Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Membangun Komunikasi Keluarga





        Membangun

Komunikasi Keluarga



Banyak bahtera  keluarga yang oleng sebelum mendarat di pantai harapan. Bahkan tak sedikit keluarga yang awalnya harmonis, tapi yang terjadi akhirnya, antar anggota keluarga saling sinis. Keluarga yang diharapkan menjadi surga, tiba-tiba berubah jadi neraka. Tahukah Anda, tak jarang di antara faktor penyebabnya berawal dari terputusnya komunikasi suami istri.

Ciri Pasangan yang sukses:
  1. Tidak membiarkan perkawinannya berjalan sendiri
  2. Mencaritahu apa yang dibutuhkan pasangan
  3. Mencintai pasangan apa adanya,bukan fantasinya
  4. Saling terbuka
  5. Menciptakan kebahagiaan dalam suka dan duka

Berkomunikasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak adam. Bahkan menurut penelitian, dari bangun tidur di pagi hari hingga berbaring kembali menjelang tengah malam, 70% waktu bangun kita gunakan untuk komunikasi.
Artinya banyak kualitas hidup kita banyak ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama antara suami dan istri, orang tua dan anak, tetangga dengan tetangga lainnya, dan seterusnya. Singkatnya hidup kita ini ternyata banyak sekali ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan mulut kita.
Dari sudut komunikasi, salah satu bentuk komunikasi yang paling sering menyebabkan perpecahan keluarga adalah komunikasi kursif. Komunikasi kursif adalah bentuk hubungan dua orang atau lebih yang menyampaikan dengan efek memaksa pada orang yang menerima pesan. Komunikasi kursif ada kalanya merupakan cara yang secara sadar dipilih untuk memenangkan pendapatnya.

Ciri-ciri komunikasi kursif

  1. Menyalahkan pasangan
  2. Saling menyalahkan
  3. Tanpa alternatif
  4. Sangat sensitive terhadap kritik
  5. Cara berfikir semua salah
  6. Enggan mencarai akar maslah
  7. Tanpa jangkauan kedepan
  8. Cara berbicara.

Agar kita terhindar dari pengaruh buruk itu, ada hal yang harus kita lakukan

Pertama

Sikap sabar dan lapang dada. Sikap sabar adalah perisai dari segala bentuk intervensi dari luar. Sedangkan lapang dada adalah solusi terbaik untuk menerima kesalahan orang lain. Dengan kedua sikap ini, Insyaallah kita bisa terhindar dari pelbagai bentuk pertengkaran dan perpecahan. Dengan sikap ini pula kita tidak mudah mengungkit-ngungkit kesalahan, meskiupun ada pihak –pihak tertentu yang begitu bersemangat mengompori

Kedua

Saling memahami. Dua insan yang hidup serumah karena ikatan pernikahan pada dasarnya berasal dari latar belakang yang berbeda, meskipun mungkin ada beberapa kesamaan. Selayaknya pasangan suami istri mau menerima perbedaan yang ada dan berusaha untuk saling memahamai. Agak sulit memang bila ternyata ada perbedaan yang dirasa terlalu menyolok. Tapi banyak jalan menuju roma, kata pepatah.

Ketiga

Memperbaharui rasa cinta. Ada anggapan bahwa suatu saat rasa cinta yang mengikat sepasang suami istri akan memudar dimakan waktu. Pendapat ini bias jadi ada benarnya, karena rasa jenuh dan bosan adalah wajar dalam diri manusia. Karena itu, pasangan suami istri harus terus berupaya memperbaharui rasa cintanya, misalnya dengan mengungkapkan rasa rindu, ketika jauh saling memberi hadiah, dan bersedia menjadi pendengar yang baik ketika sang suami atau istri sedang mencurahkan perasaannya. Bagi pasangan yang sudah dikaruniai anak, buah hati itu bisa menjadi perekat sekaligus penghubung rasa cinta yang sangat efektif.

Membangun komunikasi
Ada bayak hal kecil dalam rumah tangga yang sering kita abaikan, sehingga seorang istri merasa tidak dihargai suaminya, sedangkan suami merasa tidak diperhatikan oleh istrinya. Diantara hal-hal kecil yang besar maknanya dalam menyirami ladang cinta dirumah kita  adalah tentang bagaimana kita membangun komunikasi.
1. Sebutlah namanya dengan cinta
Orang-orang komunikasi mempunyai ungkapan yang terkenal. Word does not mean, people mean. Kata yang anda ucapkan tidak terlalu bermakna. Andalah yang menjadikan kata itu bermakana. Maka kata sayang kalau diungkapkan dengan sinis, akan tidak baik akibatnya. Begitu pula sebaliknya jika kata-katanya salah kalau diungkapkan dengan ungkapan yang baik akan lain maknanya. Ini pernah terjadi jaman rasulullah yang diriwayatkan dalam hadits muslim. “Allah lebih gembira atas tobat hambanya daripada salah seorang diantara kamu yang untanya lepas meninggalkan dia sendirian dipadang sahara yang tandus dan kering, sedangkan bekal makanan dan minumannya diatas unta itu Dia putus asa akan mendapatkan kembali unta itu. Dimenuju  sebatang pohon dan berbaring dibawahnya. Ketika itu ,tiba-tiba dia mendapati unta yang lepas itu ada didepannya. Dia segera bangkit dan memegangi kembali unta itu sambil berteriak,: ”Ya Allah, engkau hambaku dan aku adalah Tuhanmu.”
Satu kalimat atau kata bias lain maknanya bila cara kita mengungkapkannya berbeda. Sejalipun demikian, kita perlu senantiasa belajar berhati-hati dalam memilih kata dan melontarkan kalimat, khususnya kepada suami atau istri kita.
Bagaimana Rasulullah mengungkapkan perasaannya dengan cinta:
a.  Ada panggilan sayang untuknya
Rasulullah selalu meamnggil istrinya dengan panggilan yang menarik atau panggilan khusus. Seperti halnya rasullullah memanggil siti Aisyah istrinya dengan panggilan: Muwaffaqah, Humaira, Ummu Abdullah
b.  Tidak memanggil dengan sebutan yang kaku
Imam Abu Dawud pernah meriwayatkan sebuah hadits : Rasulullah saw. Pernah mendengar seseorang mengatakan kepada istrinya, “Ya, Ukhti.” Rasulullah saw. Lalu bertanya ”Ukhtuka hiya” saudaramukah dia”? (HR Abu Dawud). Hadits ini penting untuk kita perhatikan agar kita rtidak terjebak pada perkara yang sama. Terkadang ada diantara kita yang memanggil istrinya dengan kata ukhti dan memanggil suaminya dengan kata akhi. Cara memanggil seperti ini membuat hubungan suami istri terasa sangat formal dan  kaku , tidak cair, apalagi mesra.

2. Katakan padanya sdebelum engkau pergi
Aisyah menceritakan kepada ibnu umar: hal yang paling mempesona dalam sejarah hidupnya selama berdampingan dengan nabi adalah “Suatu malam, ketia dia tidur besamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, ‘Ya Asisyah, izinkan aku beribadah kepada Tuhanku,’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya, aku senang merapat dengan mu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.’ Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudliu. Kemudian shalat……sehingga aisyah berkata “kanna kullu amrihi ‘ajaba.”

3. Hangatkan jiwa dengan canda yang menggoda
sebagaimana tubuh kita yang sekali saat butuh istirahat, sekali waktu hati kita juga butuh penyegaran agar tidak mengalami kejenuhan. “Hiburlah hati suatu ketika, karena jika ia dipaksa terus menerus terhadap sesuatu, menjadi buta…..” begitulah Ali bin Abi Talib memberikan peringatan kepada kita . Jika hati buta ia sulit mengenali kebaikan dan kebenaran, meskipun nalarnya bisa menunjukkan. Imam Ahmad menceritakan tentang bagaimana Rasulullah berlomba lari dengan Siti Aisyah. Dimana dalam perlombaan itu siti Aisyah menang karena kondisi badannya yang tidak gemuk. Suatu ketika Rasulullah mengajak lomba lagi ketika Siti Aisyah dalam kondisi yang gemuk, dan Rasulullah menang, kemudian Rasulullah berkata: “ini untuk menebus kekalahan ku dalam lomba yang lalu.” Dihadits lain diceritakan bagaimana Rasulullah bercanda ria dengan Aisyah ketika Rasulullah mandi jinabat bersama dalam satu bejana. Atau kisah lainnya Rasulullah menempelkan pipinya di pipi siti Aisyah ketika menonton acara di hari raya yaitu orang-orang hitam bermain perisai dari kulit dan sangkur.

4. Tidak sia-sia bicara
Masalah yang muncul dalam pernikahan tak jarang bermula dari hal-hal yang sederhana. Salah satu perkara yang kerap menjadi awal dari konflik, yang terpendam maupun terbuka dalam bentuk percekcokan, adalah cara kita berbicara. Untuk itu anda harus hati-hati dan bersabar ketika kita mendapatkan pembicaraan yang sudah sering dikatakan, ketika memberikan tanggapan dan ketika memberikan jawaban.

Belajar Mendengar Sepenuh Hati
Gara-gara telinga, rumah tangga bisa berantakan. Istri merasa tidak diperhatikan oleh suaminya, padahal suami merasa tetap memberi perhatian kepada istrinya. Istri merasa diabaikan karena suaminya  “tidak pernah mau” mendengarkan dirinya.
Saya teringat pada cerita Aisyah istri Nabi Saw. Suaminya adalah seorang yang memiliki banyak sekali kesibukan dan perhatiannya banyak sekali tercurah untuk memberi kebaikan bagi umat, tetapi pada istrinya tak pernah lupa menyemai kemesraan. Satu kecupan di antara pelukan yang hangat adalah hadiah yang sangat indah buat seorang istri.
Masih dari tafsir Ibnu Katsir sebagaimana telah diringkas oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Abdullah bin Umar mengatakan, ”Sesungguhnya saya menemukan sifat  Rasulullah saw. Dalam kitab-kitab terdahulu itu demikian,’ Sesungguhnya tutur katanya tidak kasar, hatinya tidak keras, tidak suka bertiriak-teriak  di pasar-pasar, dan tidak suka membalas kejahatan orang dengan kejahatan lagi, namun dia memaafkan dan mengampuninya.”

Selengkapnya  inilah hal-hal yang perlu perhatikan
1. Mendengar Sepenuh Hati
     Inilah Muhammad, Nabi penuntun umat. Apabila datang kepadanya  seorang manusia, dari kalangan budak atau bangsawan, ia akan menyambutnya dengan penuh penghormatan. Ia sambut orang-orang berkulit hitam yang datang kepadanya dengan keramahan dan kasih sayang. Ia dengarkan kata-kata mereka.
2. Beri Tanggapan, Bukan Reaksi
     Tanggapan dan reaksi merupakan dua hal yang berbeda, tetapi kita sering kesulitan membedakannya. Tanggapan atau response merupakan bentuk perhatian, sehingga kita memberi umpan balik dengan hangat dan baik. Tanggapan berkait erat dengan tanggung jawab (responsibility). Bila anda memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar kepada istri, anak, atau siapa pun yang berbicara kepada anda, Anda akan memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Anda akan memberi umpan balik kepadanya sesuai dengan apa yang menurut anda terbaik. Ini bukan berarti bahwa kita harus selalu memberi tanggapan yang positif. Tidak. Akan tetapi,yang terpenting kita menanggapi, baik negatif maupun positif. Bukan mereaksi.
3. Berikan Empati kepadanya
     Salah satu temuan terbesar dalam bidang psikologi adalah client centered therapy. Pendekatan ini memecahkan gangguan psikologis yang bersifat kronis dengan mengandalkan fungsi pendengaran.
     Selanjutnya, apakah yang dimaksud empati? Secara sederhana, empati adalah merasakan apa yang dialami oleh orang lain sebagaimana dia merasakan. Unsur yang sangat penting dalam empati adalah peneriman, meskipun kita tidak menyukai. Berbekal penerimaan inilah, kita dapat berbicara dengan lebih mengena kepadanya. Mirip dengan empati adalah simpati, yakni merasakan apa  yang dialami orang lain  sebagaimana kita merasakannya. Yang terakhir ini juga merupakan bekal psikologis yang  sangat penting dalam menciptakan kebersamaan keluarga maupun dalam berhubungan dengan masyarakat.
4. Memberi Perhatian yang Hangat
     Tahukah engkau siapakah Muhammad? Alangkah sering kita sebut-sebut namanya, tetapi alangkah sedikit yang kita ketahui tentang dirinya. Dialah lelaki Quraisy yang disiang hari amat dekat dengan manusia, tetapi dimalam hari kakinya bengkak karena banyak berdiri menyembah Tuhannya.
     Ya…seluruh tubuhnya ia hadapkan, seakan-akan lutut dan bahunya ikut mendengar sahabatnya yang sedang bicara. Akan tetapi, inilah perhatian yang sesungguhnya. Bila tak ada kehangatan dalam memberi perhatian, tubuhnya tak akan sanggup bicara seperti itu.    
5. Membuka Hati untuk Menerima
     Hadits berikutini agaknya menarik untukdicermati. Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata bahwa ada seorang wanita dating menemui Nabi saw. Seraya berkata, “Aku mempunyai keperluan terhadap engkau.”
Beliau bersabda,”Duduklah dimana pun tempat di Madinah yang engkau inginkan, maka aku siap mendengarkanmu.” (HR Abu Dawud).
     Pada hadits ini, Rasulullah saw. Memberi teladan kepada kita untuk menunjukkan kesediaan mendengarkan. Rasulullah saw. Juga menunjukkan bahwa   beliau adalah orang yang memiliki kerelaan untuk mendengarkan yang sangat besar, sehingga beliau mempersilahkan kepada wanita yang datang menghadap kepadanya untuk duduk di mana pun ia sukai di Madinah dan Rasulullah saw. Siap untuk mendengarkannya.

Telah banyak kata yang tertuang.
Di depan kita sekarang, terbentang pertanyaan
”Apakah selama ini kita telah menjadi pendamping hidup yang baik?



 

0 komentar:

Posting Komentar