kekayaan hati manusia. Betapa sungguh, setiap menerima ucapan ulang tahun, ada keterharuan yang menyemaraki dada saya. Bukan pada kadonya saya rasa, bukan pada ucapan ataupun doanya yang cenderung mengawang-awang. Tapi oleh sebuah sugesti bahwa saya masih menempati sebuah ruang di hati orang lain. Karenanya, selalu saja ada yang menyampaikan selamat itu tanpa terlebih dulu saya memberi kartu undangan pesta atau membuat woro-woro bahwa hari ini saya berulang tahun.
Dengan demikian, saya merasa ‘begitu berharga’ kendati saya tidak lantas menggeneralisir bahwa mereka yang tidak mengucapkan selamat itu lantas berarti tidak menghargai saya.
Tapi, malam ini... ada yang saya renungkan lebih jauh.
Betapa bahagianya saya dan orang-orang yang mempunyai tanggal lahir, sebab, pada tanggal itu, ia akan mengalami seperti yang saya rasakan hari ini. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki tanggal lahir?
Betapa bahagianya saya dan orang-orang yang mempunyai tanggal lahir, sebab, pada tanggal itu, ia akan mengalami seperti yang saya rasakan hari ini. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki tanggal lahir?
Saya tidak ngoyoworo. Kenyataan tanggal lahir hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu bukanlah hal asing bagi saya. Banyak dari teman-teman saya yang jika ditanya, “Tanggal lahirnya berapa?” lantas mereka tercenung sesaat sebelum menjawab, “Nggak tahu. Orang tua saya juga nggak tahu.”
Ya, mereka adalah orang-orang yang belum menganggap penting arti catatan diri. Bisa jadi mereka melupakan, bisa jadi karena mereka memang belum mengenal kalender.
Saya banyak memiliki teman yang orang tuanya buta huruf. Yang mereka ingat tentang kelahiran anaknya adalah: “Dia lahir tiga hari sesudah udan awu (untuk kalangan masyarakat saya, istilah ‘udan awu’ adalah peristiwa meletusnya Gunung Kelud yang menimbulkan hujan abu selama beberapa hari).” Atau... “Lahirnya Selasa Kliwon, wuku Pahang, Windu Sancaya,” dan selalu tidak disertai dengan tanggal yang jelas. Yang agak ‘mendingan’ adalah: “Lahirnya itu pas geger tentara ‘Ejrah’ perang dengan ‘Merah’.” ‘Ejrah’—asimilasi dari kata hijrah—adalah sebutan untuk laskar Siliwangi yang berhijrah pasca-Perjanjian Linggarjati, dan ‘Merah’ adalah sebutan untuk tentara PKI masa itu. Dengan sedikit melongok ke jeda-jeda sejarah, maka bisa diperkirakan tanggal dan tahun lahirnya, kendati kadar ketepatannya masih sangat perlu dipertanyakan.
Nah, untuk orang-orang yang seperti ini, adakah mereka memiliki sebuah hari ‘istimewa’ di mana orang-orang akan berlomba membagi doa? Bagaimna bisa sedangkan mereka sendiri tidak mengetahui kapan tanggal lahirnya? Alangkah sepinya.
Ah, tapi tunggu. Saya pernah menulis dalam sebuah novel, Tuhan bukan hanya milik orang-orang yang ulang tahun. Tuhan akan mengabulkan doa siapa saja, pada waktu kapan saja, dan itu adalah janji-Nya. Dia tidak perlu menunggu seseorang berulang tahun untuk menunjukkan cinta-Nya sebab cinta itu tak pernah kering.
Lantas, betapa kemudian saya teringat dengan sebuah tulisan Martha Bolton dalam buku I Love You... Still. Tulisnya:
“Kami mengemudi di Interstate 40, dan dalam perjalanan kami melihat pemandangan yang luar biasa. Tidak ada rambu-rambu untuk menasihatkan pengemudi berhenti dan menikmati pemandangan itu. Itu tidak diperlukan. Anda tidak bisa melewatkannya.
“Kami mengemudi di Interstate 40, dan dalam perjalanan kami melihat pemandangan yang luar biasa. Tidak ada rambu-rambu untuk menasihatkan pengemudi berhenti dan menikmati pemandangan itu. Itu tidak diperlukan. Anda tidak bisa melewatkannya.
Sedikit lebih jauh, ketika akhirnya saya melihat tanda bertuliskan “Pemandangan Alam” dicetak di atasnya, pemandangannya tidak terlalu berbeda dengan yang kami lewati sejauh enam puluh mil. Namun, tetap saja pengemudi menepi; keluar dari mobil, membawa kamera di tangan dan dengan semangat memotret.
Saya tidak percaya bahwa mereka sungguh memerlukan tanda untuk menunjukkan keindahan yang sudah ada di hadapan mereka sepanjang jalan.”
Dalam buku tersebut, Martha menyebutkan bahwa mengungkapkan cinta sesungguhnya tak memerlukan tanda apa pun. Banyak orang yang menjadi ‘bodoh’ dengan menganggap sebuah tanda sebagai tempat sakral.
Sebenarnya, seperti indahnya pemandangan sepanjang perjalanan yang dilalui oleh Martha, setiap jenak dalam hidup kita adalah momen yang tepat untuk berbagi doa dan mengungkapkan kasih sayang. Tidak ada bedanya antara hari ulang tahun dengan hari biasa. Hanya saja, karena melihat sebuah tanda berupa ‘hari jadi’ tadi, lantas semua orang berhenti sejenak, menyempatkan diri mengucap selamat yang dilanjutkan doa.
Betapa rumitnya.
Namun, suatu saat saya merasa perlu berpikir sebaliknya. Bahwa, kadang-kadang saya pun merasa ‘canggung’ untuk mengucapkan ‘cinta’ kepada saudara, orang tua, sahabat... tanpa sebelumnya didahului oleh sebuah ‘tanda.’ Betapa saya merasa, tak ada angin, tak ada hujan, tak ada petir apalagi bom nuklir, tiba-tiba saya mengucapkan: “Semoga barakah umurmu, semoga semakin dewasa, semoga berbahagia, tercapai apa yang kaucita dan cintakan.” Bukannya mengamini, barangkali ‘seseorang’ yang saya hadiahi doa itu justru akan terbengong-bengong dan bertanya, “Sakti, kamu kenapa? Kok, tiba-tiba error begitu?”
Sekali lagi, ini bukan ngoyoworo. Saya pernah mengalaminya langsung kendati tidak persis seperti cerita saya di atas. Saat itu saya merasa yakin bahwa hari itu merupakan hari ulang tahun salah satu teman saya. Rupanya saya mengingat bulan dan harinya terbalik. Angka yang seharusnya menjadi bulan, saya letakkan pada hari dan sebaliknya. Ucapan saya itu mendahului dua bulan dari waktu yang seharusnya. Seperti biasa, saya selalu berusaha menghindari mengatakan ‘ulang tahun’ oleh karena keyakinan saya bahwa tak ada tahun terulang tadi. Saya biasakan langsung pada doa dan ungkapan kasih sayang berikut perhatian. Bahwa, bagi saya, teman saya tersebut terlalu berharga untuk dilupakan. Dan, apakah yang terjadi? Teman saya tertawa sampai terpingkal-pingkal. “Kamu yang bener aja, Ti!”
Ini insiden yang membuat saya terlihat sangat bodoh. Tentu saja malu. Justru ketahuan, kan, kalau saya tidak mengingat hari ulang tahunnya dengan baik? Kendati malu, saya berusaha menguasai keadaan. Bahwa, meskipun keliru, apa salahnya mendoakan? Toh, doa itu baik. Barulah setelah itu, teman saya berhenti menertawakan saya.
Bukan dalam arti saya tidak sependapat dengan Martha, atau juga Anda, bahwa setiap jeda dalam hidup kita adalah momen yang tepat untuk mengungkapkan kasih sayang dan saling mendoakan. Allah tidak pernah mmbedakan doa yang diucapkan pada hari ulang tahun dengan hari biasa. Namun, terkadang memang kita memerlukan ‘tanda kecil’ untuk merasa nyaman melakukan sesuatu. Jika belum menjadi kebiasaan bagi Anda untuk mendoakan orang yang Anda cintai, saya memahami. Anda bisa memanfaatkan momen ulang tahun ini jika Anda memang canggung mengucapkan doa langsung di depan teman Anda sebagai ungkapan perhatian dan cinta.
Mungkin, seiring jalannya waktu, di lain kesempatan, Anda bisa bebas menghadiahi teman Anda doa kapan saja Anda mau. Anda kemudian akan mulai melihat ada begitu banyak waktu istimewa untuk orang yang Anda cintai dan kasihi. Lantas... pelan-pelan, semua waktu akan menjadi istimewa. Semua waktu akan menjadi pemberhentian yang tepat untuk mengucap doa. Anda tak perlu lagi repot menunggu tahun depan untuk sekadar menambahkan doa yang Anda rasa kurang lengkap pada ulang tahun sahabat Anda; kemarin!
Sebab, Tuhan bukan hanya milik orang-orang yang berulang tahun.
Sebab, Tuhan bukan hanya milik orang-orang yang berulang tahun.
Malam kedua puluh lima tahun saya.
Tak terasa, saya telah begini tua.
0 komentar:
Posting Komentar