Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

SUTRAH DALAM SHALAT (TABIR PEMBATAS)


SUTRAH DALAM SHALAT
(TABIR PEMBATAS)


I.      DEFINISI
a. Secara Bahasa: Dari sisi bahasa kata sutrah adalah bentuk jamak (plural) dari kata sa-ta-ra berarti menutupi. Maka sutrah berarti sesuatu yang menutupi.[1]
b. Secara Istilah:  Menurut syara’ sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.[2]
II.    MASYRU'IYYAH
Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah bersabda:
لاَ تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن
Artinya: "Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorang pun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan yang bersamanya." (HR. Muslim di dalam ash-Shahih)
Dari Abu Sa'id al-Khudri dia berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Artinya: "Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorang pun lewat di antara engkau dengan sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah syetan." (HR. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan)
Hadits riwayat Sahl bin Abi Hutsamah, dari Nabi beliau bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaklah ia mendekat sehingga syaithan tidak dapat memutus shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan lainnya. di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/ 272) dan hadits tersebut shahih)
III.  HUKUM SUTRAH
Maryolitas ulama’ berpendapat disukainya sutrah sebagai pembatas antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah dengan menggunakan garis telah mencukupi?
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian yang lainnya mengatakan sunnah.
Wajib
Hukumnya wajib shalat menghadap sutrah, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi.
Kewajiban ini dikuatkan oleh alasan syar'i dengan tidak batalnya shalat seseorang karena dilewati oleh perempuan baligh, keledai atau anjing hitam dan dilarangnya seseorang lewat di depan. Hukum wajibnya membuat sutrah ini dipilih asy-Syaukani dalam Nailul Authar (III/2) dan as-Sail al-Jarrar (I/176). Inilah yang diutarakan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (IV/8-15) [3]
Imam asy-Syaukani mengomentari hadits Abu Sa'id a di atas: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib." [4]
Dia juga berkata dalam As-Sailul Jarraar (1/176): "Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau: "Sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakan." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menghilangkan sebagian pahalanya.
Di antara yang menguatkan wajibnya sutrah: "Sesungguhnya sutrah itu sebab syar'i, dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita baligh, keledai atau anjing hitam, terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[5]
Salafus shalih sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Datang perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan bahwa mereka sangat gigih dalam menegakkan, memerintahkan sutrah dan mengingkari orang yang shalat tidak menghadap kepada sutrah.
Qurrah bin 'Iyas berkata: "Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya."
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu Umar menginginkan agar dia shalat menghadap sutrah."
Ibnu Umar berkata: "Jika seorang dari kalian shalat, hendaklah dia menghadap sutrah dan mendekatinya, agar syetan tidak lewat di depannya."
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-sia: Seseorang shalat tidak menghadap sutrah... atau mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[6]
Ibnu at-Tirkamani berkata: "Saya katakan bahwa: Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah. Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang menunjukkan bahwa beliau shalat tidak menghadap sutrah."
Dari uraian di atas maka penulis buku al-Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, kesalahan orang yang shalat tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota Makkah atau tempat lainnya dalam hukum sutrah ini secara mutlak.[7]
Sunah Mu'akkad
Dalam Fiqhul Islam, DR. Wahbah Zuhaili menyebutkan: Hukum sutrah sunnah yang disyari'atkan, Dari Abu Sa'id al-Khudri dia berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Artinya: "Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorang pun lewat di antara engkau dengan sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah syetan." (HR. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan)
Kesepakatan Fuqoha, hukum sutrah bukan wajib, karena perkara ini dijadikan sebagai sunnah, tidak ditetapkan dari tiadanya batallah shalat. Bukan syarat dalam shalat. Para salaf tidak mewajibkannya, walaupun wajib mereka tidak melazimkannya, karena mendapat dosa orang yang lewat di depannya. Jika wajib maka orang yang shalatpun menjadi berdosa pula, dan karena "Nabi shalat di tanah lapang yang tidak ada sesuatu di depannya." (HR. Bukhari)[8]
Syaikh al-Utsaimin mengatakan: "Sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkad kecuali bagi makmum, maka ia tidak disunnahkan mengambil sutrah. Sudah cukup dengan sutrahnya imam."[9]
Shalat menghadap kepada sutrah sunnah hukumnya, baik mukim maupun safar, fardhu atau sunnah, di masjid maupun di tempat lain; karena keumuman hadits:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا
Artinya: "Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya.."
Dan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Juhaifah bahwa Nabi menancapkan tongkat dan mendekat padanya serta shalat dzuhur dua rakaat, lewat di depannya khimar dan anjing sedangkan ia tidak ditahan.
Karena perintah sutrah adalah disunnahkan bukan diwajibkan berdasar hadits bahwa Nabi shalat bersama manusia di Mina kepada selain tembok. Dan tidak disebutkan dalam hadits untuk mengambil sutrah.[10]
Hadits dari Thalhah bin 'Ubaidillah : Rasulullah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Artinya: "Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas". (HR. Muslim)
Pendapat Para Fuqoha
Para fuqoha mempunyai dua pendapat dalam menjadikannya mutlaq atau takut seseorang melewati depannya :
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berkata: Sutrah dalam shalat fardlu maupun nafilah disunahkan bagi imam dan orang yang shalat sendirian jika khawatir seseorang lewat di depan tempat sujudnya saja, sedang sutrah imam adalah sutrahnya makmum, karena Nabi di Bathha' Makkah shalat menghadap ke tongkat kecil sedangkan kaumnya tidak mengadakannya.
Tidak mengapa meninggalkan sutrah jika seseorang yang sholat merasa aman dari orang yang lewat dan tidak menghadap jalan.
Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat: Disunahkan bagi orang yang shalat untuk menghadap sutrah, baik di masjid maupun di rumah, untuk shalat menghadap dinding atau tiang. Jika di tanah lapang, menurut ulama Hanabilah, hendaknya ia shalat menghadap tongkat, gundukan tanah, penghalang berupa unta atau hewan tunggangannya. Jika tidak mendapatkan maka hendaklah ia membuat garis di depannya atau membentangkan tempat sholat seperti sajadah sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi'iyah. Dalil mereka adalah hadits Thalhah bin Ubaidillah:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Artinya: "Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas". (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 499)
Ulama al-Hanabilah menyebutkan: "Sesungguhnya tidak mengapa sholat di Makkah tanpa menghadap ke sutrah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ahmad "Bahwasanya beliau sholat ketika itu tidak terdapat sutrah antara beliau dengan orang yang thawaf" menunjukkan seakan dikhususkan bagi Makkah."[11]
IV.   HIKMAHNYA
Para ulama berkata: Hikmah diadakannya sutrah itu, untuk membatasi pandangan terhadap apa yang ada di belakang sutrah, disamping untuk menghalau orang yang akan melewatinya.[12]
Menahan orang yang lewat di depan orang yang sholat, akan memutus kekhusyu’annya, menempatkan orang yang shalat pada pembatasan pikirannya dalam shalat, tidak melayangkan pandangan kepada sesuatu dan mencukupkan pandangannya di belakang sutrah agar tidak menghilangkan kekhusyu’an.[13]
Imam Nawawi mengatakan, bahwa di antara hikmah disyari’atkan sutrah: Dapat menjaga pandangan dari sesuatu yang ada di belakang sutrah, melindungi dari orang yang berusaha melewatinya.
Dikatakan oleh al-Qadhi ‘Iyad sutrah dapat menghalau syetan lewat dan menghindar dari perkara yang dapat merusak shalat.[14]
V.     SIFAT SUTRAH DAN UKURAN SERTA BENTUKNYA
Sebagaimana termaktub dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya segala sesuatu setinggi mu’aharah ar-rahl (pelana onta) dapat dijadikan sutrah. Terdapat banyak riwayat, diantara bentuk sutrah yang pernah digunakan Nabi adalah sebagai berikut:
·         Shalat menghadap dinding, Nabi pernah shalat menghadap dinding masjid dan Ka’bah. (HR. Bukhari, 2/212)
·         Shalat menghadap ‘Anajah (sejenis tombak atau tongkat), riwayat dari Ibnu Umar, termaktub di dalamnya lafadz ‘Anajah. (HR. Muslim, 4/218)
·         Shalat menghadap Hirbah (sejenis alat yang terbuat dari besi setinggi kepala), riwayat dari Ibnu Umar. (HR. Muslim, 4/218)
·         Shalat menghadap tongkat, riwayat dari Anas bin Malik. (HR. Bukhari, 1/575)
·         Shalat menghadap kendaraan (onta), riwayat dari Ibnu Umar menerangkan bahwa Rasulullah shalat menghadap hewan tunggangan (onta), terdapat riwayat menjelaskan selainnya HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, 1/383.
·         Shalat menghadap pohon, riwayat dari Ali bin Abi Thalib mengabarkan bahwa Rasulullah shalat menghadap pohon. (HR. an-Nasa’i dalam al-Kubra dengan sanad yang hasan; al-Fath, 1/580 dan Tuhfatul Asyraf, 7/357, 358)
·         Shalat menghadap tempat tidur dan wanita sedang tidur, riwayat dari ‘Aisyah menjelaskan bahwa Nabi shalat menghadap tempat tidur sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. (HR. al-Bukhari, 1/581; 3/201)[15]
Adapun batasannya, Nabi ditanya tentang hal ini, beliau menjawab: "Setinggi bagian belakang hewan tungangan." (HR. Muslim)
Tapi ini bukan ukuran maksimal, kurang dari itupun sudah mencukupi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan: "Apabila salah seorang di antara kalian sedang shalat hendaklah mengadakan pembatas meskipun dengan anak panah." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'. Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah. Ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.
Telah tetap, bahwa Nabi shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Diantaranya riwayat dari Nabi bahwa beliau menancapkan tombak kecil lalu shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."
Dia berkata juga: "Perintah Nabi membuat sutrah dengan anak panah di dalam shalat. Hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana. Bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."
Berdasarkan uraian di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa`. Yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Imam Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[16]
Syaikh al-Utsaimin mengatakan: Dalam hadits lain riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan: "Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah dia membuat satu garis." Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Bulughul Maram. Tidak benar bahwa hadits ini riwayatnya goncang (mudhtharib). Tidak ada cacatnya yang harus ditolak. Kami katakan minimal garis maksimal setinggi punggung hewan tunggangan.[17]
VI.   JARAK DAN POSISI ORANG YANG SHALAT DENGAN SUTRAH
Jumhur ulama mensunnahkan untuk mendekat kepada sutrahnya paling sedikit 3 hasta dari tempat berdirinya, dengan dalil hadits Bilal: "Bahwa Nabi masuk Ka'bah, maka beliau shalat. Jarak antara beliau dan dinding tiga hasta"[18]
Imam al-Baghawi berkata: Para ahli ilmu menganggap sunnah mendekat ke sutrah itu, kira-kira antara dia dengan sutrah bisa dipergunakan untuk sujud. Begitu juga halnya antara shaf-shaf sholat.[19]
وعن سهل بن سعد قال : كان بين مصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين الجدار ممر شاة. متفق عليه.
Artinya: Dari Sahl bin Sa'ad ia berkata: “Adalah jarak antara tempat sholat Rasulullah dengan dinding, kira-kira cukup berlalunya domba”. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)[20]
Rasulullah apabila melaksanakan shalat menghadap tembok, maka ia jadikan antara dirinya dengan tembok sekitar tempat jalannya seekor kambing, beliau tidak pernah menjauh darinya, bahkan memerintahkan untuk mendekat kepada sutrah.[21]
Posisi
Sebagian ulama mensunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. Demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.
Apabila makmum masbuq berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shaf kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."
Inilah yang dikatakan oleh Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusyd, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuq yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[22]
Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Hal ini dikarenakan pada asalnya seorang makmum yang masbuq seharusnya tetap shalat sebagaimana yang diperintahkan, dan dalam kondisi demikian tidak wajib baginya sutrah sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari Imam Malik. (Lihat, Syarah aj-Jarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)[23]
VII. BERJALAN DIDEPAN ORANG SHALAT
Dari Abi Nadlar –bekas hamba sahaya Umar bin Ubaidillah- dari Basr bin Sa'id dari Juhaim, Abdullah bin al-Harits bin Shimahm al-Anshari, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah: "Seandainya orang yang berjalan di depan orang yang sholat itu mengetahui akan yang akan menimpa dirinya, niscaya ia akan berhenti selama 40 itu lebih baik beginya daripada ia berjalan di depan orang yang sedang sholat”. Abu Nadlar berkata : "Aku tidak tahu ketika itu Nabi berkata : Empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun. (HR. Jama'ah)
Lewat di depan orang yang sholat di tengah-tengah thawaf
Para Fuqoha telah bersepakat bahwa sesungguhnya diperbolehkan lewat di depan orang yang sholat bagi orang yang thawaf di Baitullah, di dalam ka'bah atau di belakang maqam Ibrahim, walaupun terdapat sutrah. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa tidak diharamkan lewat di depan orang yang sholat di Makkah atau masjid Haramnya.[24]
Syekh al-'Utsaimin berkata: "Jika orang yang sedang shalat itu sebagai imam atau shalat sendirian maka tidak diperbolehkan lewat di depannya baik di masjidil Haram maupun di tempat lain berdasarkan keumuman dalil. Tidak ada dalil khusus yang menyebutkan bahwa lewat di depan orang yang shalat di Makkah ataupun di Masjidil Haram tidak mengapa atau tidak berdosa."[25]
VIII.  MENCEGAH ORANG YANG LEWAT
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Artinya: "Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorang pun lewat di antara engkau dengan sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah syetan." (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah dari Abi Sa'id)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Jumhur berpendapat bahwa apabila ada seseorang lewat, kemudian orang yang sedang sholat itu tidak menolaknya, dia tidak harus untuk menarik kembali orang yang lewat itu, karena yang demikian itu berarti menyuruh mengulang berjalan di hadapan orang yang sedang sholat."
Syarih berkata: "Abu Nu'aim meriwayatkan dari Umar, ia berkata: "Kalau sekiranya orang yang sedang sholat itu mengetahui kekurangan sholatnya lantaran dilalui oleh orang yang di depannya itu, niscaya ia tidak akan sholat kecuali  dengan menghadap ke sesuatu yang dapat menutup (lintasan)orang."[26]
IX.   KHATIMAH
Demikianlah pembahasan yang dapat disampaikan tentang permasalahan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat. Untuk lebih menegaskan permasalahan yang ada, berikut kami sampaikan beberapa kesimpulan dari pembahasan di atas.
§    Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
§    Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak
§    Ukuran minimal sutrah adalah satu dzira’(sehasta) atau sekitar 45 cm dan dalam bentuk apapun. Adapun sekiranya ada halangan untuk menggunakan yang demikian sesudah berusaha semaksimal mungkin, maka diperbolehkan menggunakan sutrah dalam bentuk apapun dan setinggi berapapun yang lebih rendah dari yang semestinya, meskipun dalam bentuk garis. (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27; Ibnu Majah, 1/303)  
§    Jarak orang yang shalat dengan sutrah adalah 3 dzira’ (tiga hasta).
§    Sutrah hukumnya wajib bagi imam atau seorang shalat sendirian baik shalat fardhu atau shalat sunnah, laki-laki atau wanita. Sedang makmum tidak diwajibkan karena sutrah imam adalah sutrahnya makmum.
§    Diharamkan melewati orang yang sedang shalat, baik dalam keadaan tertutup dengan sutrah atau tidak. Jika dia tertutup dengan sutrah maka haram hukumnya melewati di antara dia dan sutrah, kecuali dia seorang makmum.
§    Sebagian ulama mensunahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. Demikian itu tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.
§    Hukum sutrah berlaku baik di Makkah maupun di luar Makkah.
§    Dalam shalat berjama'ah, makmum tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah terletak pada sutrahnya imam.
§    Jika imam tidak membuat sutrah, sesungguhnya dia telah memburukkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia. Sedang bagi makmum tidak wajib membuat sutrah dan menahan orang yang melewatinya.[27]

Akhirnya, semoga pembahasan sederhana bermanfa’at bagi kita semua. amin. Wallahu a'lamu bish shawab.
والله أعـــــــلم بالصـــــــــواب


REFERENSI
1. Mu'jamul Wasith.
2.                http://www.alsofwah.or.id,
3.                Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani.
4.                Nailul Authar (edisi Indonesia), Imam Asy Syaukani.
5.                Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan.
6.                Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili.
7.                Majmu' Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh 'Utsaimin.
8.                Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts.
9.                Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah.


[1] Mu'jamul Wasith, hlm. 416, Ar-Ra’id, Jubran Mas’ud.
[2] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id, FiqhulIslami, DR. Wahbah Zuhaili, 2/939
[3] Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35
[4] Nailul Authar (edisi Indonesia), Imam Asy Syaukani, 2/651
[5] Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35
[6] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79
[7] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79
[8] Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili, 2/939
[9] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh 'Utsaimin, hlm.380
[10] Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts, 7/76-77
[11] Fiqhul Islam, 2/941
[12] Nailul Authar (edisi Indonesia), 2/651
[13] Fiqih Islam
[14] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id, Syarah Muslim, 4/216
[15] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id
[16] Lihat: Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35, Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).
[17] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia), Syaikh 'Utsaimin, hlm.380
[18] HR. Ahmad dan An Nasa' i. Maknanya bagi Bukhari dari hadits Ibnu Umar.
[19] Nailul Authar, 2/651
[20] Mukhtashar Sahih Muslim, hlm. 75.
[21] Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 2/295
[22] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79
[23] www.alsofwah.or.id
[24] Fiqhul Islami, DR. Wahbah Zuhaili, 2/948
[25] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh 'Utsaimin, hlm.381
[26] Nailul Authar (edisi Indonesia), 2/666
[27] Khatimah disadur secara ringkas dan bebas dari Ahkaam as-Sutrah, karya Syaikh Muhammad bin Rijq bin Tharhuuniy oleh Ibnu ‘Arbai’in Husnul Yaqin dan Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79

1 komentar:

  1. Saya Achmad Halima Saya ingin menyaksikan karya bagus ALLAH dalam hidup saya untuk orang-orang saya yang tinggal di sini di Indonesia, Asia dan di beberapa negara di seluruh dunia.
     Saat ini saya tinggal di Indonesia. Saya seorang Janda dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada MARET 2017 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya,
    Saya adalah korban penipuan pemberi kredit 3-kredit, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang yang saya berutang, saya dibebaskan dari penjara dan saya bertemu dengan seorang teman, yang saya jelaskan mengenai situasi saya dan kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dapat diandalkan.
    Bagi orang-orang yang mencari pinjaman? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman di internet penipuan di sini, tapi mereka masih sangat nyata di perusahaan pinjaman palsu.
     Saya mendapat pinjaman dari ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM sebesar Rp900.000.000 dengan sangat mudah dalam waktu 24 jam setelah saya melamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus ALLAH melalui ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya saran jika anda membutuhkan pinjaman silahkan hubungi ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM. hubungi mereka melalui email:. (alexanderrobertloan@gmail.com)
    Anda juga bisa menghubungi saya melalui email saya di (achmadhalima@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman.

    BalasHapus