Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Tinjauan Ulama Tentang BEROBAT DENGAN SESUATU YANG HARAM


Tinjauan Ulama Tentang
BEROBAT DENGAN SESUATU YANG HARAM

I.    PROLOG
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam, kita bersyukur dan bertahmid atas segala yang telah Dia karuniakan.
Allah menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada waktu siang ada juga waktu malam. Demikian pula Allah tiada menciptakan segala penyakit kecuali Dia pula menciptakan obat baginya. Maka Rasulullah saw memerintahkan kepada umatnya untuk berobat dari setiap penyakit yang menimpanya dengan tanpa meniadakan tawkal kepada Allah, tapi beliau melarang untuk menggunakan obat-obatan yang diharamkaNya. Lalu bagaimanakah bila tidak ada jalan lain kecuali dengan mengkonsumsi obat yang diharamkan tersebut ???.
Dalam makalah singkat ini kami menyajikan penjelasan para ulama dalam meninjau masalah ini berdasarkan dalil-dalil yang shahih.

II. DEFINISI
Secara bahasa : pengobatan dalam bahasa arab adalah masdar dari Tadawa artinya : memberikan obat atau memeriksa penyakitnya
Secara istilah : ia memili kesmaan dengan kedokteran, yaitu ilmu yang denganya dapat mengetahui keadaan manusia dari segi yang dapat meningkatkan dan menghilangkan kesehatan, hal ini di peruntukan agar dapat menjaga kesehatan dan menolak hal yang dapat mebahayakan kesehatan.


III.              DALIL DI SYARIATKANYA BEROBAT

      (الشعراء : 80)
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, (As syuara :80)

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : {ما أيزل الله داء إلا أنزل الله له شفاء} (رواه البخاري )
    Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra dari nabi saw bahwa ia besabda : " Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia menurunkan obat bagiya. "  (HR : Bukhari )

وفي الرواية عن أسامة بن شريك :{ تداووا يا عباد الله فإن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء، إلا داءا واحدا الهرام}
     Dan dalam riwyat Usamah bin Syarik : " Berobatlah wahai hamba Allah, karna Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali Dia pula menjadikan obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu kematian. ( HR : Bukhari dan Ahmad ) [1]

IV. HUKUM BEROBAT
Syaikh Aiman bin Abdul Fatah menyebutkan dalam kitabnya As syifa min wahyi khatimil Anbiya bahwa Para ulama   berberda pendapat mengenai hukum berobat :
Pertama : Berobat hukumnya haram, hal ini adalah bathil karana Rasulullah saw telah memerintahkan untuk berobat sebagaimana di jelaskan dalam sabdanya diatas.
Kedua : berobat tidak wajib, pendapat ini tidak dapat di jadikan alasan. Berdasarkan riwayat Ibnu Abas
حدثني عطاء بن أَبي رباح قال قال لي ابن عباس ألا أريك  امرأة من أهل الجنة قلت بلى قال هذه المرأة السوداء أتت النبي صلى اللَّه عليه وسلم فقالت إنِي أصرع وإنِي أتكشف فادع اللَّه لي قال إن شئت صبرت ولك الجنة وإن شئت دعوت اللَّه أن يعافيك فقالت أصبر فقالت إني أتكشف فادع اللَّه لي أن لا أتكشف فدعا لها (رواه البخاري, مسلم وأحمد)
Telah menceritakan kepadaku Atha' bin Abi Rabah ia berkata : ibnu Abas berkata kepadaku apakah engkau suka aku lihatkan seorang wanita penghuni surga ? aku menjawab : ya. Ia berkata : perempuan berkulit hitam ini datang kepada Rasul ullah saw dan berkata: aku memiliki penyakit ayan dan terkadang auratku terbuka, maka do'akanlah kepada Allah untuku. Rasul bersabda : jika engkau suka maka bersabarlah maka kelak bagimu surga dan jika engkau suka akan aku aku akan berdo'a semoga Allah menyembuhkanmu. Maka wanita itu berkata : aku lebih memilih  untuk bersabar, ia juga berkata akan tetapi aku masih tak sadar membuka auratku maka bedo'alah kepada Allah agar aku tidak menyibak auratku. Maka Rasulullahpun mendo'akannya. [2]

 Ketiga : Imam Syafi'I berpendapat bahwa berobat adalah mustahab . berdasarkan hadist Ibnu Abas ra. Akan tetapi pendapat ini di bantah karena nabi menjelaskan akan adanya pahala dan balasan bagi seorang yang meninggalkan berobat, dan tidak tidak menetapkan adanya pahala bagi siapa yang meniggalkan sesuatu yang di sunahkan. Maka seandainya berobat adalah sunah maka meninggalkanya adalah makruh.
Keempat : Boleh. Pendapat ini lebih kuat, inilah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Hanabilah.
Kelima : Mubah, barangsiapa yang pergi untuk berobat demi ketaatan dan berangkat dari motifasi memenuhi hak yang telah di wajibkan atas dirinya maka baginya pahala. Demikian pula bagi orang yang meniggalkan berobat dengan penuh kesabaran, ridha atas apa yang di takdirkan demi untuk mendapatkan derajat  yang tinggi di sisi Allah maka baginya pahala. [3]

Pendapat yang paling rajih.
Pada asalnya hukum berobat adalah Boleh atau sunah bukan wajib. Akan tetapi ia berubah setatus hukumnya menjadi wajib manakala tidak ada obat lain selain daripadanya atau berobat adalah satu-satunya jalan keluar dari sakit meurut predisksi yang paling kuat. [4]

V.    MACAM-MACAM PENGOBATAN
Pengobatan dibagi menjadi dua : pertama : pengobatan yang Allah berikan sebagai fitrah kepada manusia dan hewan, macam pengobatan ini tidak membutuhkan pendeteksian dokter. Contohnya lapar dan haus, dingin, payah dan lain sebagainya.
Kedua : pengobatan yang membutuhkan pemikiran dan perumusan. Seperti berbagai macam penyakit yang ada atau penyakit komplikasi yang membutuhkan perlakuan khusus dan berbagai campuran obat untuk dapat menyembuhkanya.

Adapun bila di tinjau dari segi hukum maka berobat juga di bagi menjadi dua; pengobatan yang di syariatkan dan pengobatana yang di haramkan.

Pertama : pengobatan yang disyariatkan. Hal ini di dapat di laksanakan dengan berbagai macam cara, diantaranya :
a.            berobat dengan madu.
b.            Berobat dengan susu dan kencing unta.
c.            Berobat dengan Habatus sauda
d.            Berobat dengan Hijamah (berbekam )
e.            Berobat dengan cendawa atau jamur
f.            Berobat dengan abu
g.            Berobat dengan celak
h.            Berobat denga Zait (minyak)
i.             Berobat dengan pacar
j.             Berobat dengan Al Qur'an dari sihir.
k.            Berobat dengan ruqyah.

Kedua : berobat dengan barang yang haram.
a.        berobat dengan babi.
     Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (Al Maidah : 3)
     Ayat ini menunjukan bahwa babi secara dzatnya adalah najis dan seluruh badanya adalah najis, sedangkan setiap yang najis adalah haram serta harus di jauhi.
Abu Muhamad mengatakan : tidak di halalkan memakan sesuatu apapun dari babi. Baik dagingnya, lemak, kulit, urat, ingus, tulang, kepala,baian-bagian tertentu  maupun rambutnya. [5]

     Adapun babi ia lebih hina daripada anjing. Akan tetapi anjing dan babi keduanya adalah hewan yang statusnya najis mughaladhah sehingga wajib untuk mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Bila anjing di perboelhkan untuk keperluan berburu atau menjaga ladang maka babi tidak dipebolehkan memeliharanya sama sekali karena seluruh badanya adalah najis, oleh kerena itu Allah mengharamkan untuk memakan babi. Dalam Qaidah ushul fiqih dikatakan  : setiap yang haram untuk mengambilnya maka haram pula untuk memberikanya. Dan setiap yang haram untuk memakainya maka haram pula untuk mengambilnya.  " [6]

b.        Berobat dengan bangkai
     Bangkai adalah setiap yang hilang nyawanya tanpa di semelih secara syar'I baik ia mati karena  mati dengan sendirinya tanpa sebab anak adam atau karena perbuatan manusia, jika hal itu disebabkan karna di sembelih dengan cara yang tidak di perbolehkan maka semua itu adalah bangkai.  [7] Allah berfiman

Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".(Al An'am : 145)

Imam Syafii mengatakan, ayat ini mengandung dua makna ; salah satunya bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kecuali apa yang di kecualikan Allah dalam ayat di atas.
Kedua : termasuk yang di kecualikan adalah sesuatu yang di tanyakan kepada Rasulullah tentangnya dan ini adalah makna yang lebih utama berdasarkan hadist-hadist Rasulullah saw. [8]

Hikmah di haramkanya bangkai
a.            Bangkai memberikan bahaya karena setiap yang mati karena sakit atau karen lemah maka dalam tubuhnya terdapat bakteri yang berikutnya ia menjadi racun.
b.            Karna ia adalah hewan yang najis.
c.            Dalam babi terdapat darah membeku yang tidak dapat hilang kecuali di hilangkan kecuali dengan cara menyembelihnya secara syar'i.
     Maka haramnya bangkai adalah hukum Allah yang sudah  pasti berdasarkan ilmu dan hikmah, dan yang memperbolehkanya adalah hukum jahiliyah yang berdasarkan hawa nafsu.  Mentaati Allah dalam keharaman bangkai adalah tauhid sedangkan mentaati orang jahiliyah yang memperbolehkanya adalah syirik.
Dalam hukum bangkai hanya ada dua macam yang di kecualikan, yaitu bangkai binatang laut dan belalang. [9] Maka kebanyakan Ahli ilmu mereka memperbolehkan untuk memakan binatang laut baik yang masih hidup maupun yang telah mati, demikianlah pendapat imam Malik . akan tetapi ia bertawaquf (diam ) dalam masalah babi laut. Abu Qasim mengatakan aku menghindarinya dan tidak mengharamkanya. [10]
Imam Syafi'I mengatakan : Sesungguhnya Allah mengharamkan babi secara mutlak dan mengharamkan bangkai dengan syarat tidak dalam keadaan darurat. [11] Sedangkan apabila dalam keadaan darurat seperti lapar yang meyebabkan kematian jika ia tidak mengkonsumsinya maka ia diperbolehkan untuk memakanya.
Dalam kaidah ushul fiqih dikatakan : "Apabila sutu perkara telah menjadi sempit maka ia menjadi lapang. Dan apabila sesuatu itu telah menjadi lapang maka ia berubah menjadi sempit " dua kaidah ini menjelaskan bahwa apabila telah sampai derajat darurat maka setiap yang haram berubah mejadi halal dan apabila ia telah lapang maka sesuatu tersebut berubah menjadi haram kembali.  [12]

c.         Berobat dengan khamr
Khamr adalah nama untuk setiap air dari anggur apabila telah mendidih dan mengental serta buihnya mulai menghilang, demikinlah yang dikatakan oleh Abu Hanifah. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhamad, ia adalah air anggur yang telah mendidih dan mengental, terkadang ia berubah menjadi merah.
Madzhab Hanifiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat tidak diperbolehkanya meminum khamr untuk di jadikan sebagai obat. Baik kahmr itu masih murni atau sudah di campur. [13]
Sedangkan madzhab syafi'I yang juga mejadi pegangan imam At thabari bahwa diperbolehkanya berobat dengan khamr apabila memenuhi tiga syarat :
Pertama : berdasarkan  riset dokter.
Kedua : kadar khamr tersebut lebih sedikit dengan ukuran tidak sampai memabukan dan tidak menghilangkan akal. Sehingga tidak di perbolehkan berobat dengan sesuatu yang lebih besar dari pada itu.
Ketiga : berdasarkan keterangan dokter muslim karena selai  muslim tidak di terima kesaksianya dalam hal kedokteran. [14]

Adapun sesuatu yang dapat menghilangkan akal selain minuman atau ganja maka tidak ada  tidak ada had bagi orang yang mengkonsumsinya. Sedangkan Imam Al Ghazali mengatakan :  orang yang wajib untuk di ta'zir dan di asingkan  tanpa harus di dera. [15]

d.        Berobat dengan sihir
Sihir secara bahasa adalah setiap yang lembut caranya tapi mengena.
Sedangkan secara istilah Imam As sangkiti mengtakan bahwa ia tidak bisa di batasi karna banyaknya cara yang di lakukan secara sembunya-sembuyi.
Allah berfirman mengenai haramnya berobat dengan sihir :
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).  Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu jangnalah kamu kafir".
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al Baqarah : 102)

 Rasulullah juga bersabda :
Barangsiapa  yang mendatangi tukang ramal atau tukang sihir atau dukun kemudian ia menanyakan tentang sesuatu, lalu ia membenarkan apa yang ia katakan maka ia telah kafir dengan apa yang di turunkan kepada muhamad. (HR : Al Baihaqi dan Al Bazzar dengan sanad jayyid). [16]
Maka barangsiapa yang melakukan sihir dalam berobat maka hal ini menunjukan bahwa ia meminta bantuan kepada jin, dan mempraktekan ilmu-ilmu ghaib. Padahal hal itu telah di haramkan Allah swt. Rasulullah juga pernah bersabda :
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan ia menanyakan sesutu kepadanya, maka tidak di terima shalatnya selam empat puluh malam. (HR : Muslim ). [17]

e.        Berobat dengan sutra
Diriwayatkan dari Qatadah bahwa orang-orang membicarakan bahwa nabi saw memberikan keringanan kepada Abdurrahman bi Auf dan Zubair dalam memakai gamis yang terbuat dari sutra karena di sebabkan gatal yang keduanya derita. [18]
Pada hadist di atas terdapat dua pelajaran; pertama hukum fiqih kedua tentang berobat denganya
Pertama : Hukum fiqih, yaitu bahwa nabi memperbolehkan sutra bagi laki-laki secara mutlaq dan mengharamkan kepada laki-laki kecuali untuk kemasalahatan atau kebutuhan  yang sangat mendesak. Seperti karena sangat dingin, sutra yang di pakai orang yang sedang sakit gatal atau kutu.
Kedua : dari sisi pengobatan, sutra adalah salah satu obat yang bahan bakunya dari hewan. Oleh karena itu ia memiliki banyak manfaat dalam mengobati berbagai macam penyakit. Selain itu bila pakain dari kapas ia bersifat dingin dan lembab dan pakaian dari wol bersifat panas, maka pakain yang terbuat dari sutra memiliki sifat lebih lembut dan hangat daripada kapas.

f.         Berobat dengan sesuatu yang berbahaya
Dalam hal ini sering kita dapatkan macam obat-obatan yang menggunakan sesuatu yang berbahaya seperti Alkohol, angin panas, barang najis atau yang lainya dari hal-hal yang di haramkan oleh syari'at baik yang bentuknya cair atau tablet, padalah itu semua sangat di butuhkan dalam pengobatan.
Pertama : Apabila tidak di dapatkan ganti (obat lain yang halal).
Apabila tidak di dapatkan obat yang lain kecuali obat tersebut maka boleh untuk menggunakanya, dengan melih pada bahaya sakit  tersebut.
Kedua : apabila di dapatkan pengganti dari obat tersebut atau belum sampai derajat darurat.
Maka dalam keadaan seperti ini perlu di deteksi kembali, apabila bahan yang haram tersebut sudah larut atau hencur bersama bahan yang lain dan tidak ada bekas yang di timbulkanya baik rasa maupun baunya maka obat ini dapat di gunakan/ dikonsumsi.
Dari sini dapat di simpulakan, bahwa menurut para ulama bahwa apabila najis atau sesuatu yang menjijikan serta seluruh barang haram seprti Al kohol atau lainya apabila bercampur dengan obat-obat yang diperbolehkan atau dimasak bersam obat yang halal kemudian bahan yang haram atau najis ini  hancur dengan tidak meninggalkan bekas, rasa maupun baunya, maka dalam keadaan ini ia sama seperti obat yang diperbolehkan lainya.
Namun jika tidak dapat hancur atau masih ia lebih dominan daripada obat yang diperboehkan maka ia menjadi obat yang  haram, ia hanya dapat di gunakan apabila sudah dalam keadaan darurat. [19]

g.        Berobat menggunakan bius dalam pengobatan bedah.
Menggunakan obat yang dapat menghilangkan kesadaran untuk sementara waktu dalam pengobatan luka atau bedah di perbolehkan, karna hilangnya kesadaran dalam keadaan ini  tidak sama  dengan seorang yang hilang akal karena mabuk. Tapi ia masuk dalam keadaan darurat dan darurat bertingkat dengan kadar daruratnya. [20]

h.        Amputasi
Diperbolehkan untuk melakukan amputasi bila hal itu di perlukan jika di kahwatirkan racun atau infeksi yang ada akan menular. Bahkan menurut Ibnu Hazm diperbolehkan pula dilakukan tanpa melalui izin si sakit apabila hal itu sangat di perlukan. [21]

i.         Mengambil anggota salah satu anggota tubuh untuk menambal anggota tubuh yang lain.
Dalam madzhab syafii, Abu Ishaq As sirazi mengatakan : jika orang  yang sudah tedesak terpaska memotong bagian dari tubuhnya sendiri baik bagian paha atau lainya untuk di makan maka hal ini diharamkan tanpa adanya perselisihan. Namun menurut Abu Ali At thabari dan pendapat ini di sahkan oleh Ar rafi'I, di perbolehkan untuk melakukan hal itu dengan syarat tidak di dapat selain daripadanya.
Maka dapat kita fahami bahwa bagi orang yang sudah dalam keadaan darurat ia diperbolehkan untuk memotong anggota tubuhnya untuk di makan jika di khawatikan apabila ia tidak melakukanya ia akan mati.
Dari inipula bisa kita fahami akan bolehnya mencangkok bagian tubuhnya yang tidak membahayakanya untuk menambal bagian yang lain. [22]



VI. PENUTUP

Segala puji bagi Allah rab semesta Allah, shalawat dan salam kepda Rasulullah Muhamad saw.
Amma ba'du : pembaca yang budiman, inilah makalah singkat yang dapat kami tulis pada ramadhan kali ini, sebetulnya pembahasan ini sangat luas dan senantiasa berkembang dari tahun ke tahun. Tapi semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umat islam.
Tidak lupa saran dan keritik membangun dari pembaca senantias kami harapkan untuk menuju kesempurnaan dari makalah ini. Wallahu A'alm.

VII.              REFRENSI

1.             Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, cet.I 1989 M. Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut.
2.            Aiman bin Abdul fatah, Pegobatan dan penyembuhan menurut wahyu nabi, cet I. Jakarta.
3.            Ibnu, Al Muhalla, Darul Jael.
4.            Abdul Aziz bin Abdul latif, Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal Amaliyah, Darul Wathan, cet. II, 1415 H.
5.            Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Mufashal fie Ahkamil Mar'ah, Muasasah Ar risalah cet I, th 1993 M Bairut.
6.            Dr. Muhamad Shadiqi bin Ahmad bin Muhamad Al Burnau Abil Harist Al Ghazi, Al wajiz fie Iedzahi Qawaid Al fiqhiyah, muasasah Ar risalah, cet IV th.1996 M. birut libanon.
7.            Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Hukmu Sihr Wal Kihanah , cet II, Panitia Penelitian dan Fatwa.
8.            Abdul Aziz Muhamad Azam dan Ahmad Muhamad Al Hasiri, Qawa'id Al fiqhiyah wa dirasah ilmiyah tahliliyah Muqaranah, Al Azhar University.
9.            Majalatul buhust Al Islamiyah, edisi : 9, pimpinan Umum lembaga penelitian buhus, fatwa dan dakwah, riyadh. Th. 1404 M.
10.         Imam syafi'I, Al Umm, Darul wafa,  cet I, th. 2001M. Al manshurah Mesir.
11.          Imam Abi Abdillah Muhamad bin Ahmad Al Anshari Al Qurtubi, tafsir Jamiul Ahkamil Qur'an, cet. 1424 H / 2004 M. Darul kutub Al Arabi. Bairut.

Wallahu A'lam

Bekasi 23 Ramadhan 2006.





[1]               . Fathul bari, Ibnu Hajar, 10/116
[2]               . HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.
[3]               . lihat As syifa min wahyi kahtimil anbiya, hal : 33-37
[4]               . lihat Al Mufashal fie Ahkamil Mar'ah 3 / 100
[5]               . lihat Al Muhalla, karya Ibu Hazm, 10 / 388-391
[6]               . lihat Al Wajiz fie Qawa'id Al Fiqhiyah. Hal : 387
[7]               . lihat tafsir Al Qurtubi,  2 / 212
[8]               . lihat Al Um, karya Imam As Syafi'i, 1/ 90-91
[9]               . lihat majalatul bukhus Al Islamiyah edisi ke 9 .
[10]             . lihat Tafsir Al Qurtubi 2/ 212. 
[11]             . Ibid, hal : 224
[12]             . liahat, Al wajiz fi Qawaid Al fiqhiyah, hal : 230
[13]             . lihat Mughni muhtaj, 4 / 244
[14]             . Qawaid Al fiqhiyah dirasat ilmiyah tahliliyatu muqaranah, hal : 361-365
[15]             . Mughni Muhtaj 4 / 246
[16]             . lihat Nawaqidul iman Al Qauliyah wal amaliyah hal : 511.
[17]             . lihat As sihru wal kihanah, hal : 24.
[18]             . hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu daud, Ibnu Majah, An nasa'I dan Ahmad.
[19]             . lihat Al Mufashal fi Ahkamil mar'ah 3 / 131
[20]             . Ibid.
[21]             . Ibid, hal : 140
[22]             . Ibid

0 komentar:

Posting Komentar