Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Selasa, 13 Desember 2011

Kisah Nabi SHALIH AS


Kisah Nabi SHALIH AS


Kaum Tsamud ialah kaum ‘Ad generasi kedua yang tinggal di daerah Al-Hijr dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka itu dikenal sebagai ahli dalam bidang peternakan dan pertanian. Mereka diberi sejumlah ni’mat, sehingga mereka dengan mudah membangun istana-istana yang megah serta pondokan-pondokan yang dibangun di atas gunung-gunung yang diukir dan dihiasi dengan berbagai hiasan yang indah.

Kemudian mereka menyalahgunakan dan mengkufuri ni’mat-ni’mat tersebut serta beribadah kepada tuhan selain Allah, dan Allah mengutus kepada mereka saudara mereka yaitu Nabi Shalih AS dari suku mereka, sehingga mereka pun mengetahui keturunannya, kemuliaannya, keutamaannya, kesempurnaannya, kejujurannya serta keamanahannya. Kemudian Nabi Shalih AS menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah Ta’ala, ikhlas dalam menunaikan perintah agama-Nya, meninggalkan kebiasaan mereka beribadah kepada selain-Nya dan mengingatkan mereka dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi pada umat-umat sebelum mereka, tetapi tidak ada yang mentaatinya, kecuali hanya sedikit.

Saat Nabi Shalih AS mengingatkan mereka dan menuturkan dalil serta keterangan yang menjelaskan wajibnya mengesakan Allah, tetapi mereka memperlihatkan keingkaran, penentangan dan kesombongan, seraya berkata, “Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan.” (Hud: 62). Yakni dulu kami berharap; bahwa kamu lebih utama dari kami semuanya, karena kesempurnaan dirimu, kemuliaan akhlakmu dan pendidikanmu yang baik.
Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam kitabnya al-Bidâyah Wa An-Nihâyah (1/133) telah menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan.” (Hud: 62), seraya berkata: “Yakni sebelum ini kami berharap bahwa akalmu itu sempurna sebelum seruan tersebut; yaitu seruanmu yang memerintahkan supaya beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan tuhan-tuhan yang kami sembah berupa berhala-berhala serta patung-patung sebagai ajaran agama nenek moyang kita.” Berkenaan dengan seruan itu, seraya mereka berkata: “… apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (Hud: 62).

Itulah pengakuan mereka yang disampaikan kepada Shalih AS mengenai kesempurnaan hal-hal itu sebelum ia menyerukan agama yang diserukannya.

Tidaklah ada penyebab yang menjatuhkan martabat Nabi Shalih AS di hadapan mereka kecuali menyeru mereka supaya beribadah kepada Pencipta dan meninggalkan beribadah kepada mahluk serta berusaha mendapatkan kebahagiaan yang abadi, dan tidak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali menentang nenek moyangnya yang sesat dan mereka lebih sesat daripada nenek moyang mereka.

Nabi Shalih AS menunjukkan bukti yang besar, ayat-ayat yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah, dalil-dalil yang membuktikan kebenaran kerasulannya dan memohon ni’mat untuk seluruh kabilah, seraya berkata, “Inilah unta betina dari Allah.” (Hud: 64) yang tidak akan ada seekor unta pun yang akan menyamainya dalam hal tubuhnya, kemuliaannya dan manfaatnya “… sebagai mu’zijat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu.” Yakni yang menunjukkan kebenaranku dan kelapangan rahmat Rabb-mu.

“… sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (Hud: 64). Allah-lah yang mengurus rezkinya serta kamu yang mengambil manfaatnya. Suatu hari saluran air tersumbat maka seluruh kabilah datang memerah puting susu unta itu, dimana masing-masing memenuhi wadahnya. Datanglah kalian pada hari yang kedua, maka unta itu akan tetap mengeluarkan air susu seperti itu menurut kehendak Allah.

Di kota mereka Al-Hijr terdapat “sembilan orang laki-laki” (An-Naml: 48) dari kalangan pembesar-pembesar mereka yang menentang keras seruan Nabi Shalih AS dan benar-benar menyimpang dari jalan Allah. Mereka “membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (An-Naml: 48).

Nabi Shalih AS memperingatkan mereka atas pembunuhan unta tersebut, ketika ia melihat kesombongan dan penolakan mereka terhadap kebenaran. Sedangkan yang pertama dilakukan oleh para pembesar yang jahat itu adalah mengadakan sebuah pertemuan umum untuk membunuh unta itu dan mereka sepakat untuk membunuhnya. Kabilah yang menganjurkan pembunuhan itu adalah kabilah yang paling celaka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (Asy-Syams: 12). Setelah mereka bersepakat dan menganjurkan untuk membunuh unta tersebut, maka mereka pun bersiap-siap untuk membunuh unta tersebut. Mereka semua setuju, bahkan mereka pun memerintahkan supaya membunuhnya. Pembunuhan itu menjadi penyebab kebinasaan kabilah-kabilah tersebut seluruhnya.

Ketika Nabi Shalih AS merasakan peristiwa yang sedang terjadi dan ia menyaksikan dengan pandangan yang ketakutan, maka ia merasa yakin bahwa adzab niscaya akan segera datang, karena kedurhakaan telah mencapai puncaknya dan di dalamnya tidak ada lagi harapan untuk meluruskan mereka, sehingga Nabi Shalih AS berkata kepada mereka, “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (Hud: 65). Nabi Shalih AS telah mengingatkan mereka dengan peringatannya tersebut baik yang dekat maupun yang jauh.

Di sela-sela waktu tersebut kesembilan orang laki-laki yang jahat bersepakat untuk melakukan suatu perbuatan yang lebih kejam daripada membunuh unta betina; yaitu membunuh nabi mereka Shalih AS, dimana mereka berjanji dan bersumpah dengan sumpah yang keji, dan mereka menyembunyikan rencana itu karena takut mendapat larangan dari anggota keluarganya karena Shalih AS berada di lingkungan rumah (keluarga) yang mulia dan terhormat. Mereka pun berkata, “… kita sungguh-sungguh akan menyerang mereka dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari.” (An-Naml: 49). Kemudian jika anggota keluarganya menyangka kepada kita, bahwa kita telah membunuhnya, hendaklah kita bersumpah kepada ahli warisnya, bahwa kita “tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (An-Naml: 49). Selanjutnya mereka merencanakan pelaksanaan kejahatan besar itu, tetapi meskipun mereka merencanakan makar (tipu daya) dengan sungguh-sungguh, maka Allah juga merencanakan makar untuk menyelamatkan Nabi-Nya Shalih AS.

Pada saat mereka bersembunyi di lembah sebuah gunung menunggu datangnya kesempatan membunuh Shalih AS maka Allah menimpakan siksaan pertama sekali kepada mereka, sehingga mereka terjerumus ke dalam neraka Jahannam mendahului kaum mereka, dimana Allah SWT telah menggelindingkan sebuah batu besar dari puncak gunung itu dan menimpa mereka, sehingga mereka mati sangat mengenaskan.

Kemudian setelah sempurna tiga hari, maka terdengarlah suara pekikan yang sangat keras dari atas kepala mereka dan terjadi gempa yang dahsyat dari bawah kaki mereka, sehingga mereka pun menjadi mayit-mayit yang bergelimpangan. Sedang Allah menyelamatkan Nabi Shalih AS serta orang-orang yang bersamanya dari kaum mukminin. Selanjutnya Nabi Shalih AS berpaling dari mereka yang durhaka, seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbmu, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.” (Al-A’raf: 79).
Pemberitahuan itu disampaikan oleh Nabi Shaleh AS kepada kaumnya setelah mereka binasa, dan ia mengalihkan keadaan mereka dari keadaan mereka yang sesungguhnya kepada keadaan mereka yang lainnya, seraya ia berkata kepada mereka: “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbmu, dan aku telah memberi nasehat kepadamu.” (Al-A’raf: 79)
“… tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.” (Al-A’raf: 79). Yakni tetapi tabi’atmu tidak mau menerima kebenaran dan tidak menghendakinya, sehingga kamu lebih memilih jalanmu yang di dalamnya diliputi dengan adzab yang pedih serta abadi, dan aku tidak memiliki suatu alasan untuk menyelamatkanmu serta mencegah adzab darimu. Sedangkan kewajiban yang telah dibebankan kepadaku yaitu menyampaikan risalah dan memberikan nasehat kepadamu telah aku lakukan, bahkan aku melakukannya dengan segenap kemampuanku, tetapi Allah melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.
Pemberitahuan semacam itu juga pernah disampaikan oleh Nabi SAW kepada mayit-mayit dari pasukan musuh saat perang Badar setelah tiga malam, dimana beliau berdiri di hadapan mereka dan menyeru mereka sambil menyebut nama mereka serta nama nenek moyang mereka, seraya bersabda: “Apakah kamu telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan Rabbmu sebagai suatu kebenaran?” Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya mereka sekarang sedang mendengarkan apa yang aku katakan.” Untuk lebih jelasnya lihat kitab al-Bidâyah Wa an-Nihâyah (1/137-138).


Pelajaran-Pelajaran Yang Dapat Dipetik

Di antara faidah yang berkaitan dengan kisah tersebut, bahwa seruan semua nabi adalah satu (sama).

Orang yang telah mendustakan salah seorang dari mereka maka ia telah mendustakan semuanya karena telah mendustakan kebenaran yang telah dibawa oleh salah seorang dari mereka. Karena itu maka di dalam setiap kisah dikatakan, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy-Syu’ara: 105) “Kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul.” (Asy-Syu’ara: 123) dan “Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul.” (Asy-Syu’ara: 141).

Faidah lainnya, bahwa siksaan Allah yang ditimpakan kepada umat-umat yang durhaka ditimpakan ketika kedurhakaan dan keingkaran mereka telah mencapai puncaknya, sehingga kekufuran dan kedustaan mereka mewajibkan kebinasaan, akan tetapi kebinasaan tersebut terjadi setelah kejahatan mereka sudah merajalela. Dengan demikian, datangnya siksaan kepada orang-orang zhalim dan durhaka terjadi setelah kedurhakaan mereka mencapai puncaknya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar mengawasi, dimana Allah akan menangguhkan atau membiarkannya terlebih dahulu, sehingga saat Allah menyiksa mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang datang dari Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.

Faidah lainnya, bahwa keyakinan yang bathil yang telah berakar yang diwarisi dari orang-orang yang dipandang baik oleh mereka baik nenek moyang atau yang lainnya merupakan penghalang terbesar untuk menerima kebenaran.

Keyakinan yang bathil tidak ada kaitannya dengan soal kafilah dan tidak pula dengan soal golongan, dan ia tidak memiliki kedudukan yang kuat dalam soal hujjah yang benar yang menunjukan kepada kebenaran. Karena itulah penolakan terbesar yang dilontarkan oleh kaum Nabi Shalih AS terhadap dakwahnya, bahwa mereka mengatakan: “… apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (Hud: 62).

Semua umat yang mendustakan dakwah para rasul berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az-Zukhruf: 23).

Itulah alasan yang dipegang teguh oleh mereka yang menempuh jalan yang bathil; jalan yang ditempuh syetan-syetan untuk menyimpangkan manusia dari jalan Allah. Sedang jalan para rasul adalah jalan petunjuk dan kebenaran, maka tidak ada jalan setelah jalan tersebut, kecuali jalan kesesatan.




0 komentar:

Posting Komentar