Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

KELUARGA BAHAGIA : ANTARA ADA DAN TIADA


KELUARGA BAHAGIA : ANTARA ADA DAN TIADA


Harta yang paling berharga
adalah keluarga
mutiara yang paling indah
adalah keluarga
Penggalan syair di atas saya kutip dari theme song Keluarga Cemara. Serial sinetron keluarga yang ditayangkan RCTI setelah acara Buletin Siang. Buat saya dan juga mungkin Anda, syair lagu itu terasa menyejukkan hati. Betapa tidak, syair itu menyeruak di tengah pengapnya atmosfer kehidupan kita oleh serbuan lagu-lagu yang melulu menjajakan syahwat. Terus terang, saya menilai lagu itu sarat dengan pesan moral. Plus tentunya, serial sinetron Keluarga Cemara memang menjadi konsumsi tontonan yang relatif aman dan insya Allah ada manfaatnya bagi anak-anak kita.

Saya tidak ingin menyoroti lebih jauh substansi cerita dan siapa tokoh di balik sinetron Keluarga Cemara. Hanya saja ketika menyimak alunan syair “harta yang paling berharga adalah keluarga”, saya jadi bertanya-tanya dalam hati: Masih adakah masyarakat di zaman kiwari –di tengah gonjang-ganjing perlombaan manusia memburu materi-- peduli dengan ‘harta yang paling berharga’ itu? Masih adakah masyarakat kiwari yang mau mengapresiasi ‘mutiara yang paling indah itu’? Mereka betul-betul menekuni dan berjuang keras membangun keluarga bahagia? Keluarga sakinah?

Entah kita juga kian sangsi akan kepahaman masyarakat kita, tentang makna keluarga sakinah. Keluarga di mana seluruh anggotanya memiliki visi dan cita-cita yang sama tentang makna hidup. Keluarga yang berwawasan ketuhanan. Keluarga yang berwawasan etika dan moral tauhid. Yang sama-sama memahami bahwa keluarga adalah sebuah perjalanan panjang merekayasa peradaban masa depan (future engineering).

Kemudian para anggota keluarga itu membangun team-work yang solid dan bahu membahu saling menjaga satu sama lain, agar tidak ada satu pun di antara mereka tergelincir ke dalam kesesatan. Pendek kata, mereka berusaha keras mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan bersama. Ah, jika demikian, betapa luhur sesungguhnya perjuangan keluarga. Adakah keluarga kiwari di era globalisasi memahami makna keluarga sejauh itu? Entahlah. Pantas saja bila Ivone J. Bach, seorang sosiolog Jerman pernah bilang, “Bila ada surga di dunia, maka ia adalah keluarga yang harmonis.”

Yang jelas di planet di mana kita berpijak sekarang, sukses orang sepertinya melulu ditakar oleh materi. Orang sukses adalah mereka yang berpangkat, berharta, dan berkuasa. Begitupun keluarga yang sukses adalah keluarga yang bertempat tinggal di lingkungan elit. Bisa mengikuti gaya hidup ala metropolis. Tidak gagap dengan teknologi shopisticated semisal internet. Sehingga bisa gaul melanglangbuana di dunia maya ke seluruh penjuru bumi. Di dunia ini (internet) lingkup gaul orang memang jadi tak terbatas. Tapi mereka --sadar atau tidak-- sesungguhnya telah terkotak-kotak menjadi orang yang egois. Sebab mereka tak pernah memiliki empati dengan lingkungannya.

Soal hubungan dengan Tuhan? Itu tidak masuk dalam variabel kriteria keluarga bahagia. Tuhan dan kebahagiaan memang sering didikhotomi masyarakat modern. Sehingga sering kita saksikan pemandangan yang entah menggelikan, entah memprihatinkan. Sebut misalnya, pak Ivan (bukan nama sebenarnya). Ia seorang muslim yang tergolong sebagai penyimak setia acara tertentu di tivi.

Suatu maghrib ia masih asyik menonton acara kegemarannya. Tiba-tiba adzan maghrib datang. Seorang anak laki-laki Pak Ivan yang masih usia SD segera berlari menuju masjid dekat rumah. Anak lainnya yang perempuan masih di rumah, bercanda dengan para anak tetangga. Agak gaduh suaranya. Pak Ivan yang merasa terganggu keasyikannya menonton, kontan berseru, “Ayo jangan berisik, kalau mau ribut di masjid saja sana!” Sementara ia sendiri tetap tinggal di rumah.

Barangkali dalam takaran pandangan masyarakat modern, Pak Ivan tergolong lumayan. Karena masih ada anaknya yang mengenal masjid. Walaupun ia sendiri tidak pernah peduli dalam mengarahkan anaknya menjadi cinta masjid. Tapi berapa banyak para ayah yang mengaku muslim tapi sangat awam terhadap Islam? Bukan hanya itu, mereka bahkan alergi dan pobia dengan Islam. Dengan kata lain, mereka tidak pernah bersimpati dan berempati pada Islam dan kaum muslimin. Apalagi bercita-cita untuk membangun team-work keluarga, lalu berusaha keras meniti jalan sebagaimana yang dikehendaki Islam?

Agaknya telah muncul semacam kerancuan budaya yang kini berkembang di masyarakat kita. Mereka yang bergelimang di dunia materi, termasuk kaum muslimin tentunya, lalu melupakan Tuhan, ini mungkin tidak masuk dalam lingkup bahasan kita. Yang akan kita soroti adalah betapa sayangnya mereka yang telah memiliki kesadaran beragama (Islam) tapi memahaminya secara sangat awam.

Contoh kasus lagi misalnya. Seorang ibu muda mengantar anak perempuannya ke sebuah TPA (Taman Pendidikan Alquran). Si anak yang mungil dan lucu itu mengenakan busana muslimah rapi. Tapi si ibu yang mengantar sang anak, hanya mengenakan (astaghfirullah…) celana pendek dan kaos T-shirt. Atau sebaliknya, kasus seorang Ibu Haji (ia baru pulang dari Tanah Suci) yang berjalan dengan anak gadisnya. Sang Ibu berbusana muslimah rapi. Tapi si anak mengiringinya dengan bercelana jean ketat.

Kita khawatir bila ada pemahaman, bahwa selagi masih kecil, anak perempuan dijaga pakaiannya. Tapi bila ia telah gadis, dibiarkan bebas berlenggak-lenggok mengobral auratnya. Astaghfirullah.

Keluarga bahagia. Betapa idiom itu kian sulit saja kita cerna. Karena mungkin kita telah terbiasa bersaing mengejar gengsi duniawi. Penyakit materialisme itu memang laksana wabah ganas. Serangannya mematikan. Boleh jadi banyak keluarga muslim yang tak mampu lagi mengelaborasi makna keluarga sakinah. Sampai-sampai ajakan teman kepada keluarga kita untuk mempelajari Islam pun, tak jarang kita tolak. Waktu biasanya selalu jadi kambing hitam. “Aduh maaf nih, belum ada waktu!” Begitu alasan klasik kita.

Betulkah kita tak punya waktu untuk memahami Tuhan? Bukankah ini semata-mata lantaran kita tak pernah menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang sangat kita pentingkan dalam hidup kita? Kenapa kita punya waktu luang begitu banyak untuk selain Tuhan? Bahkan untuk sekadar be-a-ka (baca: buang air kecil) saja kita pasti punya waktu, walau sesibuk apapun. Kalau begitu, bukankah sama saja kita lebih mementingkan buang hajat ketimbang Tuhan? Astaghfirullah…..!

Kita yang mengaku muslim, walau sesibuk apapun, seyogyanya harus bisa menyisihkan waktu untuk mengajak keluarga kepada Allah. Ia adalah harta kita paling berharga yang harus kita pelihara sekuat tenaga. Kita harus mampu tampil sebagai play-maker yang mengarahkan seluruh anggota keluarga kita untuk sujud pada Allah. Dialah Sumber Kekuatan, Sumber Kebahagiaan. Keluarga kita harus membangun akses yang kokoh dengan Yang Maha Memberi Kebahagiaan itu selamanya. Agar keluarga kita menjadi keluarga sakinah.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia (yang kafir) dan batu (yang disembah). Di atasnya ada malaikat-malaikat yang kasar lagi keras….” (QS 66 : 6)

Yuk…kita jaga harta paling berharga itu dari jilatan api neraka. Bismillah.


JANGAN AJARKAN ANAK BERANI MATI


Wanita itu baru saja ditinggal wafat suaminya. Ia salah seorang muslimah generasi tabi'in. Almarhum meninggalkannya sekian banyak anak. Berarti sekian mulut kini menjadi tanggungannya. Padahal si ibu tak pernah berpikir ia harus bertarung berpayah-payah menggantikan posisi suaminya menghidupi anak-anak.

Panikkah si ibu? Tidak! Bahkan ketika sebuah pertanyaan keprihatinan dilontarkan kepadanya; "Apa ibu tidak cemas dengan kematian suami ibu?" Si ibu dengan tenang menjawab, "Saya tidak khawatir. Bukankah suami saya juga tukang makan, bukan Yang Memberi Makan? Jadi apa alasan saya untuk takut?"

Sebuah ekspresi keberanian hidup yang luar biasa. Makhluk yang selama ini kerap dianggap lemah oleh kaum laki-laki itu ternyata memiliki nyali petarung yang besar. Ada pelajaran amat berharga sekaligus amat langka yang ia ajarkan pada kita. Bahwa hidup adalah sebuah pertarungan. Maka siapa yang tak berani bertarung dan menerima kenyataan hidup, lebih baik jangan hidup.

Ibu itu tak takut menghadapi realita hidup. Ia tak lari dari kenyataan. Bahkan dengan optimis ia akan hadapi kenyataan yang mungkin saja saat itu ia rasakan pahit. Saat ini barangkali manusia sekaliber tabi'in itu kian langka kita temui. Manusia yang berani hidup.

Saat ini yang justru banyak kita temui adalah orang yang berani mati. Kasus-kasus sepasang muda-mudi putus-cinta, lalu menempuh jalan pintas mengakhiri hidup mereka, sangat banyak. Dengan melompat dari atas gedung berlantai, minum Baygon, atau menceburkan mobil mereka ke jurang.

Kisah-kisah berani mati orang yang putus asa, lantaran dililit hutang. Atau tak tahan menderita kesakitan yang amat. Semua kisah itu mungkin cukup sering kita dengar atau baca. Di Jepang misalnya, terdapat sebuah perkumpulan orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara harakiri (bunuh diri). Sebuah kanal yang menyediakan peluang bagi kaum fatalis yang ingin lari dari masalah hidup.

Entah kita juga tak mengerti makna ungkapan yang dijadikan moto salah satu korps tentara kita: "Lebih Baik Pulang Tinggal Nama, Daripada Gagal Dalam Tugas." Apakah ungkapan ini menyiratkan sebuah ekspresi keberanian hidup atau sebaliknya, ketakutan menghadapi kenyataan hidup?

Saat ini boleh jadi orang begitu sering mengajarkan doktrin berani mati. Tapi jarang sekali orang diajarkan berani hidup. Termasuk mungkin apa yang selama ini kita ajarkan pada anak-anak kita.

Sadar atau tidak, jangan-jangan kita pun telah terbiasa mengajarkan anak-anak tak berani hidup alias berani menghadapi realita. Sebagai contoh sederhana misalnya, ketika kita mendapatkan sebuah pajangan kesayangan kita pecah. Dengan serta merta kita pun nyap-nyap; "Ya ampun, siapa ini yang mecahkan pajangan kesayanganku!"

Hampir-hampir suara itu terdengar tetangga kiri-kanan depan-belakang. Kebetulan yang memecahkan barang itu adalah salah seorang anak kita tanpa disengaja. Tapi mendengar suara melengking bak halilintar itu, anak kita pun mengkeret diam seribu bahasa. Siapa yang berani hatta seorang anak paling bernyali sekalipun, secara gentle mengakui perbuatannya? Sementara mata kita melotot dan gigi gemeretuk.

Tanpa sengaja kita telah mengajarkan anak-anak kita berbohong. Mereka secara tidak langsung kita arahkan menjadi orang yang pengecut untuk mengakui perbuatannya. Padahal mentalitas takut menghadapi kenyataan hidup, sangat tidak kondusif bagi seseorang hidup di abad kiwari yang kian kompetitif ini.

Begitu juga tak sedikit para ibu yang mungkin secara tidak sadar telah mengajarkan bohong pada anak, ketika ia misalnya bersenandung mengiringi sang anak tidur. "Nina bobok ooh nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk." Padahal syair ini bertentangan dengan logika. Bukankah nyamuk relatif lebih berani menggigit anak yang telah tidur, ketimbang anak yang masih terjaga?

Selain itu banyak kebiasaan keliru tak jarang masih dilakukan sebagian besar para ibu. Misalnya ketika anak jatuh, ia tak mengingatkan si anak agar berhati-hati. Tapi sebaliknya si ibu malah mencari kambing hitam. "Cep cep...nak. Uh nakal ini lantainya," seru si ibu sembari memukul lantai di mana anaknya jatuh.

Yang juga patut kita perhatikan, bahwa tak sedikit syair lagu mengajarkan semangat putus asa pada anak. Contohnya syair lagu "Balonku Ada Lima" yang berbunyi: "Meletus balon hijau, hatiku sangat kacau." Semangat syair ini adalah semangat keputus-asaan. Baru meletus satu balon saja, hati kacau. Bagaimana jadinya jika yang hilang jauh lebih berharga dari itu?

Lebih berbahaya jika anak sudah mulai menggemari lagu-lagu orang dewasa yang sama sekali tak mendidik. Misalnya syair "aku tak bisa hidup tanpa dirimu di sisiku." Selain bodoh, tidak masuk akal, pesan syair itu juga menunjukkan kekerdilan jiwa dan keputusasaan. Karena itu jauhkanlah anak dari syair-syair fantasi yang mengajarkan mentalitas pengecut.

Agaknya perlu kita camkan, bahwa bohong selalu saja menurunkan sifat penakut. Padahal hanya ada dua kemungkinan fatal bagi orang bermental pengecut, ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Pertama ia akan mengelabui orang-orang untuk menghindari hukuman, atau minimal cibiran. Kedua ia mengambil keputusan nekad: bunuh diri. Dua perbuatan itu intinya sama yakni putus asa.

Putus asa. Sebuah pilihan yang sungguh amat dicela Islam, lantaran bertentangan dengan doktrin tauhid. Dengan kata lain, semangat tauhid hakikatnya selalu paradoks secara diametral dengan semangat pengecut alias semangat putus asa.

Alquran mengilustrasikan semangat pantang menyerah orang-orang mukmin betapapun mereka dihadapkan dengan berbagai penderitaan dan kesulitan.

"Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah. Dan tidak lesu, serta tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS 3:146)

Alquran juga menghasung kita untuk berlaku jujur dalam menegakkan keadilan. Sekaligus melarang kita menghindari konsekuensi objektif walau beresiko pahit, hanya lantaran kita membenci suatu kaum.

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS 5:8)

Sebaliknya Alquran juga menandaskan, bahwa putus asa adalah sifat orang-orang kafir. "Hai anak-anakku, pergilah kamu. Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafirin." (QS 12:87).

Mulai sekarang, ajarkanlah anak supaya jujur. Jujur untuk mengakui kenyataan yang beresiko pahit sekalipun. Sebaliknya, kita pun harus menunjukkan kelapangan dada pada anak ketika menerima kenyataan pahit sebagai sebuah takdir Ilahi. Tanpa harus marah atau uring-uringan. Sebab kejujuran akan selalu melahirkan keberanian menerima kenyataan hidup serta keberanian menyongsong hidup.

Betapa kita rindu pada keluarga Muslim yang mampu melahirkan manusia sekaliber Izzudin Al Qosam misalnya. Seorang founding father jihad Palestina. Atau setegar Syaikh Ahmad Yassin yang betapapun tak berdaya tubuhnya di atas kursi roda, tapi semangat jihadnya mampu meruntuhkan kesombongan dan kedegilan Zionis Israel. Lelaki lumpuh itu mampu membangkitkan semangat jihad yang telah melahirkan ribuan syuhada Palestina.

Sebagaimana juga kerinduan para ibu di Palestina untuk bisa mencetak kembali sebanyak-banyaknya syuhada sekaliber Yahya Ayyash "al Muhandis" - sang Insinyur. Syuhada yang telah mengobrak-abrik jantung pertahanan Israel, Tel Aviv, lewat bom-bom syahidnya yang luar biasa.

Mereka adalah bagian dari deretan para petarung yang selalu berani menghadang kematian. Tapi mereka bukanlah tipikal manusia yang berani "asal mati". Justru mereka adalah para manusia yang telah menunjukkan keberanian hidup dalam pahit-getir perjuangan. Padahal jika saja takut hidup, mereka sudah jauh-jauh hari melakukan persekongkolan dengan Zionis Israel. Dengan imbalan tentunya posisi dan kemewahan fasilitas duniawi yang telah dijanjikan Yahudi kepada mereka.

Lantaran itu jangan ajarkan anak berani mati. Tapi ajarilah mereka berani menghadapi pahit-getir kehidupan. Maka sejak sekarang ada baiknya kita, saat-saat ketika mengantar anak tidur, lagu "Nina Bobok" yang biasa kita senandungkan, kita ganti syairnya dengan syair sebagai berikut:

"Tidurlah tidur wahai mujahid cilik

Kelak besar kau jadi tentara Allah

Bismikallahumma ahya wa amuut...

Bismikallahumma ahya wa amuut...!"


CEMBURU, SIAPA TAKUT?


Cemburu. Seringkali kata ini dianggap sebagai kambing hitam terkoyaknya hubungan suami istri. Percayalah, tidak selamanya asumsi itu benar. Sebab cikal-bakal cinta sejati, berdirinya rumah-tangga yang kokoh, lahirnya juga dari sifat cemburu.

Cemburu itu bumbu cinta. Bumbu yang akan lebih menyedapkan romantika dalam bercinta. Rasulullah mencela seorang suami yang tidak mempunyai rasa cemburu. Atau sebaliknya isteri yang bukan pencemburu. Istilahnya dayyus.

Alkisah, Aisyah pernah cemburu lantaran Rosul berulang-ulang menyebut kebaikan Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama beliau saw. "Rasulullah jika mengingat Khadijah, tak bosan-bosannya memuji dan beristighfar untuknya. Hingga pada suatu hari beliau menyebut-nyebutnya yang membuatku terbawa oleh rasa cemburu. Aku berkata, 'Allah telah menggantikan yang lanjut usia itu bagimu.' Aku saksikan beliau sangat marah. Aku sangat menyesal sambil berdoa dalam hati: Ya Allah, jika Engkau hilangkan kemarahan RasulMu terhadapku, aku tak akan lagi menyebutkan kejelekannya," kisah Aisyah.

Masih dari kisah yang sama, disebutkan Rosul marah mendengar ucapan istrinya yang masih belia dan rupawan itu, seraya berkata, "Apa yang kau katakan? Demi Allah, ia beriman ketika orang-orang mendustakan aku. Ia melindungi ketika orang-orang menolakku. Darinya aku dikaruniai anak-anak dan tidak aku dapatkan dari kalian."

Melihat reaksi suaminya, jelas Aisyah terpagut. Ia tak menyangka Rasul sekeras itu menanggapi perkataannya. Sebuah ekspresi kecintaan luar biasa Nabi pada Khadijah, yang kian membakar tungku kecemburuan Aisyah. Khadijah ra, umul mukminin berakhlaq agung, memang patut mendapat cinta Nabi. Tapi justru kecemburuan itu yang akhirnya memicu Aisyah berazam kuat untuk menapaki jejak sukses Khadijah merebut cinta agung Rosulullah saw.

Cemburu, selain ia sebagai indikator fenomena fitrah insaniyah, sikap itu memang sesuatu yang disunahkan Nabi. Dalam makna lebih luas, kelangsungan ekosistem fitrah alam pun sesungguhnya juga terkait erat dengan sifat cemburu.

Kita tidak bisa membayangkan, apa yang bakal terjadi pada dunia manusia bila mereka tak lagi memiliki rasa cemburu. Dalam etika pergaulan pasangan suami istri, jelas ia wajib ada. Suami yang tak pernah cemburu melihat istrinya keluyuran malam hari sendirian misalnya. Atau cuek melihat istrinya pindah dari pangkuan satu lelaki ke pangkuan lelaki lain. Jelas ini merupakan fenomena rusaknya fitrah seorang insan.

Hilangnya perasaan cemburu dari diri manusia tak lain lantaran, manusia terus-menerus memperturutkan hawa nafsunya. Alquran mengisyaratkan hal itu. "Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka kelak mereka akan menemui kesesatan." (QS 19:59)

Padahal turunan dari perilaku selalu memperturutkan hawa nafsu, adalah tercampaknya rasa malu dari dalam diri manusia. Itulah yang kini terjadi dalam pergaulan masyarakat Barat yang telah rusak. Ironinya, radiasi kerusakan itu telah merambah luas ke masyarakat Indonesia, khususnya kalangan muda-mudi. Kata Nabi, "Kalau engkau sudah tidak punya rasa malu, maka lakukan apa saja sesukamu."

Dalam tinjauan aqidah, malu dan iman merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah. Sebuah hadist mengatakan, "Dari Imron bin Hushoin ra berkata: Rasulullah saw bersabda, malu itu tidak menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan samata." (HR Bukhori-Muslim)

Di hadist lainnya diriwayatkan, "Abu Hurairoh ra berkata: Rasulullah saw bersabda, 'Iman itu lebih dari 70 atau lebih dari 60 cabang rantingnya, yang terutamanya adalah kalimat Laa Ilaha Illallah. Serendah-rendahnya yaitu menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. Dan rasa malu adalah bagian dari iman.'"

Yang pasti, malu adalah batas pembeda yang tegas antara manusia dengan binatang. Wajar binatang tidak punya rasa malu, karena ia tidak dikaruniai Allah swt nalar dan perasaan. Tapi jangan lupa binatang masih punya rasa cemburu. Lihatlah betapa kuatnya cemburu seekor merpati jantan pada pasangannya. Ia akan marah bila pasangannya direbut rekannya. Kalau demikian, apa yang kita bisa katakan pada manusia yang tidak lagi memiliki rasa cemburu dan malu?

Dari sini kita tau kenapa Alquran begitu sarkas mengecam manusia-manusia yang telah menjadi budak nafsu. "Ulaika kal an'am, balhum adhol" - "Mereka bagaikan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi". Bukankah di dunia ayam misalnya, tak pernah terjadi ayam jantan dewasa memperkosa anak ayam perempuan? Bukankah tak pernah terjadi perilaku homo atau lesbi dalam dunia kerbau atau keledai?

Jika demikian kita boleh tarik satu konklusi, cemburu-malu-iman, pada hakikatnya berada pada satu garis linear. Sesungguhnyalah ketiga unsur itu menjadi satu senyawa yang menimbulkan gairah hidup manusia untuk memelihara kehormatan dan meningkatkan amaliahnya.

Kecemburuan Aisyah pun akhirnya berujung pada tekad kuatnya untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas amalnya. Sebab Aisyah menyadari bahwa hanya dengan modal cantik jasmani semata, ia tak mungkin mampu merebut cinta agung Rasulullah. Ia harus mempercantik bathinnya, mempercantik akhlaknya, mempercantik amalnya, dan mempercantik lisannya. Ini sebuah kecemburuan positif dan konstruktif.

Seharusnyalah para istri maupun suami harus cemburu ketika ia tak mendapatkan perhatian dan cinta dari pasangannya. Kalau terjadi kasus demikian, jangan dulu kalap dan menyalahkan pasangannya. Cobalah lakukan evaluasi dan kontemplasi. Jangan-jangan pemicunya adalah, lantaran keadaan masing-masing dalam kondisi stagnan. Tidak pernah ada peningkatan kualitas fisik, kualitas amal, apalagi kualitas akhlak dalam berumah tangga (misalnya berkomunikasi secara mesra) pada masing-masing pihak.

Adalah keliru cemburu dibalas oleh dendam, yakni dengan cara mempertontonkan perilaku urakan dan tercela. Misalnya marah-marah lalu menggaet perempuan/laki-laki lain dan mempertontonkannya secara demonstratif di depan pasangannya. Na'udzubillah min dzalik. Inilah yang terjadi pada dunia Barat saat ini, yang telah penuh sesak dengan kasus-kasus perselingkuhan. Berapa ratus bahkan ribu rumah-tangga yang broken home. Kemudian dari situ lahir generasi-generasi yang secara turun temurun mengukuhkan tradisi bejad: seks bebas.

Cemburu itu bumbu cinta. Karena itu jadikan dia sebagai penyedap sekaligus pemacu semangat mengubah diri ke arah positif dan konstruktif. Tapi hati-hati cemburu bisa jadi petaka, kalau masing-masing pihak tidak pernah merujukkan persoalannya pada rambu-rambu iman dan akhlaq.


MENYIASATI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA



Seperti garam dalam masakan, begitulah sering kali orang mengibaratkan konflik dalam keluarga. Tanpa garam masakan apapun akan terasa hambar. Tapi perlu hati-hati pula menebar garam dalam masakan, jika terlalu banyak bisa jadi masakan tak dimakan atau malah ditinggal.

Hal yang sama bisa terjadi pula dalam kehidupan rumah tangga. Konflik yang tadinya jadi bumbu penyedap, akan menjadi pemicu masalah besar jika terlalu sering terjadi dan dilakukan. Penyebab konflik bisa banyak hal. Baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun unsur-unsur dari luar.

Dalam hal ini, paling tidak ada tiga penyebab dasar yang sering kali terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Pemicu pertama yang sering terjadi adalah perbedaan pasangan dalam tataran fisik. Misalnya, pasangan Anda cepat sekali memberikan respon negatif pada hal-hal yang sifatnya tidak substansial. Masakan kelebihan garam, baju lusuh, sampai permasalahan kecil seperti cara memencet pasta gigi yang tidak sama. Selera pun beradu, siapa paling kuat beradu pendapat.

Tataran konflik berikutnya ada pada fase sikap hidup dan pandangan hidup pasangan yang tidak bisa disamakan. Misalnya, yang satu sangat murah hati, cenderung boros sedang yang satunya sangat perhitungan hampir-hampir pelit. Sebetulnya pasangan ini bisa menjadi pasangan yang serasi jika dimanej dengan baik. Namun bila tidak, ia akan menjadi pintu gerbang bencana selanjutnya.

Taraf konflik berikutnya adalah perbedaan iman. Perbedaan iman di sini bukan saja perbedaan agama yang sudah jelas-jelas aturannya. Perbedaan iman di sini adalah perbedaan tingkat keimanan yang tidak sama antara pasangan. Misalnya, sang istri sangat senang sekali mengikuti pengajian atau kegiatan-kegiatan yang meningkatkan keimanan. Sedangkan sang suami, tak hobi berkumpul dengan tetangga apalagi mengikuti berbagai macam pengajian yang ada di masjid sebelah rumah.

Dalam perbedaan yang ini sepintas memang seperti tak terjadi apa-apa. Istri menjalankan aktivitasnya sendiri tanpa diusik suami, sedangkan sang suami bisa berasyik ria dengan kesukaannya tanpa terganggu aktivitas keagamaan istrinya. Sepintas memang tak menyebabkan perbedaan mendasar. Tapi mari kita tilik lebih dalam.

Kegiatan yang berbeda dengan contoh di atas, akan menumbuhkan cara pandang dan persepsi yang berbeda pula pada pasangan. Istri yang suka pergi ke pengajian, sedikit banyak cara pandangnya akan akan punya warna keagamaan. Setiap keputusan yang diambilnya bisa jadi ukuran pertama adalah agama. Tapi bayangkan dengan suaminya yang tak pernah sekali pun ikut pengajian atau kegiatan ruhiah. Bisa jadi pandangan-pandangan dan segala keputusannya tidak punya warna sudut pandangan ruhiah. Perbedaan ini sangat berbahaya, sekali lagi, berbahaya. Jangan anggap enteng.

Untuk menjembatani perbedaan dan mengeliminir beberapa penyebab konflik di atas tak banyak yang bisa kita lakukan. Pertama bersabar, kedua lakukan dialog dan ketiga carilah penengah yang bijaksana.

Bersabar, bukan berarti kalah atau tak bisa melakukan pembalasan. Bersabar adalah memahami dan menunggu, barangkali ditengah jalan pasangan Anda mendapat rahmat Allah yang menjadikan sebuah pintu kebaikan. Bersabar adalah kerelaan menerima, keluasaan tingkat memahami dan kemampuan menahan diri. Namun bersabar dalam konsep Islam bukan berarti berdiam diri lho.

Cara kedua yang harus Anda lakukan selain bersabar adalah dialog. Lakukan dialog dengan baik dan benar. Terbukalah dengan bahasa yang santun dan ringan. Ungkapkan perasaan Anda dengan cara yang sebisa mungkin tak menyakiti hati pasangan. Percayalah, tak ada masalah yang tak terpecahkan dengan dialog, insya Allah.

Jalan paling terakhir yang bisa Anda lakukan jika konflik tak bisa diselesaikan adalah mendatangkan penengah yang bijaksana. Hati-hati dalam memilih penengah ini, salah pilih sama artinya dengan mendatangkan bencana baru dalam rumah tangga Anda. Pilihlah penengah yang bijak, adil dan santun. Hal ini diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:

"Apabila kamu khawatir kesulitan di antara keduanya, maka utuslah hakim dari keluarganya, apabila keduanya menghendaki perdamaian dan kebaikan. Maka Allah akan mendamaikan di antara keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Mengetahui." (QS. An Nisa': 35)


CINTA VERSUS "CINTA"


"Eee... itu kan cucuku? Waduh sudah besar, mana cantik lagi!" seru seorang nenek bangga campur terkejut, melihat sang Cucu tampil modis di layar kaca. Perempuan yang disanjung si nenek berdandan ala wanita karir metropolitan. Stelan rok dengan atasan model jas. Saking sukacitanya, si nenek spontan memanggil semua penghuni rumah untuk menyaksikan buah hatinya yang nampak "matang" penampilannya.

Paparan kisah di atas, merupakan potongan iklan sebuah bank yang mungkin cukup sering kita saksikan di layar televisi. Tayangan iklan itu menyajikan luapan ekspresi cinta seorang nenek demi menyaksikan cucunya telah menjadi "orang". Karena itu untuk bisa mengantarkan buah cinta kita bisa jadi "orang", pesan itu selanjutnya, tanamkanlah uang kita di bank.

Kita, insya Allah, sama faham apa yang dimaksud "menjadi orang". Seperti tayangan potongan iklan di atas, "menjadi orang" selalu berkonotasi pada kesuksesan dunia. Dengan kata lain, jangan buru-buru mengklaim diri telah berhasil alias "jadi orang" kalau belum mampu meraih "3 Ta" paling tidak. Tahta, Wanita, dan Toyota.

Terus terang, bagi kita yang hidup di era kiwari, idiom ini terkesan membawa beban amat berat. Bayangkan, untuk bisa jadi "orang", kita kudu bisa meraih segepok keberhasilan. Entah itu harus berhasil meraih jabatan atau kekuasaan. Entah berhasil dalam suatu profesi.

Pendek kata yang dimaksud "jadi orang" tak lain tak bukan, sukses meraih materi. Tak heran, promosi bank-bank yang amat bombastis juga menjual janji: "Anda ingin sukses, raihlah hadiah bernilai milyaran rupiah dari kami." Sekolah-sekolah, kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga kursus pun mempromosikan diri dengan janji-janji muluk "sukses masa depan".

Mahal memang harga sebuah sukses, harga untuk menjadi "orang". Boleh jadi premis yang cukup kuat mengkooptasi pikiran masyarakat kita ini, menyebabkan banyak anak muda yang ngeper duluan untuk melamar seorang gadis. Apalagi bila si gadis telah lebih dulu meraih sukses. Celakanya, tak sedikit orangtua juga mematok harga tinggi untuk anak-anak gadisnya, lantaran termakan premis itu.

Eksesnya? Tentu ada. Mereka akhirnya lebih senang berfantasi jadi orang "sukses" dan berkhayal telah hidup berdua dengan pasangannya. Dicarilah saluran-saluran untuk fantasinya yang liar itu. Dan celakanya, saluran untuk pelampiasan fantasi liarnya begitu banyak bertebaran. Ada VCD esek-esek. Ada situs-situs cabul yang bisa dinikmati dengan murah di warnet-warnet. Ada film-film tivi maupun tabloid yang menjual syahwat. Atau apa saja yang bisa melampiaskan fantasi seksualnya.

Ekses lainnya, mungkin saja untuk bisa meraih sukses dengan mudah, banyak orang yang menempuh jalan pintas. Sangat boleh jadi, kasus-kasus korupsi yang kian marak, akibat banyak manusia dilanda penyakit "harta maniac".

Kita tentu bukan ingin menafikan bahwa manusia pasti cinta pada harta, wanita, dan kekuasaan. Itu hal yang fitri, sebagaimana Alquran juga mengisyaratkan. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah)" (QS 3:14).

Cinta kepada lawan jenis, keturunan, harta, perhiasan, kendaraan, atau tabungan uang untuk persiapan masa depan anak, tidak pernah dilarang oleh Islam. Selama cinta kepada semua itu, tidak mengalihkan kewajiban manusia untuk beribadah dan taat kepada Allah swt.

Mencintai anak adalah wajib. Karena ia merupakan amanah Allah yang mesti dijaga. Penjagaan di sini tentunya memelihara anak dari hal-hal yang akan menjatuhkannya pada murka Allah. Dengan begitu, cinta kepada anak sesungguhnya menuntut orangtua berupaya keras memelihara dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang taat kepadaNya hingga akhir hayat. Dan itulah sesungguhnya yang dikehendaki Allah terhadap amanah (anak) yang dipercayakan pada setiap orangtua.

Tentang tanggungjawab menjaga anak, Allah mengabadikan kisah keluarga Luqman di dalam Alquran, agar bisa menjadi pedoman bagi tiap keluarga Muslim. "(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu) perbuatan seberat atom, dan berada dalam batu atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

Hai anakku tegakkanlah salat dan perintahkanlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlan (mereka) dari perbuatan yang mungkar. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS 31:16-19)

Begitu sarat pesan Luqman pada anaknya, agar kelak anaknya menjadi "orang". Cobalah kita simak kandungan ayat di atas, adakah pesan itu mengarahkan anak agar kelak menjadi orang yang getol mengejar materi?

Kita yakin, Luqman bukan sosok sembarangan hingga Allah perlu mengukir kisah pengajaran Luqman kepada anaknya di dalam Alquran suci. Ia (Luqman) sesungguhnya tipikal ayah yang amat sangat mencintai anaknya. Karena itu Luqman mengarahkan anaknya untuk tetap istiqomah berada pada garis titahNya. Lantaran ia faham betul, sukses dunia tak ada artinya sama sekali bila hal itu akan mendatangkan murka Allah. Sukses di dunia tapi sengsara selamanya di akhirat, bukanlah pola pengajaran yang diterapkan Luqman pada keluarganya. Itulah cinta hakiki yang telah dipersembahkan Luqman pada isteri dan keturunannya.

Adakah kita pernah memahami makna cinta sesungguhnya kepada anak? Adakah kita pernah terobsesi untuk bisa mengikuti jejak pelajaran keluarga Luqman? Kitalah yang bisa menjawabnya dengan jujur.

Terus terang, kini tak sedikit orang terobsesi untuk menjadi "orang" alias sukses. Pikiran-pikiran itupun diparalelkan pada keturunan. Bayangan ketakutan bila anak tak bisa berhasil jadi orang, boleh jadi menyebabkan banyak orangtua yang rela mengeluarkan dana besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jangan heran bila sekolah-sekolah plus yang konon menjanjikan masa depan ceria, full diantri orangtua saban tahun.

Bahkan bukan hanya itu, untuk melengkapi modal masa depan, anak jika perlu diikutkan segala kursus. Entah kursus piano, kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus tari, senam, les privat, dan entah apa lagi. Walaupun biayanya besar, sebisa-bisanya diusahakan.

Sehingga ada kisah ironis. Sebuah keluarga Muslim di komplek perumahan A (sebut saja begitu), untuk mengkursuskan komputer dan les privat matematik anaknya, walau bayar Rp 100.000 per bulan enggak masalah. Tapi si ibu pernah ngomel-ngomel lantaran iuran infaq TPA anaknya dinaikkan oleh pihak TPA menjadi Rp 10.000. "Uuu mahal betul sih!" serunya ketus.

Wajar saja barangkali, banyak TPA yang gulung tikar, atau minimal hidupnya kembang-kempis. Lantaran sarana yang digunakan untuk belajar anak-anak apa adanya. Bayaran buat para pengajarnya pun pas-pasan. Akhirnya saya baru sadar, Kepala Sekolah TPA dekat rumah saya pernah mengeluh, lantaran banyak santri-santrinya yang nunggak bayaran sampai 2-3 bulan. Astaghfirullah!

Cinta kepada anak harus. Tapi cinta kepada Allah tentu lebih dari sekedar harus. Ia merupakan kewajiban. Cinta kepada anak, pada hakikatnya merupakan aktualisasi cinta kita kepada Allah. Artinya? Anak itu harus kita pelihara sungguh-sungguh agar betul-betul menjadi orang sebagaimana yang dikehendaki Penciptanya. Agar Allah cinta kepadanya, dan diapun mencintai Allah.

Betapa sedih bila kita mendengar kisah-kisah orangtua yang gembar-gembor bahwa mereka sangat mencintai anak-anak mereka. Tapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi insan yang dicintai Allah. Bahkan tak sedikit orang tua yang malah terobsesi kelak dapat menyaksikan anak-anak mereka menjadi orang terkenal. Bisa menjadi artis, menjadi pramugari, atau entah menjadi apa saja dalam dunia selebritis. Astagfirullah! Mudah-mudahan kita tidak terjebak pada dunia glamour yang penuh tipuan mematikan itu.

Karena itu sadarilah, cinta sejati selalu saja akan direcoki oleh cinta palsu.

DICARI: SUAMI COLEH!


Jangan salah tafsir dulu membaca judul di atas. Kalimat itu bukan dinisbatkan pada ucapan anak kecil yang baru mulai belajar bicara, mengucapkan "soleh" jadi "coleh". Kata "coleh" yang dimaksud adalah singkatan macho dan saleh.

Ada pertimbangan penulis ketika memilih judul itu. Pertama, orang seringkali berasumsi membincang suami saleh seolah melulu berdimensi keagamaan. Artinya suami saleh adalah suami yang ibadahnya kepada Allah rajin. Puasa Senin-Kamis, minimal sebulan sekali tidak pernah bolong. Pun demikian soal salat malam, nyaris tak pernah absen. Minimal sekali per dua pekan. Sementara ia tak pernah mau peduli dengan tugas-tugas kerumahtanggaan isterinya di luar tugas mendidik anak-anak.

Kedua, suami saleh seakan dipandang sebagai seorang ahli agama yang tak perlu mengurusi soal-soal kesehatan, kebersihan dan kepantasan. Minimal untuk kepantasan performa diri. Dengan kata lain, sering dianggap kesalehan itu sama sekali tak terkait dengan soal-soal kejantanan dan estetika. Sehingga ia tak perlu mempedulikan aspek kekuatan (olah raga) dan keindahan diri.

Padahal Rosulullah berpesan, "Muslim yang dicintai Allah adalah Muslim yang kuat!" Di samping itu, bukankah Allah itu indah dan mencintai keindahan? Jelas pesan di atas bukan semata-mata berorientasi pada perintah persiapan jihad. Tapi ia (pesan itu) memang menjangkau juga aspek rumah tangga. Agar suami yang kuat nyaman dipandang dan tentu bisa memberi kebahagiaan pada pasangannya dalam hubungan suami-isteri.

Ketiga, tak sedikit orang berasumsi konotasi suami saleh adalah orang-orang yang pasif. Ia adalah suami yang selalu menunggu layanan dari isteri, tidak berinisiatif melayaninya. Ia seakan selalu meminta untuk dicinta, bukan memberi cinta kepada isterinya. Ia seolah menempati posisi raja yang harus ditaati perintahnya, bukan mitra bagi isteri dan anak-anaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Paling tidak, ketiga asumsi yang keliru itu kita akan coba luruskan.

Jika yang dimaksud saleh pengertiannya adalah taqwa, maka kita tau, tidak ada manusia paling bertaqwa di dunia, kecuali Rasulullah saw. Track record Nabi saw soal keterlibatannya dalam urusan pekerjaan rumah tangga, sungguh luar biasa. Aisyah pernah ditanya: "Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw kalau di rumah?" Ia menjawab: "Beliau saw sebagaimana kebanyakan manusia lain, menjahit terompahnya, menambal pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh orang lelaki. Baru bila tiba waktu salat, beliau keluar." (HR. Bukhari)

Rasulullah juga amat baik perhatiannya dalam urusan belanja isteri. Sehingga tidak pernah beliau membiarkan isterinya berhutang pada orang lain. Seharusnyalah, suami taqwa (saleh) mampu memberi belanja yang cukup dan menjaga diri isteri agar tidak meminta-minta atau tidak menggantungkan urusan keluarganya pada orang lain.

Suami saleh adalah suami yang mandiri, baik secara sikap maupun finansial. Ia tidak akan mengadukan kesulitannya pada seseorang, sekalipun kepada orangtuanya atau keluarganya. Ia tetap menjaga dirinya dengan baik, walaupun dalam keadaan kesulitan, sehingga orang lain menganggap dia orang yang tidak berkekurangan.

Selanjutnya, dalam hal kejantanan Rasul? Jangan ditanya. Sejak awal bahkan Nabi selalu mengingatkan agar para orang tua mengajarkan anak-anak mereka memanah, menunggang kuda, dan berenang. Semua jenis olahraga ini, terang membutuhkan keberanian dan kekuatan, yang konotasinya adalah kedigjayaan (kejantanan). Karena itu hampir tak pernah dicatat oleh sejarah, Rasul mengalami sakit serius.

Concern Nabi dalam memelihara kekuatan diri, barangkali terindikasi dari kisah berikut. Diriwayatkan, dalam memberikan pelayanan kebutuhan seksual isterinya, Nabi ternyata melakukannya dengan sangat baik, menarik, dan menggairahkan isterinya. Rosulullah saw dalam kaitan hal ini berpesan;

"Cucilah pakaianmu, pangkaslah rambutmu, bersiwaklah, berhiaslah dan bersihkanlah dirimu. Karena sesungguhnya Bani Israil tidak pernah berbuat seperti itu, sehingga wanita-wanita mereka suka berzina."

Bahkan dalam hadist berikutnya Nabi berpesan;

"Jika seseorang di antara kamu bersenggama, hendaklah ia lakukan dengan kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya (puas) sebelum isterinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (penisnya) sampai isterinya mendapatkan kepuasan." (HR Abdurrazaq dan Abu Ya'la, dari Anas).

Banyak riwayat menyebutkan betapa sikap romantisme Rosul kepada seluruh isteri-isteri beliau. Kepada Aisyah misalnya, beliau selalu memanggil dengan sebutan "Ya Humairoh" (artinya si Pipi Merah). Begitupun ketika Rasul menghadapi isteri beliau di di tempat tidur. Ternyata beliau tetap menjaga kebersihan, kejantanan, dan kehalusan, sehingga mampu merangsang isterinya untuk dapat menikmati kebahagiaan bersuami.

Sebaliknya, beliau sangat mengecam para suami yang jorok dan tidak rapi pada saat bercumbu dengan isterinya. Sehingga menyebabkan isteri mereka muak dan bosan, sampai-sampai akhirnya (na'udzubillah) mereka melirik lelaki lain.

Jadi? Ya tentu saja tidak pantas suami yang dekil, kumel, apalagi loyo, disebut suami saleh. Sebab sifat-sifat tersebut di atas (dekil, kumel, dan loyo) adalah ciri performa para lelaki Yahudi, alias tidak nyunah.

Setelah mengulas singkat sikap empati suami pada tugas-tugas isteri. Kemudian kita menyoroti juga soal kemandirian sikap dan kemampuan mencukupi nafkah keluarga yang harus dipenuhi seorang suami saleh. Begitupun soal keperkasaan yang harus diperhatikan seorang suami. Maka aspek terakhir yang tak kalah penting kita soroti adalah soal sikap kepemimpinan suami terhadap isteri.

Seorang suami saleh, jelas bukan pemimpin perusahaan apalagi menganggap diri sebagai seorang raja diraja. Ia hakikatnya merupakan mitra ibadah bersama isterinya. Tentunya sifat-sifat otoritarian tak ada dalam kamus kehidupan seorang suami saleh. Yakni sikap memaksa isteri dan anak-anaknya harus taat pada perintahnya, serta menghukumnya jika melanggar.

Syahdan, Aisyah dan Hafsah (isteri-isteri Rosulullah saw) pernah membuat mosi minta kenaikan uang belanja. Tapi Nabi tidak memperkenankannya, hingga membuat mereka melakukan aksi protes. Kelakuan para isteri Nabi sempat tembus ke telinga orangtua mereka. Kedua mertua Nabi, Umar dan Abu Bakar (semoga Allah merahmati mereka), segera bertandang ke rumah Nabi untuk memarahi anak-anak mereka.

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari Jabir, ra, katanya; Abu Bakar datang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menghadap. Saat itu Nabi sedang duduk, dan orang-orang bergerombol di depan pintu rumah beliau. Namun Abu Bakar tidak diizinkan masuk. Lalu datang Umar bin Khattab. Tapi ia juga tidak diizinkan masuk. Setelah beberapa saat, baru mereka diizinkan masuk oleh Nabi. Lalu keduanya masuk, sedang Rasulullah saw duduk diam. Para isteri beliau duduk di sekitarnya.

"Aku akan berkata kepada Nabi, yang bisa jadi akan membuat beliau tertawa," kata Umar. Lalu ia melanjutkan, "Wahai Rasulullah andaikan aku melihat puti Zaid yang kemudian menjadi isteri Umar meminta nafkah kepadaku, niscaya sudah kupukul lehernya."

Mendengar ucapan Umar, beliau saw tertawa hingga gigi gerahamnya kelihatan. Lalu beliau bersabda, "Mereka yang ada di sekitarku ini (para isteri beliau--pen) juga meminta nafkah kepadaku."

Kontan Abu Bakar serta Umar bangkit menuju ke tempat Aisyah dan Hafsah. Mereka berdua berkata, "Kalian berdua meminta sesuatu yang tidak dimiliki Rasulullah." Rasulullah saw segera melerai dan melarang Abu Bakar dan umar.

Para istri beliau pun berkata, "Demi Allah, sesudah itu kami tidak akan meminta kepada Rasulullah apa-apa yang tidak dimilikinya."

Sesaat kemudian kepada Aisyah, Rosulullah saw berkata, "Aku mengingatkan kepadamu satu hal yang lebih disenangi bila kamu mengharapkannyya dengan segera, sehingga kamu dapat berkonsultasi dengan kedua orangtuamu."

"Apa itu?" tanya Aisyah. Kemudian beliau membacakan surat Al Ahzab ayat 28-29.
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: "Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya segera kuberikan mut'ah, dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menginginkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antaramu, pahala yang besar."

"Apakah engkau mengira aku masih akan meminta saran kepada kedua orang tuaku? Aku memilih Allah dan Rasul-Nya. Aku juga memohon, janganlah engkau memberitahukan pilihanku ini kepada salah seorang di antara istrimu," jawab Aisyah.

"Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang bengis. Ia mengutusku sebagai pendidik dan memberi kemudahan," sabda Nabi saw (dikutip dari sumber yang sama).

Kalau boleh kita konklusi uraian singkat di atas, maka rumus suami saleh ialah paling tidak ia harus "coleh" -- macho dan saleh. Yakni jasmaninya prima, karena senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan diri. Dengan begitu ia akan selalu giat beribadah, bekerja mencari nafkah, dan prima juga dalam melayani isteri. Di samping tentunya tak kalah urgen, ia harus menjadi orang yang sabar dan lembut terhadap keluarga, serta kepada siapapun tentunya.

Nah, tipikal suami seperti di ataslah yang kini sedang atau memang sulit dicari. Ayo, siapa yang bisa memenuhi kriteria suami coleh?

MEREMAS MESRA TANGAN ISTRI MENGGUGURKAN DOSA-DOSA

Rumah tangga. Pernahkah Anda sedikit merenung tentang kata itu? Misalnya, kenapa keluarga disebut pula dengan rumah tangga dalam bahasa Indonesia. Secara kasar, mari sama-sama kita berandai-andai mengurai.

Rumah tangga, gambaran sebuah rumah yang untuk mencapainya setiap pelaku harus melewati sebuah tangga. Terkadang tangganya licin dan curam, tapi tak jarang banyak tangga yang landai dan menyenangkan. Tapi pada dasarnya, setiap anak tangga akan menguras tenaga setiap pelakunya untuk menuju rumah yang diidamkan.

Berat memang menapaki satu demi satu anak tangga menuju rumah bahagia. Bosan kadang menyelinap dan menggoda, apalagi bagi pasangan yang sudah bersama-sama lebih dari lima tahun lamanya. Cekcok sesekali mewarnai perjalanannya. Bahkan tak jarang ada yang gagal melanjutkan putaran roda menapaki anak tangga.

Rasulullah pernah bersabda, "Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah) Setelah beberapa lama Anda berkeluarga sudah seberapa jauh kita lupa tentang esensi hadits di atas?

Esensi hadits di atas adalah perbuatan baik, manis, lembut yang membuat anggota keluarga kita menjadi lebih bahagia dari biasanya. Lama waktu yang kita tempuh dalam rumah tangga membuat kita terkadang lupa bahwa kita juga harus berbuat baik. Rutinitas dan aktivitas yang itu-itu membuat kita lupa kapan terakhir kali Anda membuat istri atau suami tertawa lepas bahagia.

Terkadang kita perlu melakukan hal-hal kecil yang membuat pasangan kita berbunga hatinya. Seperti memuji dan mengatakan betapa cantik istri Anda hari ini dengan gaun warna biru, atau betapa gagah suami Anda dengan dasi warna ungu. Bukankah Rasulullah juga melakukan hal yang sama dengan menyebut istrinya, Aisyah dengan panggilan, "Ya humairoh." "Duhai si Pipi Merah."

Satu hal yang tak kalah penting dari puji-pujian ringan adalah menjaga keluarga dari kebathilan. Satu kebathilan yang dilakukan istri atau suami, akan mempengaruhi perjalanan sebuah rumah tangga. Menghiasi rumah tangga kita dengan kebaikan adalah kewajiban, seperti wajibnya kita menjaga keutuhannya.

Menghiasi rumah tangga dengan kebaikan memang perlu, sama perlunya dengan berhias diri menyenangkan hati suami atau istri. Terkadang, kita tidak sadar, kerapian suami, kecantikan istri justru bukan untuk pasangannya sendiri. Suami berangkat berangkat ke tempat kerja dengan baju rapi dan bau wangi, tapi saat di rumah ia hanya mengenakan pakaian kebesaran, sarung butut dan kaos buluk. Mulai sekarang, gantilah penampilan Anda. Tak ada salahnya tubuh Anda beraroma wangi dan pakaian Anda rapi, apalagi untuk suami atau istri.

Dan yang tak boleh Anda lupa adalah bersikap dan berlaku mesra. Jarak waktu yang panjang biasanya membuat kita, "pengantin lama" kehilangan kemesraannya. Ingat, kemesraan bukan milik pengantin baru saja. Apalagi Rasulullah pernah bersabda, "Suami-istri yang saling meremaskan tangan, maka berguguran dosa-dosanya." Subhanallah, sungguh indah luar biasa. Bagaimana, jika mulai hari ini Anda dan pasangan Anda menjadi "pengantin baru" kembali? Setuju...


BERCANDA MALAM HARI DENGAN ISTRI


Eit, jangan buru-buru menafsirkan apapun dengan judul tulisan ini. Sabar dulu, mari kita cari tahu bagaimana Rasulullah mengajarkan cara bercanda di malam hari dengan istri tercinta. "Allah merahmati suami yang bangun di malam hari dan menunaikan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, dan jika ia enggan maka dipercikkan air ke mukanya..." Berikut hadist selengkapnya:

"Allah merahmati suami yang bangun di malam hari dan menunaikan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, dan jika ia enggan maka dipercikkan air ke mukanya. Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun di malam hari untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan maka dipercikkan air ke wajahnya." (HR, Abu Dawud, Ibnu Hibban, An Nasa'i dan Ibnu Majah)

Begitulah ilustrasi bagaimana Rasulullah bercanda di malam hari dengan istrinya. Mesra, syahdu, begitu yang terbayang atas kehidupan keluarga Rasulullah.

Bagaimana tidak, bayangkan saja. Seorang suami bangun di tengah malam melawan kantuk dan rasa dingin lalu mendirikan shalat. Dibangunkan pula istrinya tersayang untuk shalat berjamaah. Tapi sang istri seolah malas-malasan untuk menyibakkan selimut dan segera bangkit. Kemudian sang suami, melangkah ke kamar mandi, mengambil sedikit air dan mencipratkan ke wajah sang istri. Ahh, inilah cara bercanda di malam hari yang tak hanya menyenangkan tapi juga mengundang Allah untuk turun ke langit bumi dan merahmati suami-istri shaleh itu.

Cara bercanda seperti ini, mungkin pada zaman Rasulullah dulu adalah sebuah tradisi. Tak hanya dilakukan oleh Rasulullah, tapi juga oleh para sahabat beliau.

Mereka, suami istri, saling berusaha memperbaiki agama masing-masing. Saling mengingatkan, saling menganjurkan kebaikan dan saling menjaga dari kemungkaran. Hemm, betapa nikmat keluarga seperti itu.

Berdua, berebut ridha Allah, berdua pula meraih cinta Allah. Seorang ulama bernama Majid Sulaiman Daudin pernah berbicara tentang hal ini. "Jika suami istri bekerjasama, saling membantu dan taat kepada Allah maka Allah akan mencintai mereka. Barang siapa dicintai Allah dia akan memperoleh semua yang diharapkan. Dia akan hidup bahagia dan penuh barakah, dia akan melintasi gerbang dunia menuju pintu akhirat. Dimana terdapat surga yang penuh dengan kenikmatan dan kekal."

Subhanallah, betapa indahnya. Berdua bergandeng tangan, menuju nikmat di atas nikmat bernama surga seperti yang sudah dijanjikan. "Masuklah kamu berserta istrimu ke dalam surga untuk digembirakan." (QS. Az Zukhruf: 70)

Sudahkah kita melakukan seperti yang diajarkan hadits di atas? Jika belum, kenapa tidak malam ini kita mulai bercanda dengan istri.


 SEGARKAN KEMBALI CINTA ANDA

Pernikahan, seperti juga hal yang lainnya. Mengalami masa-masa indah, tapi juga mengalami saat-saat membosankan. Tak usah merasa bersalah, jika saat ini cinta Anda pada tali pernikahan sedang mengalami masa surut. Yang perlu Anda lakukan adalah, bagaimana caranya mendatangkan gelombang pasang yang bergelora.

 How to say I love you

Naik turun rasa cinta adalah masalah biasa. Jika Anda dan pasangan sedang berada pada titik rendah cobalah buat kejutan-kejutan yang mesra. Besok cari cara yang menurut Anda paling Indah untuk mengatakan "Aku Cinta Kamu" pada pasangan Anda. Bisa dengan lilin merah jambu seusai suami pulang kerja. Bisa dengan dinner candle light di rumah makan kecil tapi romantis. Tapi bisa juga dengan menatap matanya lama-lama sepenuh jiwa, tak harus berkata-kata. Just do it, dengan cara yang tak biasa.

 Mengalah yang tidak kalah

Mengalah kadang menjadi hal berat yang terpaksa kita lakukan. Tapi itu tak masalah jika demi kesegaran cinta, sesekali, mengalahlah dan manjakan pasangan sehari penuh. Jika Anda suami, ambil cuti beberapa hari dari tempat kerja. Masaklah hari itu, dan service istri Anda layaknya ratu yang sedang turun ke daerah. Jika Anda istri, sesekali lepaslah kaos kaki suami dengan cinta. Rebus air hangat, rendam dan pijat kaki suami Anda. Lakukan semua dengan cinta, insya Allah gelombang pasang akan segera datang.

 Kembali ke masa kanak

Dalam setiap diri manusia ada sifat anak-anak yang selalu mereka bawa. Anda boleh melepaskan gairah kanak-kanak saat berdua bersama pasangan tentunya. Bercanda guraulah seperti saat Anda pengantin baru. Jangan malu, si dia juga mau kok. Tapi yang wajar-wajar lho.

 Bersama lewati duka

Konflik dan luka sering kali singgah dalam hidup rumah tangga. Ada kalanya luka itu cepat kering dan sembuh, tapi tak jarang pula luka itu tersimpan dan menjadi bom waktu. Jangan pernah pendam permasalahan Anda pada pasangan, bahkan dalam hubungan seksual. Bicarakan dengan terbuka dengan sikon yang tepat. Diskusikan semua masalah untuk mencari jalan keluarnya. Bisikkan pada telingan pasangan Anda, bahwa seribu luka akan kita hadapi dan kita kalahkan asal dengan kebersamaan.


KETIKA SUAMI PULANG DARI PERJALANAN JAUH



Dalam sebuah hadits riwayat Al-Hakim, Rasulullah saw bersabda: "Engkau tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan semua orang dengan hartamu. Karenanya, cukupilah mereka dengan wajahmu yang gembira dan watak yang baik." Kegembiraan yang tercermin pada kecerahan wajah, juga sangat berpengaruh dalam hubungan suami istri. Seorang suami yang mengalami kepenatan selama berada di luar rumah, terutama kepenatan yang bersifat psikis, akan memperoleh gairah dan semangat baru ketika ia bertemu istrinya yang memancarkan kegembiraan di wajahnya. Berikut tips menyambut suami ketika pulang sesuai tuntunan Rasulullah saw:

1.      Hendaklah para suami menyampaikan berita bila ia ingin pulang pada jam tertentu. Ini bertujuan agar sang istri bisa mengatur waktu untuk melakukan penyambutan dengan baik. Rasulullah mengajarkan para suami untuk tidak pulang mendadak. "Apabila kamu datang dari bepergian, janganlah kembali pada istrimu pada malam hari." (Muttafaqun alaih)

2.      Berusahalah untuk menyambutnya dengan senyum dan pandangan yang menampakkan kerinduan. Imam Ghazali menulis, "Salah satu manfaat perkawinan adalah kenikmatan mempunyai pendamping dan memandangnya dengan berbagai kegembiraan bersamaanya, sehingga membuat hati disegarkan kembali dan diperkuat untuk mengabdi pada Allah."

3.      Sambut suami dengan menanyakan apa yang dialaminya hari ini. Berat atau ringan, susah atau senang selama suami berada jauh dari rumah. Dengan seperti itu insya Allah, suami merasa mendapat perhatian dan dibutuhkan kehadirannya di rumah. Jangan sekali-kali menampak muka masam apalagi bertanya dengan nada intrograsi pada suami.

4.      Berikan kabar paling bagus yang terjadi di rumah selama suami berada di tempat yang jauh. Hindari komplain atau keluhan selama ditinggal sampai keadaan menjadi cair dan rileks, kemudian pelan-pelan sampaikan permasalahan yang terjadi selama suami tercinta pergi.

5.      Sesekali lakukan surprise pelayanan pada suami, lepaskan kaos kaki dan buatkan air hangat untuk membersihkan tubuhnya. Tambahan pijatan akan semakin menambah rasa nyaman yang insya Allah menumbuhkan rasa kasih sayang.

6.     Terakhir, untuk para suami pandai-pandailah menahan diri. Perjalanan jauh memang membuat lelah, tapi bukan berarti menuntut perhatian yang berlebihan. Jangan terburu naik pitam jika service sang istri tidak seperti yang Anda harapkan. Ingat di rumah sendirian bukan hal yang mudah dan ringan, mengurus anak, rumah tangga dengan segala problematikanya selama Anda tinggal sekali lagi bukan hal yang ringan.


CINTA SEGI TIGA, KENAPA TIDAK?

Tahukah Anda bahwa pernikahan yang sukses dan berhasil selalu terdiri atas cinta segi tiga? Jika belum, Anda perlu membaca artikel ini.

Jangan berpikir ngeres dulu tentang kata cinta segi tiga. Pernikahan yang berhasil dan paripurna, percaya atau tidak, selalu terjadi karena cinta segi tiga.

Cinta segi tiga di sini bukan berarti Anda harus menyimpan pria idaman lain atau wanita idaman lain. Pernikahan yang penuh berkah dan melenggang ke jalan yang penuh bahagia memang memerlukan cinta segi tiga. Seorang suami, seorang istri dan Allah. Itulah cinta segi tiga yang penuh berkah.

Simak saja hadits Rasulullah di bawah ini, "Akan lebih sempurna ketakwaan seorang mukmin, jika ia mempunyai istri yang shalihah. Jika diperintah suami ia patuh, jika dipandang suami ia menyenangkan, jika suaminya pergi ia menjaga diri dan harta sang suami." (HR. Bukhari & Muslim)

Mari sedikit kita urai hadits di atas. Akan lebih sempurna ketakwaan seorang mukmin, demikian Rasulullah bersabda, dalam hal ini adalah sang suami. Dalam hadits ini, seolah-olah Rasulullah ingin menyampaikan pesan, peran seorang istri sangatlah besar dalam meningkatkan ketakwaannya pada Allah.

Ya, ibarat sebuah garis segi tiga. Titik bawah akan lebih kokoh, lebih lurus menarik garisnya ketika titik bawah yang di sisi lain ikut membantunya. Titik-titik di sudut-sudut bawah dalam segitiga harus sama kokohnya menunjang hubungan dengan titik sudut di atasnya.

Untuk meningkatkan ketakwaan seorang suami, dibutuhkan keshalihan seorang istri. Dan untuk menjadi seorang istri yang shalihah dibutuhkan ketakwaan yang tinggi. Dan untuk itu, tak ada jalan lain suami pun harus menjadi seorang yang shalih. Dan jika seorang suami shalih hidup bersama istri yang shalihah, itulah surga dunia.

Bersatunya istri yang shalihah dengan suami yang shalih akan mengundang Allah turun tangan dalam keluarga mereka. Allah menjadi sepasang kaki dalam keluarga itu mencapai keluarga sakinah. Allah menjadi sepasang tangan dalam keluarga itu untuk saling menjaga. Allah menjadi sepasang mata dalam keluarga itu untuk saling mengawasi. Allah menjadi sepasang telinga dalam keluarga itu untuk saling memperhatikan. Dan akhirnya, Allah menjadi dzat yang menyambut sepasang suami istri itu dengan tatapan yang lebih nikmat dari surga. Lebih nikmat dari surga.

Cinta segi tiga itulah kuncinya. Seorang suami, seorang istri dan Allah. Karena pernikahan bahagia atas dasar cinta segi tiga, kenapa tidak mulai sekarang kita melakukannya?


JANGAN BIARKAN HAL-HAL KECIL MENGUASAI PERASAAN ANDA


Diriwayatkan oleh Sa'id bin Janadah, ia berkata, "Tatkala Rasulullah saw serta para sahabat kembali dari peperangan Hunain, kami singgah di satu padang tandus." Lalu Nabi saw berkata, "Kumpulkanlah oleh kalian apa saja. Barangsiapa di antara kalian mendapatkan sesuatu, bawalah kemari. Barangsiapa menemukan tulang atau gigi, bawalah kemari."

Said melanjutkan, "Dalam watu sekejap kami telah berhasil mengumpulkan setumpukan besar benda-benda. Lantas Nabi saw bersabda, "Tidaklah kalian lihat benda-benda ini? Begitu juga halnya dosa-dosa yang berkumpul pada salah seorang kalian. Seperti apa yang telah kalian kumpulkan ini. Karena itu, hendaklah orang takut kepada Allah, janganlah ia berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, karena semuanya akan dihitung!"

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas? Antara lain, setiap kita harus mempertimbangkan lebih dulu baik buruk segala perbuatan yang akan dilakukan. Boleh jadi, karena kurang menaruh perhatian pada perbuatan yang dipandang kecil, namun adakalanya hal kecil itu dapat mengakibatkan keburukan yang besar.

Sebagaimana timbunan hal-hal kecil itu dapat mengancam kehidupan manusia, begitu juga membesar-besarkan yang kecil, juga sangat merugikan.

Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil bagi orang mukmin yang selalu berupaya menghiasi amalnya dengan kesempurnaan sesuai kemampuan. Dia berfirman,

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami menghapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkankamu ke tempat yang mulia (surga)." (QS. An-Nisa : 31)

Alangkah baiknya bila kita menerapkan kaidah penuh toleransi ini dalam pergaulan kita antar sesama.

Jika ada seorang suami merasa dongkol karena kekasaran istrinya, hendklah diingatnya bahwa isterinya itu pun memiliki sikap yang benar. Jika seorang suami sedih melihat salah satu tingkah isterinya, hendaklah dilihatnya dari sisi lain bahwa isterinya itu juga menyenangkannya.

Dalam kaitan ini Rasululllah saw bersabda, "Janganlah seorang suami mu'min membenci isterinya yang mu'minah, jika ia tidak menyukai salah satu sifat isterinya itu, tentu ada satu sifat lainnya yang akan menyenangkannya."

Benarlah apa yang pernah ditegaskan oleh Muhammad al-Ghazali, "Jangan Anda biarkan masalah-masalah kecil menguasai perasaan Anda". Seperti juga penelitian yang dilakukan oleh Joseph Sabeth, seorang hakim di Chikago yang pernah menjadi penasehat perkawinan dan berhasil menolong 40.000 pasangan yang tidak berbahagia. Ia mengatakan, "Sebagian besar ketidakbahagiaan dalam perkawinan disebabkan oleh hal-hal sepele!

Memang begitu, kalau kita perhatikan salah tanggap terhadap beberapa perkara, perasaan sensitif yang mudah tersinggung, terpancing emosi menghadapi suatu penghinaan, dan perasaan semacamnya dapat menjadikan hal kecil menjadi besar. Dampaknya bisa sampai bentrok fisik hingga pertumpahan darah sampai pada kematian!

Apa jalan keluarnya?

Bersihkan lensa pikiran Anda sehingga Anda dapat menangkap gambar yang besar dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Kemudian tentukan gambar ini dalam zona pandangan yang lapang. Pandangan yang meletakkan kelebihan dan kekurangan pada kedudukan yang sama. Jangan melupakan kebaikan jika dilanda keburukan. Dengan cara inilah, ketidakbahagiaan yang diderita akan sirna.


AGAR AYAH LEBIH DEKAT DENGAN ANAK


 Anak, tentu saja merupakan tanggungjawab ayah maupun ibu. Namun sayang banyak ayah yang merasa bahwa dirinya tidak terlalu dibutuhkan oleh seorang anak. Kemudian mereka masa bodoh enggan segala urusan yang menyangkut perawatan dan pendidikan terhadap anak. Sedangkan bukti yang sebenarnya mengatakan bahwa seorang anak yang tumbuh bersama dengan seorang ayah yang penuh perhatian akan lebih cepat perkembangannya jika dibandingkan dengan seorang anak yang tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang seorang ayah yang bertanggung jawab kepadanya. Lalu bagaimana cara kita menyeimbangkan peran seorang ayah, agar nantinya tetap sukses mencari nafkah dan tak lupa untuk lebih memberikan perhatian kepada anak-anaknya ?.

Perhatian Dimasa Kehamilan Dan Kelahiran

Sesungguhnya kehamilan bukan semata milik wanita. Hanya karena pria diciptakan tanpa rahim, terpaksa semua janin menumpang hidup didalam perut wanita. Tetapi harus dipahami bahwa janin tersebut adalah milik bersama. Ada banyak cara oleh ayah untuk memberikan perhatian dan kasih sayang kepada sang janin tanpa harus ikut membawanya didalam perut.

Misalnya dengan cara menyediakan berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan utk perkembangan dalam rahim. Pemenuhan kebutuhan terhadap gizi yang baik, pengontrolan terhadap kesehatan fisik juga penyediaan berbagai macam barang2 kebutuhan bayi kelak, termasuk juga hak-hak janin dari sang ayah. Tidak kalah pentingnya adalah senantiasa memperhatikan kondisi fisik dan psikhis istri (ibu). Tentu saja sang ayah mempunyai peranan yang sangat besar dalam hal ini, Sikap dan perilaku sang ayah selama masa kehamilan istri akan sangat mempengaruhi kindisi psikhis sang ibu. Ayah yang bijaksana akan bisa memberikan perhatian yang lebih istimewa. Semua dilakukan demi memberikan perasaan tenang dihati ibu, agar perkembangan janin tidak terganggu. Seorang ayah harus mampu memperlihatkan sikap turut memiliki sang janin. Begitupula disaat-saat menjelang kelahiran sang bayi, kehadiran seorang ayah akan sangat membantu ketenangan hati ibu. Bagi ayah sendiri, pengalaman menemani sang istri melahirkan akan dapat memberikan pengertian yang lebih sempurna tentang betapa beratnya tugas untuk hamil dan melahirkan. Lebih lanjut pengalaman ini akan membentuk ikatan batin yang lebih erat antara ayah dengan bayi yang dilahirkan.

Porsi Bermain Dengan Istri Dan Anak

Ada pembagian tugas yang jelas antara ayah dan ibu dalam membimbing perkembangan anak. Jika anak lebih memerlukan ibu, itu wajar karena bersama ibu, anak akan merasa lebih aman dan terlindung. Perasaan ini perlu ditumbuh kembangkan sepanjang waktu, sehingga ibu perlu berada disisi bayi sepanjang waktu itu pula. Bayi membutuhkan sentuhan tangan ibu untuk mengurusi berbagai keperluan hidupnya. Juga untuk berbicara lembut kepadanya. Semua ini membuat bayi merasa terlindungi dan aman berada didekat sang ibu. Sementara sang ayah berperan sebagai kawan bermain bagi bayi hingga masa kanak-kanak nanti. Merekan memerlukan kehadiran sang ayah untuk dapat menimbulkan perasaan senang dan gembira, untuk menumbuhkan instink bermain bagi mereka. Seorang sahabat pernah melihat Umar bin Khothab yang terkenal sangat keras dan tegas sewaktu menjabat khalifah, sempat bermain kuda-kudaan bersama putranya yang masih kanak-kanak. Sahabat sangat heran melihat sang Amirul Mu'minin yang biasanya garang menjadi sangat lembut dan akrab, bisa merangkak-rangkak dilantai dengan ditunggangi oleh putranya yang tertawa riang gembira diatas punggungnya. Dan ketika ditanya, Umar menjawab bahwa ayah yang bijaksana adalah mereka yang bisa memahami dunia anak-anaknya sehingga tak segan untuk bertingak seperti anak-anak pula di depan mereka.

Perbedaan Kuantitas

Dari segi waktu, seorang ibu perlu lebih lama berada disisi-sisi anak-anak. Ini memang karena sudah menjadi tugas ibu untuk mengurusi kebutuhan anak-anak, serta dapat menciptakan rasa aman dan terlindungi bagi mereka. Tetapi bersama ayah, sedikit waktu saja sudah cukup bagi anak-anak, asalkan ayah bisa dengan memerankan tugasnya menjadi seorang teman dan kawan bermain yang baik bagi anak-anaknya. Toh tidak selamanya seorang anak ingin bermain. Sedikit waktu bermain akan tetapi bila dapat dimanfaatkan secara effectif pastilah sudah cukup untuk dapat melekatkan kesan dihati mereka, sebagaimana keakraban yang telah terjadi antara anak-anak dengan ibunya.

Perkembangan Motorik

Fisik ayah yang kuat memungkinkan ayah untuk mampu memanggul maupun menggendong anak-anak diatas pundaknya. Ayah mampu pula berlari kencang, melompat-lompat, jungkir balik bahkan bergulung-gulung sekalipun. Dalam rangkaian permainan, gerakan-gerakan motorik seperti itu amat perlu bagi anak untik dapat mengembangkan kemampuan fisiknya. Apalagi bagi anak laki-laki. Cara yang terbaik untuk memperolehnya adalah dengan bermain bersama sang ayah. Jika dalam segi perkembangan emosi, perasaan dan kemampuan bahasa lebih banyak mengarah kepada tanggung jawab seorang ibu, maka ditinjau dari sisi perkembangan motorik seorang anak akan cenderung lebih bergantung kepada sang ayah.

Figur Laki-laki dan Perempuan

Adanya ayah dengan sendirinya akan dapat memberikan pengertian kepada anak bahwa didunianya telah terdiri/ ada dua figur yaitu ayah dan ibu. Seorang ayah mewakili dunia laki-laki yang nampak serba kuat, dan begitu pula sebaliknya dengan seorang ibu. Hal ini penting agar merekapun bisa memposisikan diri dengan tepat dan pada saatnya yang dibutuhkan oleh keluarga dan masyarakat.


Enyahkan Budaya EGP (Emang Gue Pikirin)

 Kita barangkali pernah mendengar berita, sebuah keluarga mengalami perampokan tapi tetangga sebelahnya tidak tau atau mungkin tidak mau tau. Atau seorang anggota keluarga sakit berkepanjangan, namun karena tidak memiliki dana untuk berobat, akhirnya mati. Atau mungkin terjadi, seluruh anggota sebuah keluarga sedang berjuang memadamkan api yang nyaris memusnahkan rumahnya, tapi tak seorang pun tetangganya datang membantu.

Dalam kehidupan masyarakat metropolitan, boleh jadi gambaran di atas kian dianggap normal. Kompetisi mengejar prestasi duniawi yang cenderung tidak lagi berlangsung fair, di samping jargon dan propaganda konsumerisme yang amat bombastis, memang kian menyeret masyarakat pada kehidupan nafsi-nafsi. Istilah orang sekarang emang gue pikirin (EGP)?

Kehidupan nafsi-nafsi atau budaya EGP memang tidak berjalan parsial. Ia pada hakikatnya merupakan akumulasi sifat egoisme individu yang berlangsung lama hingga berkembang menjadi sifat masyarakat. Dengan kata lain, budaya EGP itu muncul sebagai implikasi dari siklus dendam egoisme kelompok-kelompok masyarakat dalam komunitas metropolitan.
Kenapa bisa muncul budaya EGP? Jawabannya sederhana. Ketika seorang merasa tidak diperhatikan oleh tetangganya, maka ia cenderung akan melakukan tindakan serupa pada orang lain. Kongkritnya demikian, bila seseorang misalnya, tengah menderita sakit, tapi tak seorangpun tetangganya datang berempati dengan penderitaannya, sangat besar kemungkinan ia akan bersikap dan bertindak sama pada yang lainnya.

Masalah keakraban bertetangga, kedengarannya mungkin sepele. Tapi sesungguhnya ia termasuk persoalan pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, tidaklah terjadi krisis dalam masyarakat kecuali ia berasal dari krisis bertetangga.

Masyarakat yang tidak memperhatikan adab, hak dan kewajiban bertetangga, cenderung akan menjadi masyarakat acuh, tidak peka, serta cenderung mudah dirusak budayanya.

Sebagai contoh misalnya, jika seseorang tidak lagi mau menegur perilaku menyimpang yang dilakukan tetangganya, maka cepat atau lambat penyimpangan itu akan menjadi kebiasaan yang ditolerir masyarakat di situ. Seorang pria lajang yang membawa wanita bukan mahromnya menginap di rumahnya, sementara tetangganya acuh. Bukan tidak mungkin implikasi dari acuhnya tetangga dengan kemungkaran yang terjadi, cepat atau lambat limbah kemungkaran itu akan mengenai seluruh keluarga yang ada di wilayah itu.

Begitu pun, berita-berita yang membuat bulu roma kita bergidik, semisal kasus perkosaan yang melibatkan anak-anak di bawah umur (baik pelaku maupun korban). Mungkin tidak sedikit kita mendengar atau membaca berita-berita demikian. Tapi tahukah kita? Bahwa perilaku terkutuk itu tidak mungkin terjadi, kecuali lantaran lemah atau bahkan telah sirnanya rasa kasih sayang, saling menolong, dan saling menjaga kehormatan di antara sesama tetangga.

Sebuah komunitas yang kuat, sejahtera, aman, dan sejuk, pasti karena pola kehidupan bertetangga masyarakat tersebut baik. Satu sama lain saling memberi, saling menolong, saling menjaga kehormatan, saling menguatkan. Dan mereka secara kolektif bertanggungjawab dalam membentengi masyarakatnya dari pengaruh buruk budaya, moral, maupun ancaman kriminalitas.

Tidak mengherankan kenapa Islam menempatkan pasal penghormatan dan pemuliaan kepada tetangga/tamu, menjadi cabang dari pokok-pokok keimanan. Sabda Rasulullah saw; "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya." (HR Muslim).

Memuliakan tetangga, betapa ungkapan ini memiliki implikasi amat dalam. Ia menuntut setiap kita yang mengaku beriman kepada Allah 'Azza wa Jalla, harus berempati dan peduli dengan lingkungan. Pesan itu juga berarti menuntut kita harus rela berkorban demi kehormatan diri dan orang lain.

Memuliakan berarti, tidak membiarkan tetangga kita dalam keadaan lapar, sakit, maupun sekarat sendirian. Memuliakan berarti, tidak membiarkan tetangga kita terancam harta, jiwa, dan kehormatannya. Memuliakan berarti tidak membiarkan anak-anak tetangga bertingkah laku tidak senonoh, sementara kita mengetahui hal itu. Atau membiarkan anak-anak tetangga terjerumus dalam lembah kesesatan. Memuliakan juga berarti, secara bersama kita wajib menggalang dana untuk menyelamatkan anak-anak tetangga dari putus sekolah atau tidak mendapatkan pendidikan yang layak.

Itu sebabnya, kenapa Rasulullah saw memerintahkan putri beliau Fathimah Az-Zahra untuk menambah kuah pada gulai yang sedang dimasak sang putri tercinta. Penyebabnya sepele. Dalam radius beberapa meter di mana Rasulullah saw berada, aroma gulai yang dimasak putrinya menyengat hidung kekasih Allah itu. Beliau berkesimpulan, jika dari jarak dimana ia berdiri, aroma gulai putrinya sudah tercium, pasti sekian rumah tetangga berada dalam radius aroma gulai Fathimah. Tak ayal Rasulullah saw segera menginstruksikan putrinya; "Fathimah tambahkan air pada gulai itu, lalu bagikan kepada tetangga-tetangga yang pasti sudah mencium aroma gulaimu!"

Iman memang bukan suatu misteri yang tersembunyi di balik dada, yang resonansinya tidak bisa dirasakan di alam nyata. Iman bukan sesuatu yang abstrak, tetapi suatu wujud kongkrit yang keberadaannya selalu membawa kedamaian, kesejukan, serta rasa aman dan nyaman bagi sekelilingnya.

Jika kita mengaku beriman, masihkah kita punya alasan untuk tetap berdiam diri melihat keadaan tetangga kita yang sedang kritis? Wallahu a'lam bishshowaab. (sultoni)




Berempatilah Pada Anak


"Jangan sekali-kali memaksa anak harus mengikuti kemauan kita. Belajarlah berempati menyelami alam pikiran anak-anak dan kemauannya."

Itulah nasihat bijak yang selalu diingatkan oleh para pendidik sejati.

Alasannya sederhana, karena anak memiliki dunia dan "parameter moral" sendiri yang tentunya sangat berbeda dengan dunia dan parameter moral orang dewasa. Dan memang untuk keduanya tak boleh dan tak bisa digunakan parameter yang sama.

Pada hakikatnya anak tak pernah sengaja melakukan kesalahan. Jadi seyogyanya, anak tak boleh dianggap salah oleh orang tua. Karena memang, apa yang dianggap kesalahan oleh orang dewasa, tidak serta merta bisa diterapkan pada pada anak. Anak usia 2-4 tahun yang naik ke atas meja makan misalnya, jangan dulu dianggap kesalahan. Bagi anak tingkah laku ini barangkali justru merupakan ekspresi kesenangannya yang bersifat spontan dan wajar.

Tentu saja anak akan dianggap melakukan kesalahan berat bila tindakan di atas, ditakar dengan parameter moral orang dewasa. Dan sekali anak dimarahi dan diperlakukan secara kasar, itu akan menjadi preseden buruk bagi pandangan jiwa anak dalam memahami lingkungan sosialnya.

Karena itu sekali lagi, belajarlah berempati dengan dunia dan alam pikiran anak-anak kita. Ada beberapa kiat dalam menerapkan empati pada anak.

Terjemahkan empati dengan teladan

Ketika anda menjumpai atau mengetahui persoalan orang lain, jangan tunda memperlihatkan rasa empati anda, apakah itu berupa perasaan suka maupun duka. Terutama ketika kejadian ini berlangsung di depan anak-anak. Awalilah rasa empati dengan beberapa pertanyaan misalnya, misalnya; "Ya Allah, gimana keadaannya? Sakit ya?" - "Mari nak, ibu bantu angkat".

Hindari oleh kita tingkah laku negatif yang pernah dilakukan anak

Perlakuan ini untuk mendidik anak, bahwa sesuatu perbuatan yang keliru tidak boleh diulangi lagi. Misalnya ketika seorang anak meletakkan sepatu bukan pada tempatnya. Atau ketika seorang anak meninggalkan pakaian kotor dan handuk basah di kamar tidur.

Ajari anak menyadari dampak tingkah lakunya yang keliru pada orang lain

Jangan biarkan anak ketika dia melakukan tingkah laku negatif, misalnya mencubit temannya. Ajarkan padanya, bagaimana sakitnya jika diri kita dicubit orang lain. Ini artinya anak diberikan hukuman yang mendidik. Tapi tidak perlu dengan kasar, sebaliknya pengajaran itu dilaksanakan dengan penuh kelembutan. Misalnya dengan kata-kata "Ayo nak, tidak boleh mencubit. Biar sini mama cubit rasanya sakit enggak?".

Manfaatkan waktu menonton tivi dan kegiatan sosial lainnya dengan anak untuk melatih empati

Ketika ada adegan film yang mempertunjukkan perbuatan negatif, katakanlah bahwa hal itu tidak baik dan menyakitkan hati. Misalnya, kata-kata hinaan atau umpatan yang kasar. Bawalah anak sekali-kali untuk mengenal kehidupan sosial masyarakat yang secara ekonomi tidak menguntungkan. Lalu latih mereka untuk memberikan santunan langsung kepada anak-anak sebayanya.

Berikan penghargaan sewajarnya pada prestasi anak

Anak pasti butuh perhatian. Perhatian dalam bentuk apapun akan memotivasi anak untuk meningkatkan prestasinya dalam hal kebaikan. Salah satu bentuk perhatian yang baik adalah, memberi hadiah yang wajar pada anak-anak yang memiliki prestasi positif. Misalnya memberi hadiah kue atau mainan misalnya, bagi anak yang sholat subuhnya tidak pernah telat berturut-turut dalam seminggu. Hadiah bisa berupa dengan mengajaknya jalan-jalan dan makan di suatu tempat. (sulthoni)


Subhanallah... Anak itu ....

Stasiun Pasar Minggu, 07.10 WIB. Seperti biasa kereta Jakarta-Bogor yang saya tumpangi berhenti di peron jalur dua. Segera setelah itu hiruk pikuk mewarnai suasana, ada yang naik ada yang turun.

Tiba-tiba, seisi gerbong dibuat takjub dengan pemandangan luar biasa yang kami saksikan pagi itu. Bahkan Bapak yang tadi menawarkan bangku disampingnya pada saya, sampai harus memutar kepalanya demi melihat peristiwa itu lebih jelas. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang ada di luar. Ya, kami semua terpukau dengan munculnya sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang anak perempuan berjalan saling berbimbingan tangan menyusuri pinggir peron. Mereka semua buta, kecuali anak perempuannya yang masih kecil (kira-kira 7 th.)

Sang ayah berjalan memimpin di depan dengan tongkatnya. Ia berkopiah hitam, berkoko putih serta menyandang tas yang ia selempangkan dipundaknya. Si Ibu bergamis lebar warna ungu lengkap dengan jilbab. Sedangkan si anak, berpakaian batik seragam TPA dengan tas ransel di punggung. Wajahnya bersih dan sangat ceria di balik jilbab putih mungilnya. Kedua tangannya memegang erat-erat tangan Ayah dan Ibunya, dan kelihatan sekali ia berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah kedua orangtuanya. Padahal kalau mau, bisa saja ia bebas berjalan sekehendak kakinya. Karena ia satu-satunya yang dapat melihat. Namun sikapnya nyaris mirip seperti orang buta juga jika kita tidak memperhatikan wajahnya. Tapi, anak itu rela berjalan dibawah bimbingan Ayahnya yang terbata-bata menyusuri peron. Orang-orang ada geleng-geleng kepala, ada yang berdecak kagum entah pada Ayahnya, anak atau Ibunya, ada juga yang hanya melihat dalam diam. Tak ada yang berkata-kata atau kasak-kusuk karena apa yang kami lihat mugkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sampai kereta berjalan, pandangan mata kami semua seperti tak ingin lepas dari mereka. Entah apa yang kami rasakan. Mungkin seperti setetes embun pagi yang menyentuh kulit. Tapi ini bukan embun sebenarnya, tetapi kesejukkan terasa sampai ke dalam hati. Banyak yang dapat saya peroleh dari pemandangan itu. Yang pertama tentu Kebesaran Allah. Siapa yang sanggup menyatukan dua manusia buta menjadi satu keluarga kalau bukan Ia. Dan si anak kecil yang lucu dan menyenangkan itu , tapi tak dapat dilihat oleh orang tuanya, adalah Rahmat bagi mereka. Keikhlasan sang Ayah dan Ibu tentu akan melahirkan anak yang juga memiliki keikhlasan yang sama. Siapa sih yang ingin dilahirkan dari sepasang orang tua yang buta. Yang jangankan mengajarkan tentang ini dan itu dalam kehidupan baru kita, karena melihat saja mereka tak bisa. Terbanyangkah dibenak kita, masa kecil yang penuh dengan rasa ingin tahu dan orang yang paling dekat dengan kita tak bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita? "Ayah itu hewan apa?" atau "Ibu kalau ini apa?" atau .... Terus terang saya kagum dengan anak itu (mugkin karena saya juga anak). Fitrahnya yang masih bersih tercermin dari perilakunya . Saya juga kagum dengan sang Ayah, karena ia dengan segala keterbatasannya tetap menjadi pemimpin.

Dan saya juga kagum dengan Ibu, karena ia berhasil membesarkan anak menjadi seperti itu juga dalam keterbatasannya. Saya pikir, hati mereka terbuat dari 'bahan baku' yang tidak sama dengan hati yang dimiliki orang kebanyakan yang normal. Karena kita yang masih dikaruniai kesempurnaan mata masih sering kali mengeluh dan kurang ikhlas dengan apa yang Allah beri. Wallahua'lam bishowab


Jangan Jadi Suami Egois

Ahmad Kusyairi Suhail, Lc.

(Kandidat master di bidang Tafsir-Hadits di King Saud University Riyadh, Saudi Arabia)

Sering terbayang di benak pikiran sebagian suami, bahwa dia tidak sukses di dalam memilih istri ideal yang diidam-idamkannya. Entah wajah sang istri yang kurang cantiklah. Postur tubuhnya yang kurang menariklah. Atau sifat dan tabiat sang istri yang tidak berkenan di hati.

Pikiran ini senantiasa menghantui hati sanubari sang suami sehingga berdampak pada perubahan sikap terhadap isterinya. Jika tadinya ia begitu menggebu-gebu mencintai isterinya maka kini berubah menjadi membencinya. Jika dulu jargonnya adalah "makan tak makan yang penting kumpul," "siap tinggal di gubuk derita beratap langit beralaskan koran" atau yang sejenisnya sebagai ungkapan keinginan untuk selalu bersama, seia sekata, bagaimanapun kondisinya, maka sekarang berbeda.

Jangankan kondisi tak (ada) makanan, sudah disiapkan oleh isteri makanan yang enak pun, terasa segan saja untuk menyentuhnya. Yang sangat menyedihkan, di antara mereka ini ada pula yang sampai memperlakukan isterinya dengan perlakuan yang kasar, "main tangan," tanpa sedikit pun ada perasaan belas kasihan!

Suami semacam ini tentunya lupa pada firman Allah yang menyebutkan: "Dan pergauilah isteri-isteri kalian dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-Nisaa 4:19). Begitupula sabda Nabi saw yang menyatakan: "orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya, dan sebaik-baik kalian adalah orang paling baik perlakuannya terhadap isterinya."

Jadi untuk menjadi manusia (atau suami) 'super' sebenarnya tidaklah sulit. Selain imannya bener, pinter, dan badannya seger, ia juga harus memperlakukan isterinya secara bener. Dalam hadits lain, Nabi saw bersabda: "Janganlah seorang mukmin (suami) membenci isterinya berlebihan. Jika dia tidak menyukai sebagian sifat (tabiat, penampilan) isterinya, tapi dia menyukai sebagian sifat (tabiat, penampilan) yang lain."

Hadits ini telah mengingatkan kita akan suatu hal yang sangat urgen. Yaitu hendaknya para suami (termasuk juga isteri) sadar, bahwa kesempurnaan (al kamal) hanyalah milik Allah semata. Karenanya, janganlah meminta kesempurnaan di jagat raya ini, tetapi mintalah yang terbaik dari yang ada. Kemudian bercermin dan bertanyalah: "Apakah diri kita bebas dari kekurangan baik dari segi fisik (jasadi) maupun non fisik (ma'nawi)?"

Sesungguhnya kita semua pasti memiliki kekurangan. Dan karena itu, jangan meminta orang lain untuk menjadi sempurna. Cukup sederhana tampaknya. Hanya saja, sebagian suami seringkali memanfaatkan posisinya sebagai "qawwam", kepala rumah tangga, untuk menempatkan isterinya sebagai "terdakwa". Termasuk dalam hal ini adalah 'kelemahan-kelemahan' istri yang dilihatnya tidak sempurna.

Tipe suami semacam ini bukan hanya sebuah cerita kosong yang berlebih-lebihan tetapi memang nyata adanya dan dapat menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan rumah tangga. Karena itulah, Ali bin Abi Thalib mewanti-wanti para ayah untuk selalu mencarikan hanya lelaki shaleh sebagai jodoh bagi anak perempuannya.

Ketika itu, seorang lelaki bertanya kepada Sayyidina 'Ali ra: "Saya mempunyai seorang putri, dengan siapa saya akan menikahkannya?" Beliau menjawab: "Nikahkan dia dengan orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebab, jika dia mencintai (isteri)nya, dia akan memuliakannya. Tapi, jika dia membenci (istri)nya, dia tidak akan menzhaliminya."

Sesungguhnya suami yang mengidam-idamkan isterinya bebas dari berbagai kekurangan, di satu sisi dapat diibaratkan sebagai seorang zauj mitsaaliy, suami teladan, karena keinginan itu menunjukkan betapa si suami ingin isterinya sempurna. Tetapi pada saat yang bersamaan dia juga seorang lelaki anaaniy, egois, karena mengharapkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri saja. Mengapa? Karena sudah jelas, tidak ada seorang pun anak cucu Nabi Adam di dunia ini yang bebas dari 'aib dan kekurangan. Namun demikian, persoalan ini tentu tidak dapat diartikan sebagai upaya meligitimasi dan mentolerir kekurangan isteri yang terkait dengan sifat, akhlak ataupun penampilan yang bisa jadi tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Seorang suami tak dapat meng-acuh-tak-acuh-kan kekurangan itu. Justru kita, para suamilah yang paling berkewajiban mengubahnya. Tetapi semua usaha mengarahkan, mengajak dan mengubah kekurangan istri ini tetap harus dilakukan dengan lembut dan lewat mu'amalah (perlakuan) yang baik. Bukan dengan cara yang kasar dan emosional.

Apalagi perlakuam lemah-lembut, baik dan adil terhadap isteri ini diajarkan langsung oleh Rasulullah dan disebutkan sebagai sebuah kebaikan yang bermuara pada keridhoan Allah, seperti tampak pada dua hadits berikut ini.

Mu'awiyah bin 'Ubaidah bercerita: saya bertanya kepada Rasulullah saw: apa kewajiban suami terhadap isteri? Beliau saw menjawab: "Dia wajib memberi makan isterinya jika dia makan, dan memberinya pakaian jika dia memakai pakaian. Dan janganlah engkau memukul wajahnya, jangan mencacimakinya, dan jangan menghajar (meninggalkan)nya kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Beliau saw juga bersabda: "Al Muqsithun di hari kiamat berada pada mimbar-mimbar dari nur (cahaya) dan pada Tangan Kanan ar Rahman (dan kedua Tangah Allah itu Kanan), yaitu orang-orang yang berbuat adil di dalam memutuskan hukuman (perkara), adil terhadap isteri-isteri mereka, dan adil terhadap tugas yang dibebankan kepadanya." (HR. Muslim).

Dalam praktek sehari-hari, para suami juga harus menyadari bahwa perlakuan yang tidak baik akan sangat berdampak negatif pada kinerja isteri di rumah. Padahal pada saat bersamaan, kita mengharapkan istri dapat menjadi madrasah, tempat tarbiyah, pembelajaran, serta pengasahan keshalehan dan intelektualitas anak-anak kita. Sebagaimana seorang penyair telah berkata: Al Ummu Madrasatun Idzaa A'dadataha, A'dadta Sya'ban Thayiba'l A'raaqi, yang berarti seorang Ibu (baca juga: isteri) adalah madrasah, apabila kamu mempersiapkannya dengan baik maka kamu sama dengan mempersiapkan bangsa yang unggul."

Untuk itu, mari kita coba mengikis habis keegoisan kita, para suami, agar dapat menjadi suami yang adil dan bijaksana dengan menghayati pernyataan seorang penyair: Wa Mandzalladzi Turdha Sajaayaahu Kulluhu, Kafaa'l Mar'u Nublaan An Tu'addu Ma'aayibuhu. Artinya, "Mana ada orang yang disenangi semua sifat-sifatnya (sempurna). Cukuplah seseorang itu mulia manakala ia dapat dihitung (diketahui) kekurangan-kekurangannya."


6 Karakteristik Ayah Idaman

Rudy Himawan

Seorang Muslim sudah semestinya memikirkan masa depan dengan melakukan invesment -bukan dengan stock portofolio, 401K, rumah ataupun saving account, tetapi dengan shodaqoh jariyah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan membina anak yang sholeh/-ah. Ketiga aktivitas ini ternyata tercakup dalam proses pendidikan anak dan apalagi Alhamdulillah banyak diantara kita yang telah dikaruniai anak, sehingga saya tergerak untuk merangkum 6 karakteristik kepribadian seorang ayah idaman.

Keteladanan
Suatu pagi, saya terperanjat ketika melihat cara putriku memakai sepatunya. Ia langsung memasukkan kakinya ke dalam sepatu tanpa melepas talinya. Rupanya selama ini ia memperhatikan bagaimana cara saya memakai sepatu. Karena malas membuka simpul tali sepatu, sering kali saya langsung memakainya tanpa membuka dan mengikat simpul tali sepatu. Saya berusaha melarangnya dengan memberikan penjelasan bhw cara memakai sepatu seperti itu bisa mengakibatkan sepatu cepat rusak. Namun hasilnya nihil.

Ini merupakan satu contoh nyata bahwa anak, terutama pada usia dini, mudah sekali mencontoh orangtuanya. Tidak perduli apakah itu benar atau salah. Nasehat kita tidak ada manfaatnya, jika kita tetap melakukan apa yang kita larang.

Apakah kita sudah memberikan teladan yang terbaik kepada anak-anak kita? Apakah kita lebih sering nonton TV dibandingkan membaca Al-Quran atau buku lain yang bermanfaat? Apakah kita lebih sering makan sambil jalan dan berdiri dibandingkan sambil duduk dengan membaca Basmallah? Apakah kita sholat terlambat dengan tergesa-gesa dibandingkan sholat tepat waktu? Apakah bacaan surat kita itu-itu saja?

Allah SWT berfirman dalam surat ash-shaff 61:2-3: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

"Allah SWT juga mengingatkan untuk tidak bertingkah laku seperti Bani Israil dalam firmanNya dalam surat Al-Baqoroh 2:44 "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"


Kasih Sayang dan Cinta
Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus merupakan dasar penting bagi pendidikan anak. Anak-anak usia dini tidak tahu apa namanya, tapi dengan fitrahnya mereka bisa merasakannya. Lihatnya bagaimana riangnya sorot mata dan gerakan tangan serta kaki seorang bayi ketika ibunya akan mendekap dan menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Bayi kecilpun sudah mampu menangkap raut wajah yang selalu memberikan kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang dengan tulus, apalagi mereka yang sudah lebih besar.

Rasulullah SAW pada banyak hadith digambarkan sebagai sosok ayah, paman, atau kakek yang menyayangi dan mengungkapkan kasih sayangnya yang tulus ikhlas kepada anak-anak. Sebuah kisah yang menarik yang diceritakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dari Abu Laila.

Dia berkata: "Aku sedang berada di dekat Rasulullah SAW. Pada saat itu aku melihat al-Hasan dan al-Husein sedang digendong beliau. Salah seorang diantara keduanya kencing di dada dan perut beliau. Air kencingnya mengucur, lalu aku mendekati beliau. Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan kedua anakku, jangan kau ganggu mereka sampai ia selesai melepaskan hajatnya.' Kemudian Rasulullah SAW membawakan air." Dalam riwayat lain dikatakan, 'Jangan membuatnya tergesa-gesa melepaskan hajatnya.' Bagaimana dengan kita? Sudahkan kita ungkapkan kecintaan kita yang tulus kepada anak-anak kita hari ini?

Adil
Siapa yang belum pernah dengar kata sibling rivalry dan favoritism? Jika belum dengar, maka ketahuilah! Siapa tahu kita termasuk orang yang telah melakukannya. Seringkali kita terjebak oleh perasaan kita sehingga kita tidak berlaku adil, misalnya karena anak kita yang satu lebih penurut dibandingkan anak yang lain atau karena kita lebih suka anak perempuan daripada anak laki-laki dll. Rasulullah SAW bersabda: "Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu dalam pemberian." (HR Bukhari)

Masalah keadilan ini dikedepankan untuk mencegah timbulnya kedengkian diantara saudara. Para ahli peneliti pendidikan anak berkesimpulan bahwa faktor paling dominan yang menimbulkan rasa hasad/ dengki dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang lainnya.

Anak sangat peka terhadap perubahan perilaku terhadap dirinya. Jika kita lepas kontrol, sesegera mungkin untuk memperbaiki, karena anak yang diperlakukan tidak adil bisa menempuh jalan permusuhan dengan saudaranya atau mengasingkan diri (menutup diri dan rendah diri).

Pergaulan dan Komunikasi
Seringkali kita berada dalam satu ruangan dengan anak-anak, tapi kita tidak bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Kita asyiik membaca koran, mereka asyiik main video game, atau nonton TV.

Banyak hadits yang menggambarkan bagaimana kedekatan pergaulan Rasulullah SAW dengan anak-anak dan remaja. Beliau bercanda dan bermain dengan mereka.

Bagaimana dengan kita yang sudah sibuk kuliah sambil bekerja plus 'ngurusin' IMSA (**smile**)? Mana ada waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak? Sebenarnya ada waktu, jika kita mengetahui strateginya.

Misalnya, sewaktu menemani anak bermain CD pendidikan di komputer, kita bisa menjelaskan cara mengerjakan/bermainnya, lalu memberi contoh sebentar, lantas bisa kita tinggalkan. Begitu pula dengan buku bacaan dan permainan lainnya. Repotnya ada sebagian ayah yang tidak mau berkumpul dengan anak-anak, terutama yang menjelang dewasa karena takut kehilangan wibawa atau kharismanya. Ini pandangan yang keliru. Yang lebih tepat adalah kita jaga keseimbangan, artinya kita tidak boleh terlalu kaku dalam memegang kekuasaan dan kharisma, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar.

Bijaksana Dalam Membimbing
Rasulullah SAW bersabda: "... Binasalah orang-orang yang berlebihan ..." (HR Muslim). Jadi metoda yang paling bijaksana dalam mendidik dan mengarahkan anak adalah yang konsisten dan pertengahan - seimbang, yakni tidak membebaskan anak sebebas-bebasnya dan tidak mengekangnya; jangan terlalu sering menyanjung, namun juga jangan terlalu sering mencelanya.

Bila ayah memerintahkan sesuatu kepada anaknya, hendaknya ayah melakukannya dengan hikmah, penuh kasih sayang, dan tidak lupa membumbuinya dengan canda seperlunya. Jelaskan hikmah dan manfaatnya, sehingga anak termotivasi untuk melakukannya. Jangan lupa juga untuk memperhatikan kondisi anak dalam melaksanakan perintah atau aturan tersebut.

Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa melatih pribadi perlu kelembutan, tahapan dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain, tidak menerapkan kekerasan, dan berpegang pada prinsip pencampuran antara rayuan dan ancaman.

Berdoa
Para nabi selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah untuk kebaikan keturunannya. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (Ibrahim:35)

"Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku)Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku." (Ibrahim:39-40).


Bila Anak Anda Butuh Seorang Teman


Anak-anak, berapapun usianya tetap makhluk sosial. Seperti halnya orang dewasa, mereka juga membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Ibu, bisa jadi adalah 'teman' pertama bagi anak-anak. Sebab, kedekatan seorang anak dan ibunya sudah sangat erat terjalin semenjak si anak berada dalam kandungan.

Kedekatan itu makin terangkai indah saat sang anak mulai merasakan kehangatan air susu ibunya selama kurang lebih dua tahun. Sampai disini, tidak ada masalah atau pun hambatan dalam berhubungan dengan orang lain bagi si anak. Sebab pada masa-masa itu, cukuplah Ibu dan Ayah sebagai 'teman' sejati yang siap memberikan apapun atas dasar cinta.

Namun, pernahkan anda mendengar satu ungkapan dari anak anda yang baru menginjak usia sekolah, yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya seperti, "Ma, saya tidak punya teman untuk bermain bersama." Bisa jadi, anda meremehkan ungkapan tersebut dan menganggap tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dari anak Anda. Jika demikian, perlulah kiranya mengkaji ulang anggapan Anda dan mendengarkan sekali lagi ungkapan, "Ma, saya tidak punya teman untuk bermain bersama."

Menurut Laura Ewault, psikolog anak berkebangsaan Inggris, jika ungkapan diatas sempat terucap -meskipun sekali- dari mulut mungil anak Anda, kemungkinan anak Anda mempunyai masalah kesepian. Untuk menentukan apakah itu merupakan masalah sementara ataukah memang anak Anda benar-benar kesepian, tanyakanlah pada diri Anda pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

Berapa lamakah anak saya menghabiskan waktunya sendirian?
Semua anak membutuhkan waktu untuk sendiri, kata Diane Lynch-Fraser, Ed. D., seorang psikolog perkembangan anak asal New York. Tetapi jika anak Anda tidak punya waktu bermain bersama teman-teman sebaya di luar sekolah paling sedikit sekali seminggu, kemungkinan besar ia kesepian.

Apakah anak saya mempunyai paling kurang satu teman baik?
Seorang anak hanya membutuhkan satu teman yang benar-benar baik – seorang teman sebaya yang dapat dipercaya – kepada siapa ia dapat berbicara dengan leluasa. Ada anak-anak yang hanya ingin mempunyai satu atau dua orang teman dekat saja, ketimbang menjadi anggota dari kelompok yang lebih besar. Hal itu baik, tetapi jika anak Anda tidak mempunyai paling sedikit seorang teman baik, Anda harus mengusahakannya.

Apakah anak saya selalu meminta saya untuk bermain bersama dengan dia?
Orangtua lebih sering bersikap sebagai seorang penasihat ketimbang sebagai seorang teman. “Seorang yang lebih tua akan menjadi suatu pengaruh luar biasa bagi anak untuk mengetahui seperti apa masa depannya,” demikian kata Lynch-Fraser, “Tetapi ia tidak dapat memberikan suatu gambaran nyata kepada anak itu tentang kebutuhannya masa sekarang, contohnya teman sebaya.” Boleh jadi anak Anda akan senang bermain dengan Anda, akan tetapi ia juga membutuhkan teman-teman seusianya, untuk bermain bersama.

Pertolongan Anda
Anda dapat mulai menolong dengan mencoba mengerti masalah melalui sudut pandang anak Anda. Untuk melakukan hal tersebut, Lynch-Fraser menganjurkan agar Anda memusatkan pada apa yang anak Anda rasakan. Tolonglah anak Anda memberi keterangan rinci, dengan bertanya kepadanya secara “tiba-tiba” beberapa pertanyaan, dan janganlah memberikan komentar kritis tentang jawabannya. Kemudian tanyakanlah padanya, apa yang mau ia lakukan untuk memperbaiki situasinya.

Setelah itu, tanyalah anak Anda, apakah ia membutuhkan pertolongan Anda. Jika jawabnya YA (atau ia menunjukkan minat), maka berusahalah dengan tekun. Beberapa hal di bawah ini dapat membantu Anda:

Kegiatan-kegiatan kelompok yang membangkitkan minat dan bakat anak Anda. Kadang-kadang anak-anak ingin mempelajari lebih banyak tentang sebuah aktivitas, namun ia takut bergabung dengan satu kelompok. Jika anak Anda benar-benar mempunyai minat dalam kegiatan-kegiatan sebuah kelompok, namun enggan untuk bergabung, doronglah ia untuk menghadiri dua pertemuan saja dulu.
Mencoba kegiatan-kegiatan sukarela. Karena kegiatan-kegiatan seperti itu akan membawa anak Anda kepada kehidupan orang lain.
Aturlah waktu-waktu bagi anak Anda untuk bermain satu-dengan-satu. Dalam bukunya Good Friends are Hard to Find, Fred Frankel ph. D., mengatakan bahwa waktu-waktu untuk bermain satu dengan satu di rumah, adalah cara terbaik bagi anak Anda untuk memupuk persahabatan sejati.
Bila anak Anda melihat bahwa ada seorang yang menyenanginya, dan mau bermain bersama dengan dia saja, maka anak Anda akan merasa istimewa. Anak Anda harus mempunyai satu atau dua kali waktu bermain dalam setiap minggu, paling tidak selama satu jam lamanya, bersama seorang anak lain yang ia pilih sendiri, mungkin seorang anak yang telah berkenalan dengan dia dalam acara-acara tertentu. Rencana itu harus dikonsultasiikan dengan orangtua. Kemudian setelah tiba waktunya, biarkanlah mereka bermain sendiri untuk saling mengenal satu dengan yang lain dan jangan lupa menyediakan makanan.

Tingkatkan ketrampilan-ketrampilan sosial anak Anda. Saat-saat untuk bermain satu-dengan-satu akan menolong. Anda melihat bagaimana anak Anda berhubungan dengan anak-anak lain. Bantulah anak untuk meningkatkan ketrampilan sosialnya. Selain itu, anak-anak juga sering butuh pertolongan untuk belajar berbagi cerita, berkompromi dan bermain sesuai dengan peraturan.
Bicaralah dengan guru anak Anda. Guru yang baik tidak akan membiarkan satu suasana buruk menjadi busuk, tetapi mereka akan mengetahui masalah yang sebenarnya sebelum mereka dapat melakukan sesuatu. “Seorang guru yang baik,” kata Joanne Prahl, “ingin membuat setiap orang merasa dilibatkan.” Untuk itu, sebuah ruangan kelas yang terlalu banyak murid bukanlah satu suasana yang mendukung untuk tujuan tersebut. Cobalah bagi kelas itu sesuai dengan minat dan bakat anak-anak. Kemudian setelah itu, gabung kembali.

Jangan Pernah Memaki Anak


Ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Ucapan ibu adalah do'a yang mustajabah. Apalagi jika lahir dan keadaan hati yang kuat.Itulah sebabnya, para ibu terdahulu sangat menjaga lisannya agar tidak pernah sekalipun mengucapkan kata-kata yang buruk bagi anaknya. Ia lebih memilih untuk menangis ketika ia tak tahan lagi menahan kesal, daripada rnengucapkan sumpah atan memberi julukan kepada anak sesuatu yang buruk, misalnya, "Kamu ini kok nakal, sih?"

Mereka menahan lidah sekuat-kuatnya, karena takutnya mereka kepada Allah. Mereka menjaga ucapannya sebisa-bisanya karena takut ucapan yang sekarang, menjadi jalan untuk mengucapkan makian pada anaknya. Sebab ucapan seorang ibu kepada anaknya, terutama ucapan-ucapan yang keluar dan hati yang paling dalam, akan menghunjam tepat di lubuk hati anak.

Kalau sekali waktu seorang ibu mengucapkan kata yang buruk, ia segera berlari untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengasih. Kemudian ia meminta maaf kepada anaknya.Di saat inilah, anak justru mendapatkan pelajaran yang nyata. Tangis ibu dan permintaan maafnya, menggerakkan anak untuk rnenanggalkan kenakalan-kenakalan, dan menggantinya dengan akhlak yang baik. Ketika seorang ibu meminta maaf kepada anaknya, yang terjadi justru anak akan ikut menangis.

Atau, peristiwa itu menjadi sejarah besar yang mengesankan dan mempengaruhi pertumbuhan pribadinya. Ia belajar mengenai akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan ibu. Dan bukan sebaliknya, yakni makian. Caci-maki hanya mendorong anak untuk melakukan kenakalan yang lebih besar, di samping sebagai pelajaran bagi anak itu sendiri bagaimana mencaci yang menyakitkan orang. Makian orangtua justru menjadikan anak kebal terhadap makian, nasehat, dan perkataan yang kasar. Kata yang kasar akan ia balas dengan kata yang kasar dan suara lantang.

Caci maki tidak merangsang anak untuk memiliki kepekaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Fir'aun adalah musuh Allah. Kezaliman Fir'aun sangat melebihi batas. Ia bahkan telah mengaku menjadi Tuhan.Di tangannya, Siti Masyithah menemui syahidnya setelah direbus dalam minyak mendidih.Tetapi, terhadap orang yang sezalim itu, Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan Nabiyullah Musa alaihissalam agar menyeru Fir'aun dengan lemah lembut. Allah SWT berfirman, "Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat akan takut "(Q.S. Thaahaa, 20:42-44). Sebagai penutup, marilah kita renungkan sebuah hadis Nabi SAW, sambil mernohon kepada Allah SWT agar mensucikan mulut kita yang masih kotor : Ibnu Umar RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkunjung kepada Saad bin Ubadah. Turut bersama beliau Abdurrahman bin Aufdan Saadbin, Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas 'ied RA, maka Rasulullah SAW tampak menangis. Begitu para sahabat melihat beliau menangis, maka merekapun ikut menangis. Setelah itu beliau berkata, "Apakah kalian tidak mendengar bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang karena tetesan air mata, dan tidak pula karena kesedihan hati, akan tetapi Dia akan menyiksa karena ini atau memberi rahmat" sambil menunjuk lidahnya.(Muttafaq 'Alaih).

Ditulis oleh F. Kurniawati. Disarikan dari buku yang berjudul "Bersikap Terhadap Anak -Pengaruh Perilaku Orangtua terhadap Kenakalan Anak" karangan Moh. Fauzil Adhim

Belajar Dari Kearifan Anak-Anak


Steven W. Vanoy dalam sebuah bukunya yang berjudul, 17 Anugerah Terindah Untuk Orang Tua; Belajar Dari Kearifan Anak-Anak, menggambarkan betapa anak-anak dengan segala tingkah dan perilakunya mengajarkan para orang tua tentang banyak hal. Hal itu. Sekaligus menyadarkan kepada kita, bahwa bukan kita yang hendak memberikan pelajaran kepada anak-anak yang selama ini selalu kita anggap sebagai “Unknown Species”. Justru, menurut Vanoy, anak-anaklah yang menjadi guru untuk orang tuanya.

Saat anak-anak menangis, berteriak, tersenyum, tertawa, serta berbagai ekspresi lainnya, mereka melakukan semuanya itu tanpa beban, tanpa mempedulikan resiko apapun yang bakal mereka terima setelah melakukan segala perbuatannya itu.

Sangat mungkin mereka menangis sejadi-jadinya, sementara si orang tua sering tidak mengerti permintaannya. Orang tua sering kali hanya bisa bersabar dan mencoba-coba memberikan berbagai tawaran. Sungguh, kita sedang melatih kesabaran dengan tangisan dan rengekan mereka.

Kita belajar menerima segalanya dengan tangan terbuka dan ikhlas, qona’ah ( menerima apa adanya) saat menggantikan popok mereka yang basah dan bau oleh buang airnya.
Yang terpenting, jika kita mau mencermati, sungguh anak-anak dengan segala ekspresi spontannya mengajarkan kita tentang hakikat hidup. Mereka polos dan lugu, lalu mengapa kita masih suka menggunakan topeng kepalsuan ?. Mereka tersenyum dan tertawa jika mereka suka dan mau. Tetapi kita, terus menerus merasa terpaksa untuk sekedar tersenyum atau bersikap ramah kepada orang lain. Selain kita juga sering memilah-milih orang yang harus kita senyumi, sementara anak-anak tidak.

Pada saat-saat tertentu mereka tertawa tak habisnya kala merasa senang atau lucu dan tidak lama kemudian menangis sejadi-jadinya jika lapar, haus ataupun merasa tidak nyaman. Kita sadari, bahwa mereka melakukan suatu proses hidup yang seimbang. Sebab hidup, tidak selamanya menyenangkan tetapi juga tidak selamanya susah.

Mereka begitu menyadarkan kita, bahwa kita harus bisa menerima segala kesenangan dan kebahagiaan hidup. Namun tidak pula lupa bahwa ada masa dimana kita merasakan pahitnya kehidupan yang suka atau tidak harus dihadapi.

Mereka akan meminta sesuatu yang mereka mau, tanpa mempedulikan apakah kita sanggup mengabulkannya atau tidak. Namun, mereka tidak akan memukul atau memaki jika ternyata permintaannya tak terkabul. Mereka meminta dan terus meminta setiap kali keinginanya tidak terpenuhi.

Kita begitu egois, ingin mendapatkan segala sesuatu yang diingini. Padahal tidak semua yang diinginkan bakal menjadi milik kita. Bukankah Allah SWT telah mengatur rizki dan pembagiannya terhadap seluruh makhluq-Nya ?.

Kita begitu cepat merasa putus asa, ketika gagal, kalah dalam tender bisnis, tidak naik pangkat dan beragam persaingan lainnya dalam hidup. Seperti halnya anak-anak, seharusnya kita sadar bahwa selain usaha ada harapan (do’a). Seperti juga anak-anak, semestinya kita tahu, bahwa kita makhluk lemah dan hanya Allah yang mampu memberi kekuatan.

Sampai akhirnya saat mereka terlelap. Betapa kedamaian dan ketenangan terpancar dari wajahnya. Dimanakah kedamaian dan ketenangan seperti itu kita dapatkan?. Anak-anak menciptakan sendiri kedamaian untuk mereka, selain mereka tahu bahwa Allah juga berperan menentukan ketentraman dihati manusia dan juga didunia. Tapi, bukankah urusan pribadi dan dunia Allah sudah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia? Bahwa, Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya …(QS. Ar Ra’d:11).

Jadi, mulai sekarang perbanyaklah waktu untuk bercengkerama dengan anak-anak. Sehingga akan lebih banyak pelajaran yang kita dapat dari mereka. Ratusan, ribuan, jutaan bahkan mungkin tidak terhitung jumlah pelajaran dari mereka. Wallahu a’lam


Anak Belajar Dari Kehidupannya


Al Qur’an menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (QS. Asy Syams:7-8). Bahkan dibanyak ayat Al Qur’an disebutkan potensi-potensi negatif didalam diri manusia, seperti lemah (QS. An Nisa:28), tergesa-gesa (QS. Al Anbiya:37), selalu berkeluh kesah (QS. Al Ma’arij:19) dan sebagainya, disamping disebutkan juga bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang paling baik.

Oleh karena itu, orang tua sebagai pendidik utama anak-anak, dituntut untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada pada diri mereka, dan mengurangi potensinya yang jelek. Sebab, jika bukan orang tua yang pertama kali memberikan pendidikan secara tepat dan benar kepada anak-anak. Maka jangan salahkan mereka jika kemudian lingkungan membentuknya menjadi orang yang asing yang tidak kita cita-citakan.

Pada awal abad 20, Maria Montessori, dokter wanita pertama asal Italia mengatakan, bahwa tahun-tahun antara kelahiran dan usia 6 tahun adalah sangat penting. Menurutnya, menciptakan lingkungan yang tepat, pada “periode sensitif” yang kritis pada awal pertumbuhan, akan membuat anak-anak “melejit” menjadi pelajar yang mandiri.

Salah satu fungsi keluarga menurut J.R Eshleman adalah fungsi edukatif, yakni memberikan pendidikan kepada anak-anak. Bahkan Dorothy Law Notle, seorang pendidik asal Inggris menggambarkan suatu analisa hubungan kausalitas antara perlakuan (pendidikan) orang tua dengan karakter yang akan terbentuk pada diri anak-anak dalam proses pembelajaran, yang terangkum dalam buku Revolusi cara belajar; Keajaiban pikiran karya Gordon Dryden dan Dr. Jeanette Vos.


Berikut kutipan tulisan Notle tersebut:
Anak Belajar Dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Wallahu a’lam bisshowab.

Bangunlah Komunikasi, Kebahagiaan Anda 'kan Lestari

Ahmad Heriawan, Lc

Banyak bahtera keluarga yang oleng atau karam sebelum mendarat di pantai harapan. Bahkan tak sedikit keluarga yang awalnya harmonis, tapi yang terjadi akhirnya, antar anggota keluarga saling sinis. Keluarga yang diharapkan menjadi surga, tiba-tiba berubah jadi neraka. Tahukah Anda, tak jarang di antara faktor penyebabnya berawal dari terputusnya komunikasi suami istri.

Maka jangan anggap enteng masalah komunikasi. Karena komunikasi adalah proses membangun jembatan hati dan pikiran pasangan suami istri (pasutri). Lalu pertanyaannya, bagaimana seharusnya seorang suami/istri membangun komunikasi secara baik dengan pasangannya? Untuk mengurai lebih jauh pertanyaan itu, ada baiknya kita perhatikan pertanyaan berikut.

Mengapa menikah? Jawaban atas pertanyaan ini harus benar-benar disadari oleh seorang Muslim. Baik mereka yang akan maupun telah menikah. Pertanyaan ini penting, karena menyangkut motif dalam bertindak selanjutnya (pasca pernikahan). Sebagaimana kita ketahui bahwa menikah adalah ibadah. Maka segala yang kita lakukan, mulai dari meminang, menggauli istri, sampai menafkahi dan mendidik anak-anak adalah ibadah. "Nikah itu adalah sunahku!" kata Nabi saw.

Karena ia ibadah, sudah seyogyanya pernikahan harus berperan meningkatkan kualitas kesalehan dan ketakwaan para pasutri. Fenomena itu harus tampak bersinar pada segenap sisi wajah kehidupan. Cara berpikir lebih baik, cara bertindak lebih baik, suasana emosional lebih stabil, bahkan karir dan kehidupan finansial juga lebih meningkat. Sebab Allah berfirman; "Jika mereka miskin, niscaya Allah akan memberi mereka kekayaan dan keutamaan-Nya." (Q.S 4:32).

Mengapa memilihnya? Tidak semua bisa menjawab pertanyaan ini. Walaupun sesungguhnya jawabannya sangat mendasar dalam kehidupan perkawinan. Ini terkait dengan cinta dan penerimaan masing-masing terhadap pasangannya. Dorongan mencintai dan dicintai adalah fitrah paling dalam yang membuat setiap orang merasa butuh pada pasangannya. Sebesar rasa butuh Anda terhadap pasangan Andaa, sebesar itu pula dorongan untuk merawat hubungan Anda dengan pasangan Anda.

Tapi tidak ada orang yang sanggup mencintai dengan kuat kecuali bila ia menerima pasangannya secara wajar, apa adanya. Tak boleh ada penyesalan di belakang hari: "Aduh saya menyesal nikah dengan kamu". Moto "pasangan kita yang paling cantik" harus terus dikokohkan dalam jiwa kita. "Istri/suami saya adalah yang paling cantik/ganteng!". Begitulah seharusnya Anda mensikapi dan memperlakukan pasangan Anda.

Sikap ini membuat kita bisa seimbang melihat sisi kuat dan sisi lemah pasangan kita. Inilah makna keseimbangan sikap sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW; "Janganlah seorang Mukmin mencampakkan seorang Mukminah. Jika ia benci salah satu sikapnya, ia akan menyukai sikapnya yang lain."

Hubungan yang produktif Sebagaimana anak-anak merupakan buah cinta-kasih, maka komunikasi hubungan perkawinan hanya akan langgeng jika masing-masing pasangan terus maju dan berkembang dalam hubungan itu. Inilah fungsi hakiki dari setiap hubungan produktif, pertumbuhan dan pengembangan. Maka merawat hubungan, sama seperti menumbuhkan pohon. Kita harus mengembangkan pasangan kita, kadar pengetahuannya, keterampilannya, kepribadiannya, sikapnya, dan sebisa mungkin seluruh sisi kehidupannya.

Orang hanya akan sanggup mencintai pasangannya --dalam waktu lama-- kalau ia bermanfaat bagi dirinya. Inilah makna manfaat seperti dalam sabda Rasulullah SAW; "Sebabik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain."

Nyatakan cinta dengan segala cara Ekspresi cinta kita terhadap pasangan kita harus benar-benar lepas, dalam ucapan (verbal) maupun bahasa tubuh dan tindakan (non-verbal). Alkisah seorang sahabat mencintai sahabatnya yang lain, maka Rasulullah memerintahkannya untuk menyatakannya secara verbal kepada yang bersangkutan (Abu Dawud dan Tirmidzi).

Rasulullah SAW memerintahkan hal itu kepada sama-sama lelaki. Apalagi tentunya, kita pada pasangan kita. Harus bahasa cinta itu secara verbal dan sering harus dinyatakan di hadapan pasangan kita. Menurut riwayat, Rosulullah SAW tak pernah meninggalkan kata "Aku cinta padamu" pasa istri-istri beliau setiap hari.

Seimbang dalam memberi dan menerima Beri yang terbaik untuk mendapatkan yang terbaik. Inilah prinsip untuk meraih sukses berkomunikasi. Jangan malah dibalik: Ingin mendapatkan segalanya, tapi tidak pernah memberi yang terbaik. Orang yang membalik prinsip ini akan selalu gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Ibnu Abbas senang berhias agar nampak handsome (ganteng) di depan istrinya. Itu karena, katanya; "Saya juga ingin berpenampilan cantik di depanku


Misi Kemanusiaan Agung Itu Bernama Pernikahan


Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata ketika menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria pilihannya. "Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi sebagai nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisanNya tersebut," petuah sang Ustadz sembari ia mengutip surat Annisa ayat satu.

Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.

Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.

Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.

Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).

Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.

Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya. Antara satu keluarga dengan keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.

Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.

Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi.

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).

Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.

Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.

Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.

Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat. Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinya lah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.

Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya, peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.

Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."

Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."

Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah. Wallahu a'lam bish showab.

Siapa Menanam Sabar, Pasti Akan Menuai Sukses Besar


Sulit dipungkiri, betapa sentralnya peran ibu dalam sebuah keluarga. Kita tidak bisa bayangkan seandainya terjadi protes kaum ibu untuk tidak lagi mau menerima kodratnya sebagai pemeran utama di sektor domestik. Mereka tidak lagi mau melahirkan, tidak mau merawat, mendidik, serta membesarkan anak-anaknya.

Absennya ibu dalam menjalankan peran dan tugasnya di rumah, jelas akan sangat potensial meruntuhkan sebuah rumah tangga/keluarga. Ungkapan ini tentunya, bukan bermaksud untuk mengecilkan pentingnya peran seorang ayah/suami di rumah. Sama sekali tidak.

Sebagai contoh, seorang ibu yang tidak betah di rumah dan hanya senang pelesiran ke luar, tentu bukan hanya sekadar menimbulkan fitnah besar. Tapi juga akan membuat kesal si suami dan membuat cemas anak-anak. Dan ini merupakan awal dari petaka besar yang akan menghancurkan bahtera keluarga. Implikasi berikutnya bisa kita duga. Anak-anak akan menjadi korban rumah tangah broken home.

Tidak berlebihan bila kita katakan, ibu merupakan sendi utama dan pertama tegaknya rumah tangga yang kokoh. Karena itu kita sepakat, ketenteraman dan kenyamanan akan muncul dan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga bila saja ibu mau mencurahkan seluruh darma baktinya dengan tulus dalam mengemban peran keibuannya. Ya, dengan kelembutan dan ketulusannya, ibu akan mampu menjaga, mendidik, merawat, hingga membesarkan anak-anaknya.

Tapi sesungguhnya di samping harus merawat, mendidik, membesarkan, serta berbakti kepada suami, seorang ibu akan selalu dihadapkan berbagai persoalan rumah tangga. Dalam hal ini, kita akan membatasi persoalannya hanya pada problem anak. Misalnya anak rewel, nakal, sulit diatur, dan sebagainya.

Sungguh betapa beratnya tugas seorang ibu. Ketika ia harus menghadapi tugas-tugas rumah tangga yang monoton setiap hari di rumah, tetapi masih harus ditambah lagi dengan persoalan anak-anak yang sulit dikendalikan, misalnya. Karena itu tak jarang kita menemui kasus-kasus di mana seorang ibu lepas kontrol ketika mengajar anak-anaknya. Itu tentu hal wajar dan manusiawi.

Ketika menghadapi anak yang terus menerus menangis atau rewel, tak sedikit ibu-ibu meredamnya dengan cara marah-marah atau memukulnya. Atau tak jarang seorang ibu membanting benda apa saja yang ia bisa jangkau untuk melampiakan kekesalannya pada anak-anak yang sulit diatur.

Apakah cara-cara mendidik anak seperti ini bisa efektif? Inilah yang jarang disadari oleh kaum ibu.

Sebenarnya mengatasi kenakalan anak dengan cara-cara emosional akan semakin menambah lelah fisik dan pikiran. Ketika seorang ibu sedang penat didera berbagai tugas-tugas rutin keluarga, ditambah dengan emosi dalam menghadapi kenakalan anak, sesungguhnya akan semakin membuatnya semakin penat bahkan stres. Padahal anak-anak mereka pun tak berubah perangainya. Bahkan esoknya tak jarang anak-anak mengulangi lagi kesalahan/kenakalannya.

Para ahli kejiwaan anak percaya bahwa anak-anak yang terbiasa dimaki dan diperlakukan dengan keras oleh orang tuanya, akan semakin menikmati kekasaran yang dilakukan orangtua terhadap dirinya. Semakin berulang-ulang orang tua memperlakukan anak dengan kasar akan semakin membuat anak penasaran untuk memancing kemarahan orang tua. Perilaku ini menurut logika anak-anak, kata para ahli, adalah cara mereka mencari perhatian orangtua.

Karena itu seorang ibu yang mampu mengendalikan emosinya, dan tetap bisa menahan kata-kata dan tindakannya agar tidak lepas kontrol, memang sangat luar biasa. Ada beberapa keuntungan bagi ibu-ibu yang bisa tetap lemah lembut menghadapi anak-anak mereka betapa pun ia dalam keadaan letih.

Pertama, ia dipuji Allah dan RasulNya sebagai ummu sholihah. Mereka ini yang layak disebut sebagai wanita yang berada pada tempat terpuji. Rasulullah sangat memuji pada ibu yang memiliki sifat mulia itu. “Syurga itu ada di bawah telapak kaki ibu,” bunyi salah satu hadits Rasulullah SAW.

Al Qur’anul Karim berkali-kali menyebutkan ganjaran bagi para wanita/ibu sholihat. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS 33 : 35)

Kedua, ia bukan hanya memberikan andil besar dalam membentuk budaya sabar dan lembut pada seluruh anggota keluarga. Tapi yang lebih penting, ia ikut mengokohkan kehidupan yang damai dan tentram dalam rumah tangga. Sehingga budaya lembut itu akan tertular dan diikuti anak-anak. Selain tentunya, ia akan makin disegani, dihormati, sertai dicintai oleh seluruh anggota keluarga.

Ketiga, kalau seorang ibu atau ayah sudah disegani, dihormati, dan dicintai oleh anak-anak mereka, orangtua pasti tak perlu repot-repot menguras emosi dan energi untuk mengatasi kenakalan anak. Jika anak bandel atau rewel, tak perlu harus ambil benda untuk memukul atau marah-marah. Cukup hanya dengan memberi isyarat, insya Allah akan difahami dan dipatuhi oleh anak-anak.

Contoh misalnya, ketika seorang ibu menghadapi anak yang malas belajar. Tak perlu lagi ibu mengancamnya dengan rotan. Cukup misalnya dengan kata-kata: “Nak…, anak yang soleh/solihat harus rajin belajar. Karena anak yang rajin belajar akan dicintai Allah dan RasulNya. Nanti, kalau nilainya bagus ibu janji akan memberi hadiah.”

Ungkapan-ungkapan ini pasti tak perlu menguras energi dan emosi. Dengan demikian seorang ibu yang mampu tetap sabar dan lembut menghadapi anak-anaknya, akan mendapatkan keuntungan ganda sekaligus. Pertama, ibu bisa mengirit tenaga dalam mengajar anak. Kedua, ibu lebih efektif dan tenang dalam menyelesaikan berbagai tugas rumah-tangga setiap hari.

Keempat, ibu yang sabar akan mendapatkan ketenangan bathin. Dan ketenangan bathin ini sesungguhnya kunci yang membuat motivasi dan semangat ibu tak pernah terputus di tengah jalan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Hal penting lainnya adalah, ketenangan bathin membuat ibu merasa ringan dan tak cepat penat dalam menghadapi kerja yang berat sekalipun. Dengan demikian insya Allah ibu mampu mengantarkan anak-anak ke masa depan yang dicita-citakan dengan relatif tanpa hambatan berarti.

Kelima, seorang ibu yang mampu membangun Keluarga Sakinah (baca: relatif jarang ribut-ribut dalam mendidik anak), akan dicintai dan dihormati bukan hanya oleh suami. Yang membuat hubungan suami-istri akan makin mesra dan kokoh. Tapi ibu yang sabar dan mampu membina keluarganya dengan baik akan dicintai dan dihormati oleh para tetangga. Bahkan para tetangga bukan tidak mungkin akan menjadikan si ibu sebagai pola percontohan dalam mendidik anak.

Dengan demikian, pada hakikatnya si ibu telah mendapatkan legitimasi yang besar dari lingkungannya. Ini sesungguhnya suatu modal berharga yang akan memudahkan baginya untuk melakukan program-program sosial dengan para tetangga. Atau bahkan untuk melakukan program-program yang jauh lebih besar dari itu.

Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita simak sebuah hadist Rasulullah SAW yang bunyinya: “Barangsiapa diberi rezeki oleh Allah berupa istri yang sholihah, berarti Dia membantunya dalam melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah dalam melaksanakan separoh lainnya,” (HR Al Hakim)


Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku
Gesang Utari

Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. “Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur,” pintaku.

Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. “Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur,“ ujarnya lembut.
Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.

Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.

Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. ”Anak-anak sudah tidur?” Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. ”Sudah,” jawabku singkat.

“Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?” Aku menggangguk. “Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya.“ Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. “Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak,” hiburnya kemudian.

Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. “Maafkan aku mas,” bisikku dalam hati.

Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau “angot” nya datang, wah, wah, wah.

Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.

Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak.

Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. “Boleh, tapi setelah minum susu , kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol” Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang “Kak Dila… mandi dulu,“ aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. “Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu,“ begitu jawabnya.

Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. “Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi”, bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, “Nanti dulu!” aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.

Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. “Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!”, entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.

Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.

Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.

Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam.

Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. “Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur,” ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. ”Aku mau tidur dekat Dila ya?” pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan…..oh Dila maafkan Ibu.

Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. “ Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu.”

Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra’ bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda “barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi)







0 komentar:

Posting Komentar