Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

MERUPAKAN SUATU KEWAJIBAN ATAUKAH KEBUTUHAN ?


MERUPAKAN SUATU KEWAJIBAN ATAUKAH KEBUTUHAN ?

            “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum:21).
Ada 3 macam kebahagiaan dan kesengsaraan anak cucu Adam.  Tiga macam kebahagiaan itu adalah istri yang sholihah, rumah yang indah dan kendaraan yang bagus.  Sedangkan 3 macam kesengsaraan itu adalah istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek.
            Apabila telah datang kepadamu orang yang kamu sukai ibadah dan budi pekerti, maka (terimalah lamarannya) dan nikahkanlah.  Karena jika kamu tidak melakukannya, maka dikhawatirkan akan terjadi bencana dan musibah besar di muka bumi ini (HR. Tirmidzi).

PENDAHULUAN

            Pria dan wanita pada hakikatnya adalah sama, yaitu anak manusia yang satu dengan lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.  Keduanya berkarya dan berkreasi di pentas dunia ini sesuai dengan tabiat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.  Dan keduanya hidup saling berdampingan antara satu dan yang lainnya dalam satu komunitas.  Maka tak boleh yang satu melihat yang lain dengan pandangan mata yang apriori dan merendahkan, tetapi keduanya harus saling menghargai dan menyayangi (tepo sliro).
            Demi untuk kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini, maka Allah Swt. mengkaruniakan naluri seks (sex instinct) kepada keduanya, yang menyebabkan terus berlangsung proses regenerasi umat manusia.  Keberadaan naluri seks ini secara alami memang sudah ada pada diri setiap anak manusia baik laki-laki maupun perempuansebagaimana  juga ada pada setiap hewan atau binatang.
            Oleh karena itu korelasi antara pria dan wanita, jika ditinjau dari sisi jenis kelamin, adalah hubungan yang alami dan wajar belaka.  Konsekwensinya, jika terjadi hubungan batin (hubungan sex) antara kedua makhluk Tuhan yang berlainan jenis ini, maka itu adalah sesuatu hal yang wajar dan bukan sesuatu yang aneh.  Kecuali jika naluri dasar mengenai seks tersebut dilepaskan sebebas-bebasnya, maka hal itu akan dapat membahayakan kehidupan sosial (social life).  Keberadaan sifat naluriah ini bukan untuk memuaskan libido, tapi ia mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk melanggengkan keturunan anak cucu Adam di dunia ini.
            Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hanya Islamlah yang mempunyai konsep dan system yang tepat dalam mengatur kehidupan masyarakat.  Ia memandang bahwa naluri seks itu perlu dan penting demi menjaga kelangsungan hidup anak manusia serta menghalalkannya jika dilakukan pada jalur yang semestinya artinya abhwa Islam tidak pernah menyerukan kepada kita umat manusia untuk mengekang apalagi mengebiri naluri tersebut.  Akan tetapi ia mengajarkan kepada kita bagaimana caranya memelihara dan memanfaatkannya secara baik sesuai dengan penuturan syariat Islam. 
            Islam mengumpamakan naluri seks itu bagaikan air bah yang mengalir dengan derasnya dari atas puncak gunung yang tinggi dan besar.  Barang siapa yang berani berdiri dan menghadangnya, maka ia akan terbawa deranya arus aliran air bah itu.
            Sementara orang yang arif dan bijaksana akan membuatkan saluran air yang baik untuk mengalirkannya air tersebut.  Sehingga jika ada air bah yang datang, maka ia akan mengalir pada salurannya tersebut dengan lancar dan tidak merusak yang lain.  Seiring dengan risalah islam yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keselamatan umat manusia dan kehancurannya akibat tersebarluasnya paham seks bebas atau kumpul kebo dan lain sebagainya.  Maka Islam telah menetapkan kaidah-kaidah dasar syariatnya untuk mengatur kehidupan manusia dalam menyalurkan libida seksnya.
            Oleh karena itu pada hakekatnya syariat Islam telah menjalankan tiga hal pokok dalam upaya mencegah terjadinya seks bebas terebut, diantaranya;
1.     Islam memerintahkan kaum laki-laki dan perempuan untuk memelihara pandangan matanya kepada orang-orang yang bukan muhrimnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Quran; “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.  Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat ( An-Nur:30).      
“Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya.(An-Nur:31)
Dari kedua ayat ini dapat kita lihat bahwa perintah memelihara pandangan mata dan pandangan yang dilarang ini berlaku bagi kaum muslimin dann muslimat semuanya, sebab sebagaiman yang kita ketahui bahwa pandangan mata itu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perzinaan.  Firman Allah dalam Al-Quran; “ Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.(Al-Isra’:36).  Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa manusia itu akan diminta pertanggungjawabannya mengenai apa yang ia dengar, lihat, dan simpan dalam hatinya selama di dunia, maka tepatlah apa yang dikatakan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadisnya yang artinya: “pandangan mata itu adalah panah beracun yang dilemparkan oleh iblis. (HR. Thabrani dan Hakim).  “Janganlah kamu sertakan pandangan mata pertama dengan pandangan mata yang kedua, pandangan mata yang pertama itu adalah suatu nikmat untukmu, sedangkan pandangan mata yang kedua adalah kecelakaan bagimu (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
2.     Islam melarang bagi kaum muslimat untuk bersolek, berpenampilan yang tidak senonoh dan mecolok mata, sehingga hal tersebut tidak menggoda kaum laki-laki yang akan berbuat tidak baik pada mereka. Allah menerangkan hal ini dalam Al-Quran: “Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliah yang terdahulu.” (Al Ahzab:33).  Selain itu Islam juga menganjurkan kepada kaumnya muslimat agar berpakaian yang tidak memeperlihatkan lekuk-lekuk tubuh mereka, karena dikhawatirkan hal ini akan mendatangkan mendatangkan becana bagi mereka.  Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Al Ahzab:59.
3.    Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan pernikahan dengan cara yang resmi dan sah.  Haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk melakukan hubungan seks diluar lembaga pernikahan.  Oleh karena itu, untuk memelihara kesucian dan kemuliaan lembaga pernikahan tersebut, Islam mengancam orang yang dengan sengaja melakukan hubungan seks diluar nikah, baik lelaki maupun perempuan dengan ancaman hukuman yang sagat pedih.

SEKILAS TENTANG PERKAWINAN

 

DEFINISI PERKAWINAN

         Kata nikah adalah bahasa Arab, yang dalam dalam bahasa Indonesia berarti kawin.  Nikah atau perkawinan ini menurut syekh Abdurrahman Al-Jazairy ada 3 pengertian: makna lughawi, ushuli dan fitri.  Secara lughawi(etimologi) nikah bearti bersenggama atau bercampur.  Dalam hal ini dikatakan tanakahat Al- Asyjar (terjadi perkawinan antara kayu-kayu), yaitu apabila kayu-kayu itu saling condong da bercampur satu dengan yang lainnya.  Begitu pula dalam pengertian majazi orang menyebut nikah untuk akad, sebaba akad ini merupakan landasan bolehnya melakukan persetubuhan.
Secara ushuli ada perbedaan pendapat pendapat diantara para ulama:
1.     Mengatakan bahwa nikah hakikatnya adalah watha’(bersetubuh)
“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua) maka perempuan itu tak halal lagi baginya, hingga dia kawin dengan suami yang lain.(QS. 2:230)
Kata kawin (hingga kawin dengan suami yang lain) dalam ayat ini diartikan telah melakukan senggama.  Oleh sebab itu, Rasulullah melarang hanya semata-mata akad, tetapi harus sampai bersenggama.  “Tidak (tidak boleh) sebelum kamu benar-benar merasakan madu kecilnya (bersenggama) dan dia merasakan madu kecilmu. (HR. Bukhori Muslim).
2.    Mengatakan sebaliknya dari pendapat pertama, yakni hakikat nikah adalah Akad, sedangkan arti majazy adalah bersenggama.
3.    Bahwa arti hakikat dari nikah ini adalah gabungan dari pengertian akad dan bersenggama.
Secara fiqh, pengertian nikah diungkapkan oleh para ulama dengan beragam sekali, namun secara keseluruhan hampir sama antara satu dengan lainnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut: perkawinan adalah akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya.

LANDASAN HUKUM ANJURAN PERKAWINAN

         Perkawinan yang dinyatakan sebagai sunnatullah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap naluri manusia dan dianggap oleh Islam sebagai ikatan yang sangat kokoh (QS. An-Nisa’:21).  Karena itu perkawinan hendaknya dianggap sakral dan dimaksudkan untuk membina rumah tangga bahagia yang abadi, tidak hanya untuk sementara waktu seperti yang dianut oleh paham yang membolehkan nikah muth’ah sampai kini.  Allah Swt. menganjurkan perkawinan dalam firman-Nya:
1.  “Dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak menikah dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. (An-Nur:    ). Dalam ayat tersebut Allah Swt. menyeru para wali agar mengawinkan orang yang masih sendirian (laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang belum bersuami yang ada dibawah perwaliannya), begitu pula terhadap hamba sahaya.  Anjuran disini tak terbatas pada suatu kondisi tertentu akan tetapi dalam segenap kondisinya, sampai-sampai di saat orang itu bertarap ekonomi rendah, karena Allah Swt. yang akan memampukan (untuk kawin) dengan karunianya.  Firman Allah  Swt.: “Jika mereka miskin, maka Allah Swt. akan memampukan mereka dengan karunianya, dan Allah Maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui” ( An-Nur:     ).  Namun, tentu saja kemampuan tersebut dicapai melalui tahapan dan proses yang harus diusahakan manusia itu sendiri, yakni mengubah dan meningkatkan pandangan hidup, amal perbuatan dan tata cara operasionalnya atau dengan kerja keras.  Dan  kalangan intelektual menyebut dengan visi, strategi dan aksi.
2.    Firman Allah surat Ar-Rum: 21; An Nahl: 72; Ar-Ra’du: 28
“Dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu dan memberikan rizki dari yang baik-baik.” (An-Nahl:72)
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Ra’du: 28)
Pada ketiga ayat ini, Allah Swt. menjadikan istri-istri untuk manusia (laki-laki) dengan tujuan agar mendapatkan mawaddah warahmah dan mendapat keturunan sebagai generasi penerus. Dalam hal ini tentunya apa yang diperoleh dalam hidup bersama tersebut harus dengan jalan yang ditetapkan Allah Swt. yaitu melalui perkawinan yang sah dan diridhoi Allah Swt.  Dengan demikian, secara tersirat penciptaan istri-istri itu sebagai realisasi dan aplikasi dari anjuran perkawinan dengan berbagai kaidah dan tujuannya.
Demikian halnya baberapa anjuran Rasulullah dalam sabdanya:
“Perkawinan adalah sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka sesungguhnya ia tidak termasuk umatku.” (HR. Muslim)
“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah, yaitu pejuang dijalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya yang mau melunasi pembayarannya) dan orang yang kawin karena mau menjauhkan diri dari yang haram.” (HR. Tirmidzi)
“Barang siapa yang memiliki kemampuan, hendaklah ia kawin.” (HR. Ibnu Majjah)

TUJUAN PERKAWINAN
            Dalam pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Tujuan perkawinan yang diungkapkan dalam pasal 1 UU perkawinan ini hanya bersifat global, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.  Meskipun demikian, keseluruhan pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun 1975) telah memuat tujuan secara rinci dan terarah.  Disamping itu juga banyak manfaat baik yang bersifat psikis maupun fisik yang dapat diperoleh dalam perkawinan sebagai tujuan pelaksanaannya, yang secara garis besar adalah :
1.  Untuk memperoleh ketenangan hidup.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa funngsi perkawinan merupakan tempat menumbuhkan ketentraman, kebahagiaan dan cinta kasih.  Atas dasar itulah Islam menetapkan hak dan kewajiban kepada suami istri.  Islam mengingatkan suami bahwa istri adalah amanah Allah yang wajib diperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang.  Dengan perlakuan demikian, istri dapat berperan sebagai penghibur hati dan pelepas rindu yang dapat memberikan ketenangan dan mengembalikan semangat jiwa.  Bila kondisinya demikian ini, maka akan terwujud sesuai dengan sabda nabi : “Rumah tanggaku adalah surga bagiku”.
Sayyidina Ali bin Abi Tholib pernah berkata:  peliharalah hati dan carilah untuknya sesuatu yang baru (hal yang menyenangkan), sebab ia juga merasa bosan sebagaimana halnya badan merasakannya.  Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban dari Abu Dzar, disebutkan:  seorang yang berakal hendaknya tidak melakukan perjalanan jauh kecuali untuk salah satu dari 3 tujuan:  mencari bekal untuk akhirat, memenuhi kebutuhan hidup dan demi kesenangan yang tidak terlarang (rekreasi).



2.  Untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata.
Menjaga kehormatan diri dan pandangan mata merupakan dua hal yang diperintahkan kepada manusia yang beriman.  Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman di surat An-Nur ayat 30-31:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itulah yang lebih suci.  Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya.  Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra suami mereka atau saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita islam atau budak-budak yang mereka pilih atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhasap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.  Dan janganlah mereka memukulkan kaki agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.  Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
       Perkawinan adalah salah satu sarana pemeliharaan kesucian diri yang diperintahkan Allah Swt. dalam ayat di atas.  Ia membentengi diri dari godaan setan, mematahkan keinginan kuat yang memenuhi pikiran, mencegah bencana akibat dorongan syahwat, menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan dari perbuatan terlarang. 
Itulah sebuah perkawinan, dimana seorang istri diperlukan demi kesucian hati,persis seperti makanan diperlukan untuk perut.  Karena itu Rasulullah Saw. memerintahkan siapa saja yang melihat seorang perempuan lalu hatinya tertarik (terangsang) kepadanya, agar segera pulang mendatangi istrinya.  Sabda beliau:
“Jika diantara kamu melihat seorang wanita dan tertarik kepadanya, maka hendaklah pulang mendatangi istrinya, karena hal itu dapat meredam gejolak hawa nafsu.” (HR. Muslim)
3.  Untuk mendapatkan keturunan
Tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh anak guna mempertahankan keturunan agar dunia ini tidak kosong dari jenis manusia.  Dan anak adalah hiasan kehidupan dan penerus keturunan yang akan meramaikan dunia dalam misinya sebagai khalifah bumi. 
Selain itu, anak juga merupakan sarana bertaqorrub kepada Allah Swt.  Dalam hal ini Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa pendekatan diri dalam hubungannya dengan upaya memperoleh anak, meliputi empat aspek antara lain:
a.    Mencari keridhaan Allah Swt. dengan memperoleh anak demi mempertahankan kelangsungan jenis manusia.
b.    Mencari keridhaan Rasulullah Saw. dengan memperbayak umat beliau yang kelak pada hari kiamat akan menjadi kebanggaannya diantara umat-umat lain.
c.    Mengharapkan berkah dari doa-doa anaknya yang sholeh sepeninggnya.
d.    Mengharapkan syafaat dari anaknya apabila meninggal dunia sebelumnya yakni ketika belim mencapai usia dewasa.
Demikianlah tiga tujuan utama perkawinan yang secara keseluruhan diharapkan dapat memberikan rasa aman, tentram dan damai bagi suatu keluarga yang mengharapkan ridha Allah Swt.

HUKUM MELAKSANAKAN PERKAWINAN
     Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia, baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis ataupun untuk mendapatkan keturunan.  Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing  individu (laki-laki) untuk menegakkan suatu kehidupan keluarga (perkawinan) berbeda-beda.  Apakah itu dalam gairah seksual maupun biaya dan bekal hidup yang berupa materi.  Dari tingkat kebutuhan yang berbeda ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan kepada beberapa kategori.  Sebagian ulama membaginya lima kategori, sedangkan sebagian yang lain tidak demikian.
Diantaranya perbedaan pendapat tentang hukum melaksanakan perkawinan tersebut adalah:
1.  Mazhab Syafi’I
Kelompok ini mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah.  Menurutnya bahwa hukum asal nikah adalah boleh, maka seseorang boleh menikah dengan maksud bersenang-bersenang saja, apabila ia berniat untuk menghindarkan diri dari berbuat yang haram/fitnah, atau dengan maksud memperoleh keturunan, maka hukum nikah menjadi sunat.
2.    Mazhab Hanafi, Malik, dan Ahmad serta Daud Zahiri.
Menurut kelompok ini selain Daud Zahiri, hukum melangsungkan perkawinan adalah sunat.  Sedangkan menurut kelompok Zahiri, hukum asal perkawinan adalah wajib bagi orang muslim satu kali seumur hidup.  Menurut Sayyid Sabiq, ada 5 kategori hukum pelaksanaan perkawinan, yaitu:
a.    Nikah wajib, yaitu bagi orang yang telah mampu mewujudkan saranya yang dengannya akan terpelihara diri dimana bila tidak menikah dikhawatirkan akan berbuat zina.  Karena memelihara jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram adalah wajib, sedang pemeliharaan tersebut tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan pernikahan.  Dalam hal ini perkawinan merupakan wasilah atau sarana pemelihara diri dari maksiat dan hukumnya wajib, sebagaimana hukum yang ditujunya (pemeliharaan diri) itu.  Sesuai dengan kaidah fiqih: “Sarana atau wasilah itu memiliki hukum yang sama dengan yang dituju (tujuan).”
“Suatu perkara yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu wajib adanya.”
Dengan demikian, perkawinan dalam kategori ini (sebagai pemelihara diri dari perbuatan maksiat dan perzinaan) hukumnya wajib dan harus diperhatikan oleh orang-orang yang bertaqwa.
b.    Nikah Haram, yaitu bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga, baik nafkah lahir seperti:  makanan, pakaian dan tempat tinggal, maupun nafkah batin seperti mencampuri istri dan kasih sayang terhadapnya.  Imam Al-Qurtubi menyebutkan bahwa apabila seorang laki-laki sadar bahwa  dia tidak mampu memberikan belanja istrinya atau tidak mampu membayar maharnya atau tidak mampu memberikan hak dan kewajiban bagi istrinya, maka ia tidak boleh menikah kecuali dengan berterus terang menjelaskan keadaannya itu kepada calon istrinya (dan dia menerima) atau sampai datang saatnya dia mampu memenuhi hak-hak istrinya.  Dan demikian juga dengan yang lainnya, hingga tidak merasa tertipu oleh keduanya kalau ternyata ada cacat.  Hal ini pernah terjadi seperti dalam riwayat dari Zaid bin Ka’ab bin Ujrah dari bapaknya disebutkan katanya: Rasulullah Saw. menikahi seorang wanita yang bernama Al-Aliyah dari bani Ghifar.  Ketika wanita tersebut datang ke rumah Rasulullah Saw. dan membuka pakaiannya, Rasulullah melihat bagian lambung perutnya burik kulitnya.  Beliau berkata: “Pakailah pakaianmu dan pulanglah ke keluargamu.” ( HR. Imam Hakim)
c.    Nikah Sunnah, yaitu bagi orang yang sudah mampu dan nafsunya telah mendesak, tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan yang haram.  Dalam kondisi seperti ini, perkawinan adalah lebih baik daripada membujang, karena membujang tidak dibenarkan dalam Islam.  Lebih dari itu Umar bin Khatab pernah berkata:  Tak ada suatupun penghalang dari perkawinan kecuali 2 hal:  Ketidakmampuan atau kedurhakaan, bahkan Ibnu Abbas ra. berkata, tak ada sempurna ibadah seorang ahli ibadah sebelum ia kawin.  Dalam hal ini barang kali Ibnu Abbas menganggap perkawinan sebagai bagian ibadah/pelengkapnya, tetapi boleh jadi yang dimaksud adalah hatinya tidak akan menjadi tentram serta selamat dari gangguan gejolak syahwat kecuali dengan kawin.  Dan beliau pernah berkata kepada hamba sahayanya, Ikrimah dan lainnya, jika kalian ingin kawin akan kukawinkan kalian, ingatlah apabila seorang hamba berzina, akan tercabutlah iman dalam hatinya.
d.    Nikah Makruh, yaitu bagi orang yang tidak berkeinginan menggauli istri dan memberi nafkah kepadanya, namun hal itu tidak membahayakan bagi si istri, seperti dirinya itu kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat (sex) yang kuat.  Hukum perkawinan ini lebih makruh lagi apabila ia malah memberikan beban yang akibatnya hilang gairah beribadah kepada Allah Swt. atau malas menuntut suatu ilmu.  Karena itu, barang kali tidak menikah demi memperbanyak ibadah bagi orang semacam ini lebih utama dan mulia daripada kawin.
e.    Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin dan tidak ada penghalang yang mengharamkan untuk melangkah ke jenjang perkawinan.
Terlepas dari pendapat para mujtahid dan ulama di atas, maka berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Islam sangat menganjurkan agar orang yang telah mampu   dan siap secara lahir maupun batin, agar melaksanakan perkawinan.  Berdasarkan firman Allah Swt.: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak untuk kawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.  Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.

Maraji’

1.     Djaman Nur, Fiqh Munakahat Juz 4
2.    Imam Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan
3.    Abdurahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Al-Mazahib Al-Arba’ah Juz 4
4.    Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh
5.    Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah

0 komentar:

Posting Komentar