Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Mama Tidak Masak


Mama Tidak Masak

- “Mama ga masak, Sa.” Glek, lambungku kecewa. Getar-getar nestapanya kian memilukan. Lapar...lapaar, erangnya berkali-kali. Merintih, sakit. Sehabis pulang kerja malam ini, aku tahu hanya satu itu saja permintaannya. Tiada lain. Tapi, itupun tak terpenuhi. Aduuh, gimana sih Mama? Aku harus makan apa malam ini?!
“Mama masak mi aja, ya?”
Risalah langit terngiang-ngiang. Pekak telinga, hati. Tentang dosa durhaka pada orang tua. Malin Kundang. Akhirnya, mau cemberut, ditahan sekuat mungkin. Muka didatarkan, haram ditekuk. Bayangan tentang makan enak, sayur hijau berkuah, dan lauk yang menggiurkan, terpaksa kusingkirkan. Itu sudah tak mungkin lagi malam ini, kecuali soal nasi. Banyak pulennya di magic jar, yang umurnya sudah bertahun-tahun itu. Menyerah, aku mengangguk. Mama mulai memasak.
Malam larut terus. Aku terus menunggu dan menunggu. Makanan yang dijanjikan Mama belum juga matang. Lama sekali. Satu detik, lapar ratusan menit. Dua detik, lapar ribuan menit. Aku mulai mengeluh. Ah, betapa sering hal seperti ini terjadi. Pulang kantor, lauk-pauk tak tersedia. Padahal aku selalu mendambakan masakan hangat yang ramah menyapa amarah perutku. Lahap, mengenyangkan. Seringkali begitu. Walau sebelum pulang terkadang aku jajan bakso atau es campur favoritku di Pulo Gadung, tetap saja masakan berat buatan Mama is the best. Yang lain kalah, deh!
Memang, Mama tak lagi seideal dulu. Masakannya sering tersita waktu untuk berdagang kelontong dan bekerja membersihkan rumah. Mencuci piring, baju, lantai. Menjemur, menyapu, berdagang. Menimbang minyak, gula, telor. Untuk dijual. Berbelanja ke pasar untuk keperluan warung dan anak-anaknya. Sesekali beliau juga harus kerepotan mengatasi banjir yang tak segan memasuki rumah bila hujan deras basahi bumi. Dan untuk mengganti semua itu, Mama hanya sempat tidur siang. Itupun cuma sebentar. Semua dilakukannya sendirian sepanjang hari. Habis mau bagaimana lagi? Tiga anaknya (termasuk aku) sudah bekerja semua. Pagi sudah pergi kerja, kembali menjelang senja (bahkan malam). Kalau dulu, ketika dua dari tiga anaknya menganggur, beliau masih bisa terbantu.
Kini..perutku kian lapar. Rintihannya, ratapannya, dan keluh kesahnya yang berkepanjangan adalah buah dari pohon rutinitas Mama yang padat. Sangat padat, hingga aku mesti menahan lapar, walau bukan sedang berpuasa.Tapi kalau ingat semua jasanya...
“Sa, ini mie-nya sudah matang. Pake nasi makannya, biar kenyang.” Beliau tersenyum. Jilbab putih mirip kepunyaan Sulis (Hadad Alwi) itu masih lekat di kepalanya. Badannya letih, tapi tetap sempat memasakkan sepiring mie goreng instant untuk perut si bungsu yang lapar.
“Terima kasih, ya, Ma.” aku tak tahu harus berkata apalagi. Terlalu kagum. Terlalu haru.

0 komentar:

Posting Komentar