Haryanto di Ruang Makan Kami
- Seberapa sering Anda mengajak anak-anak Anda mengobrol mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekeliling kita ? Saya sendiri termasuk orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk itu. Selain itu, karena memang jarang ngobrol, sulit juga bagi saya untuk memasukkan nilai-nilai yang perlu mereka ketahui dengan mudah. Dalam setiap percakapan saya akan cenderung untuk menggurui dan dogmatis karena ‘beban’ tersebut. Oleh sebab itu saya berusaha sebisa-bisanya untuk masuk ke alam pikiran mereka sealamiah mungkin. “When in Rome, speak as the Romans do” selalu saya usahakan sebisa-bisanya. Istri sayalah biasanya yang memiliki waktu dan kesempatan yang sangat berharga tersebut dan setelah itu diceritakan kembali pada saya.Tapi kemarin kami punya waktu cukup bagus ketika sedang makan malam. Saya tidak ada pekerjaan kantor yang harus saya kerjakan malam itu untuk persiapan esoknya dan tak ada tugas-tugas sosial lain yang biasanya menyita hari-hari libur saya.
Tanpa saya rencanakan topik yang menggelinding di meja makan adalah tentang Haryanto si Anak Malang yang meski nyawanya bisa diselamatkan tapi terpaksa akan cacat seumur hidup karena usaha bunuh dirinya tersebut.
Mendengar cerita tersebut anak-anak saya yang berumur 10 dan 7 tahun berkomentar
”Kenapa harus malu ? Bilang saja pada guru,”Bu Guru, saya tidak bisa bayar karena saya miskin.” kata si adik.
Ia beranggapan bahwa berterus-terang adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Kenapa pikirannya sependek itu ? Kalau aku akan berpikir panjaaaaang sekali. Soalnya aku kan takut mati.” sahut si kakak.
Si Kakak berpendapat bahwa ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah tersebut dan bunuh diri is way….way…too far for him. Masalah mati pernah kami bahas dan ia selalu menyatakan bahwa tinggal di lubang kubur yang sangat sempit sangatlah tidak menyenangkan.
“Ya, udah. kalau nggak punya uang ya nggak usah ikut pelajaran KTK,” tambah si adik.
KTK yang ia maksud adalah pelajaran ketrampilan dan maksudnya adalah agar tidak memaksakan diri dan menerima keadaan apa adanya.
Beberapa komentar lain tidak saya ingat lagi dan saya juga berusaha untuk tidak mempengaruhi pendapat mereka dengan menambahkan pendapat saya. I enjoy watching them. Tugas saya adalah untuk mengeksplorasi pendapat-pendapat mereka.
Percakapan kemudian bergeser ke topik tentang kemiskinan. Si Adik rupanya penasaran tentang seberapa miskin si Haryanto ini sehingga membuatnya malu. Ia lantas bertanya.
“Punya rumah nggak dia ? Punya kursi nggak. Rumahnya ada airnya nggak”
Nampaknya standar yang dipakainya apakah seseorang itu kaya atau miskin adalah apakah memiliki rumah beserta perabotannya atau tidak. Air nampaknya masuk dalam perhitungannya karena ia tahu ada seorang temannya yang tinggal di kampung kami yang dianggap miskin dan rumahnya tidak memiliki fasilitas PDAM sehingga harus mandi di luar rumah. Nampaknya ia akan membandingkannya dengan kondisi temannya tersebut.
Ketika kami jelaskan bahwa rumah di desa itu keadaannya tidak seperti rumah mereka yang nyaman ini dan seringkali rumah di desa hanya berlantaikan tanah, si adik langsung penasaran dan bertanya.
“Lho, lantas tidurnya di mana, kalau basah kan becek? ”
Kebetulan kasur mereka memang tidak kami letakan di atas ranjang dan tergeletak di atas lantai begitu saja.
Ketika kami jelaskan bahwa orang dengan kondisi semiskin itu seringkali tidak punya sesuatu untuk dimakan mereka nampaknya sangat terpengaruh. Mereka tercenung dan secara otomatis mereka meletakkan sendok mereka dan berhenti makan. Pada saat itulah istri saya dengan ‘sigap’ memasukkan pesan-pesannya.
“Makanya, kalian harus bersyukur masih bisa makan setiap hari. Jangan selalu mengeluh bosanlah, tidak enaklah, mau inilah, mau itulah. Ayo cepat habiskan makan kalian.”
Kalau saja saya tidak menyenggol kakinya, istri saya tentulah akan meneruskan ‘memberondong’ anak-anak kami dengan ‘pesan-pesan sponsor’nya. Maklumlah, anak-anak selalu berusaha untuk menolak apapun yang disediakan oleh ibu mereka. Biasanya anak-anak kami dengan sigap pula akan membalas ‘tembakan-tembakan’ ibunya dan suasana akan berubah menjadi ‘the wild wild west’ dan saya harus berdiri di tengah-tengah mereka mengibar-ngibarkan bendera putih sambil berteriak ‘Cease fire….cease fire..!” Tapi untunglah cerita tentang Haryanto membuat mereka ‘touched’ dan tidak terpancing dengan ‘provokasi’ Mama mereka. Suasana begini terlalu indah untuk diubah menjadi ‘a routine day of battling arguments”
Si Kakak yang tiba-tiba berubah menjadi sentimental lantas mengajukan usul untuk mengunjungi Haryanto untuk melihat-lihat apa yang bisa kami lakukan untuknya. Meski selalu melawan jika dinasehati (dan harus saya akui bahwa itu mengalir dari bapaknya) si Kakak memang mudah jatuh simpati pada orang-orang yang dianggapnya patut dikasihani. Ia pikir Haryanto tinggal dekat-dekat dengan rumahnya. Ketika kami sampaikan bahwa Haryanto tinggal di Jawa ia mengusulkan untuk sekali-sekali kami berkunjung ke rumah-rumah orang miskin.
“Yok kita pecahin tabungan kita untuk kita berikan ke orang miskin, Kak!” si adik menyahut. Rupanya ia juga terinspirasi oleh ajakan kakaknya. Lagipula ia ingat pada tabungannya yang sudah penuh dan ingin ia buka tapi dilarang oleh mamanya.
“Eit! Tidak ada acara pecah-pecah tabungan.” si mama menyahut dengan gaya khasnya sebagai ‘The Guardian of the Law’. Si adik sudah siap-siap untuk membalas ketika dengan sigap saya putar kemudi dan mengalihkan topik.
“Oke, seperti usul Kakak lain kali kita akan mengunjungi rumah-rumah orang miskin dan kita akan coba bantu mereka semampu kita.”
Semua setuju dan diskusi berakhir dengan sangat manisnya.
Diam-diam saya bersyukur pada Tuhan atas suasana tersebut. “Ya, Tuhan. Begitu besar nikmat yang kau berikan pada kami hari ini. Terima kasih, ya Tuhan!” ucap saya dalam hati sambil mengemasi piring dan sendok untuk kubawa ke dapur.
Satria Dharma
satriadharma2002@yahoo.com
Diambil dari milis sd-islam
0 komentar:
Posting Komentar