Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Kekhawatiran yang Tak Perlu


Kekhawatiran yang Tak Perlu

- Sepincuk air mengalir deras bersama merahnya mata dan hidungmu. Punggungmu turun naik seolah menahan sebuah air bah yang hebat. “Ayo bang belajar, besok khan EHB. Kamu maunya main terus.” Kata-katamu berat.
Sementara si Abang Cuma diam dan menunduk. “Abang khan pengen main mi.” Ia menjawab pelan seolah bermaksud menahan gejolak yang bergelombang di dada istriku.
Aku merasakan dua-duanya tertekan. Istriku tertekan karena ia ingin anaknya secerdas Sangaji dalam serial Anak Ajaib yang pernah ditayangkan TVRI dulu. Ia ingin anaknya cukup bertanggungjawab untuk tidak keluar rumah dan bermain bersama teman-temannya di lapangan bulutangkis tepat di muka rumahku yang hanya dibatasai jalan.
Jelas, sebagai seorang guru, tanggungjawabnya menjadi lebih berat untuk bisa mendidik anak-anak. Bagaimana mungkin bisa mendidik orang lain kalau anaknya sendiri tidak bisa dididik.
Sementara si Abang berbeda. Naluri anak-anaknya masih sangat kuat. Teriakan gembira teman-temannya yang sedang main sepak bola di lapangan bulutangkis itu membetot-betot perhatiannya sehingga boro-boro bisa fokus, menegakan pandangan matanya saja tak bisa. Selalu saja liar dan berlari ke luar.
Sayang, aku ingat sebuah cerita yang diforward seorang teman ke emailku. Ceritanya begini :
Seorang anak sambil menangis meninggalkan sekolahnya. Ia mengenggam selembar kertas di tangannya yang dititipkan gurunya untuk diberikan kepada orangtuanya. Di atas kertas itu tertulis, "Karena anakmu terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran serta menghambat kemajuan proses pelajaran sekolah, dan demi rasa tanggung jawab kami terhadap murid-murid yang lain, maka kami sangat mengharapkan agar anak ini secara terhormat menarik diri sendiri dari sekolah."
Setelah membaca nota tersebut, ibunya tak mampu menahan sedih. Air matanya mengalir deras. Ia sama sekali tak percaya kalau anaknya itu terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran sekolah. Ia lalu memutuskan, "Kalau guru tidak bisa mengajarnya, aku akan menjadi guru bagi anakku sendiri."
Tahukah kamu apa yang terjadi pada diri anak tersebut setelah beberapa tahun kemudian? Pada saat kematiannya, anak yang dianggap bodoh oleh para gurunya serta dididik sendiri oleh ibunya itu, mendapat penghargaan amat besar oleh seluruh penduduk Amerika. Pada tanggal 18 Oktober 1931 malam hari jam 9.55 menit, seluruh Amerika
memadamkan semua lampu listrik untuk mengenang jasa seorang penemu besar, Thomas Alva Edison, seorang yang dianggap bodoh namun telah mengubah arah perkembangan dunia. Thomas tak menyerah pada penilaian orang lain.
Nah, sayang, ada yang memang membuat kita tidak berdaya. Bahwa terkadang sistem pendidikan tidak mampu memberikan ruang pembelajaran yang efektif agar potensi anak dapat muncul maksimal. Para guru yang terlibat hanya berkutat dengan kecedasan intelektual sang anak. Penilaian pun masih terasa kering. Seorang anak berprestasi bila ia mendapatkan nilai bagus ketika mengisi soal-soal ulangan atau ujian. Dengan enteng, seorang guru matematika si Abang langsung saja memberikan nilai 5 di kertas ulangannya. Pikirannya masih sebatas itu. Tidak pernah dipelebar dengan pertimbangan psikologis akibat dari pemberian nilai 5-nya itu. Ia tidak pernah berpikir bagaimana konfigurasi psikologisnya ketika teman-temannya mencemoohnya. Itulah yang terjadi.
Aku teringat ketika kita semalam ngobrol dengan Ka Heni dan Bu Upi di Pendopo RT usai rapat untuk kegiatan Learning Community. Ada yang menarik disampaikan Ka’ Heni bahwa terkadang seorang guru itu lupa menciptakan kondisi menyenangkan kepada siswa atau anak murid. Mereka lupa akan hal ini. Mereka hanya masuk kelas. Berdiri di depan kelas dan memaparkan pelajaran yang dibebankan kepadanya. Selesai. Tak lupa dua lembar PR diberikan untuk dikerjakan di rumah. Padahal, otak dan kemampuan anak itu terbatas.
Jadi, kita memang harus kembali merenungkan segala yang sudha kita berikan kepada pangeran kita.
Komar Ibnu Mikam
komaibnumikam@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar