Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Selasa, 13 Desember 2011

KISAH NABI NUH AS


KISAH NABI NUH AS


Sepeninggal Nabi Adam AS, manusia tinggal dalam kurun waktu yang cukup lama sebagai umat yang satu yang mengikuti petunjuk. Setelah itu mereka berselisih dan setan pun memasukkan kejelekan yang bermacam-macam kepada mereka dengan berbagai cara:

Ketika sejumlah orang shalih dari kaum Nabi Nuh AS meninggal dan kaum itu bersedih atas meninggalnya mereka, maka syetan datang kepada mereka serta memerintahkan mereka supaya membuatkan patung mereka sebagai tugu silsilah serta untuk mengenang perilaku mereka, dan itulah awal timbulnya penyimpangan akidah.

Setelah mereka yang membuat patung orang-orang shalih binasa, maka datang generasi setelah mereka dan pengetahuan tentang sejarah patung itu telah hilang maka syetan berkata kepada mereka, “Patung-patung tersebut adalah wadd, suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr, dan nenek moyangmu telah menyembah patung-patung itu serta memohon pertolongan kepada patung-patung tersebut. Dengan patung-patung itulah mereka meminta hujan dan di jauhkan dari penyakit.” Syetan terus-menerus membujuk mereka, sehingga akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut dengan sungguh-sungguh walaupun datang kepada mereka nasehat dari para pemberi nasehat.

Al-Bukhari telah meriwayatkan (4920) dari Ibnu Abbas RA berkenaan dengan firman Allah Ta’ala: Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.” (Nuh: 23), seraya berkata: “Nama-nama itu adalah nama-nama orang-orang shaleh dari Nabi Nuh AS, dan ketika mereka wafat, maka syetan membisikkan kepada kaum mereka supaya membuatkan patung mereka di majlis-majlis mereka dan menamai patung-patung itu dengan nama-nama mereka, kemudian mereka melakukannya, tetapi belum disembah. Sehingga ketika mereka binasa maka syetan pun mengganti pengetahuan tentang patung-patung tersebut sehingga akhirnya disembah.”

Kemudian Allah mengutus Nabi Nuh AS di tengah-tengah mereka, dimana mereka mengetahuinya serta mengetahui kebenaran yang dibawanya, kejujurannya dan kesempurnaan akhlaknya, seraya berkata, “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59).

Nuh AS memerintahkan kepada mereka supaya memperoleh kebaikan baik di dunia maupun di akhirat, seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (Nuh: 1-4).

Ketika Nuh AS mulai memerintahkan kepada mereka supaya beribadah kepada Allah semata dan membuang pikiran mereka yang keliru serta menjauhi perbuatan menyimpang yang mereka perbuat yang mendatangkan siksaan di dunia dan di akhirat, seraya mereka menjawab, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (Al-A’raf: 60). Dalam ayat lain dikatakan, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27).

Mereka menuntut Nuh AS agar mengusir orang-orang yang bersamanya dari kaum mukminin sebagai tuntutan yang muncul dari kesombongan sebagian dari mereka, penghinaan terhadap kebenaran dan pelecehan terhadap mahluk.

Kemudian Nuh AS menjelaskan kepada mereka bahwa ajaran yang dibawanya bukanlah ajaran yang sesat, melainkan hendak menghilangkan kesesatan dari mahluk, dan ia adalah seorang rasul yang membawa kebenaran dan keterangan yang nyata dari Rabb-nya. Sedangkan berkenaan dengan keberadaan orang-orang yang beriman, maka tidak sepatutnya mengusir mereka, bahkan mereka berhak mendapatkan penghormatan dan penghargaan; dan ia tidak akan menyerukan kepada mereka seruan yang membuat Rabb-nya mendatangkan kesempitan di dalamnya, seraya Nuh AS berkata, “Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): “Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak juga mengetahui yang ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan: “Bahwa sesunguhnya aku adalah malaikat”, dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka.” (Hud: 31).

Nuh AS terus-menerus menyeru mereka siang dan malam; secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan, tetapi seruannya itu hanyalah menambah mereka lari dari kebenaran, dan semakin menunjukkan penentangan dan kedurhakaan mereka dengan semakin giat beribadah serta bersandar kepada selain Allah, sehingga Nuh AS berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu-daya yang amat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.” (Nuh: 21-23).

Ketika Nuh AS melihat bahwa peringatan tidak berfaidah sama sekali bagi mereka, bahkan setiap berganti tahun, maka kedurhakaan mereka semakin bertambah buruk dari kedurhakaan sebelumnya, seraya berkata, “Ya Rabbku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir.” (Nuh: 26-27).

Allah mengabulkan permohonan Nuh AS dan memerintahkan kepadanya supaya membuat perahu sebagai perlindungan dari-Nya. Pertolongan dan pendidikan yang baik dari Allah kepada Nuh AS melalui perintah pembuatan perahu merupakan karunia dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.

Dengan pembuatan perahu tersebut, maka Nuh AS memiliki keutamaan serta sebagai pelopor dalam pembuatan perahu yang bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia di sepanjang masa yang tidak terhitung dan tidak terhingga. Selanjutnya Allah memberitahu kepadanya mengenai kepastian ditenggelamkannya mereka, dan ia tidak mempertanyakan berita itu kepada Rabb-nya karena mereka adalah orang-orang zhalim.

Ketika Nuh AS sedang membuat perahu, maka sekelompok orang dari kaumnya melintas di hadapannya, kemudian mereka mengelilinginya sambil mencemoohkannya, sehingga ia berkata kepada mereka, “Jika pada hari ini kamu mencemoohkan kami, niscaya kami pun akan mencemoohkanmu ketika datang kepadamu kebinasaan (siksaan).”

Allah mewahyukan kepadanya, bahwa jika tiba waktu itu, maka seluruh permukaan bumi akan memancarkan mata air dari berbagai arah sehingga merendam tempat-tempat yang biasanya tidak terjangkau air, dan Allah memerintahkan Nuh AS supaya membawa setiap binatang sepasang-sepasang agar keturunannya terhindar dari kepunahan, karena tidak mungkin membawanya seluruhnya.

Hikmah diputuskannya mempertahankan keturunan seluruh binatang yang telah diciptakan Allah erat kaitannya dengan kemaslahatan hidup manusia. Kemudian ikut naik bersamanya semua orang-orang beriman baik laki-laki maupun wanita.

Kenyataannya saat itu, bahwa kaum Nuh AS tidak beriman kepadanya kecuali hanya sedikit; dan Allah menyuruh Nuh AS supaya membawa keluarganya, kecuali orang-orang yang telah ditetapkan celaka. Setelah Nuh AS menaikkan seluruh orang yang telah diperintahkan kepadanya, seraya berkata kepada mereka, “Sebutlah nama Allah pada saat berlayar dan ketika berlabuh, karena bagaimanapun besarnya sarana, tetapi tetap membutuhkan rahmat Allah serta tidak akan sempurna, kecuali atas pertolongan Allah.”

Seketika itu Allah memancarkan sejumlah mata air dari bumi dan memerintahkan langit supaya mencurahkan air hujan yang berlimpah-limpah, sehingga bertemu air yang memancar dari bumi dengan air yang tercurah dari langit, kemudian membajiri tempat-tempat yang rendah. Selanjutnya air naik sedikit demi sedikit hingga menjangkau tempat-tempat yang tinggi serta menggenangi puncak-puncak gunung yang tinggi. Sedang perahu itu berlayar membawa mereka (rombongan Nabi Nuh AS) dalam terpaan badai gelombang seperti sebuah gunung yang meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri.

Dalam keadaan yang sangat mengerikan itu, Nabi Nuh AS melihat putranya yang kafir** yang mengikuti agama kaumnya dan mengingkari agama yang telah dibawa bapaknya; dimana ia berlari seperti yang dilakukan kaumnya menghindari air yang mengalir sangat deras, lalu Nabi Nuh AS memanggilnya dengan suara lemah-lembut, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Hud: 42).

Putera Nabi Nuh AS yang kafir ialah Qan’an, sedang putera-puteranya yang beriman ialah Sam, Ham dan Yafits

Ketika itu kesombongan telah menguasai hati putranya, padahal ketika itu sifat tersebut telah hilang kecuali dari hati-hati yang tertutup, seraya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” (Hud: 43). Putranya tidak takut dengan bencana yang menimpa mereka, padahal air akan terus naik dan menggenangi puncak-puncak gunung, seraya Nabi Nuh AS berkata kepadanya, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang.” (Hud: 43). Pada saat itu tidak ada gunung, benteng atau tempat-tempat lainnya yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dari bencana tersebut, selain rahmat Allah. Sedang rahmat Allah saat itu hanya diperuntukkan bagi para penumpang perahu yang ikut bersama Nabi Nuh AS, “Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya.” (Hud: 43). Karena putranya telah menolak ajakannya sehingga ia termasuk dalam golongan orang-orang yang ditenggelamkan.

Allah menenggelamkan orang-orang kafir seluruhnya dan menyelamatkan Nabi Nuh AS dan semua orang-orang yang turut bersamanya. Hal itu menjadi bukti, bahwa ajaran agama yang dibawa Nabi Nuh AS mengenai tauhid, kebangkitan dari kubur dan lain-lain merupakan sesuatu yang hak, sedangkan ajaran mereka yang menentangnya adalah bathil. Juga menjadi dalil adanya balasan di dunia, dimana orang-orang beriman berhak memperoleh keselamatan dan kemuliaan, sedangkan orang-orang kafir berhak memperoleh kecelakaan dan kehinaan.

Setelah tujuan yang besar tercapai, maka Alllah Ta’ala memerintahkan kepada langit agar menghentikan air hujan dan memerintahkan kepada bumi agar menyerap air yang mengalir di atasnya yakni menguranginya sedikit demi sedikit. Ketika air surut, maka perahu itu bertengger di atas gunung Judiy; sebuah gunung yang sangat tinggi yang terletak di wilayah Maushil (wilayah di Irak bagian utara). Ini merupakan bukti bahwa semua gunung yang ada di sana terendam dan terlintasi air banjir.

Nabi Nuh AS merasa sedih dengan bencana yang menimpa putranya (Qan’an), sehingga ia pun memohon kepada Rabbnya dengan suara yang lemah-lembut dan penuh kekhusyuan seraya mendekatkan diri kepada-Nya, “Ya Rabbku sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.” (Hud: 45). Apabila aku membawa naik keluargaku bersamaku maka sesungguhnya Engkau Maha Penyayang di antara para penyayang.

Kemudian Rabbnya ‘Azza Wa Jalla berfirman kepadanya, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (Hud: 46). Yakni ia bukanlah anggota keluarga yang telah dijanjikan Allah akan diselamatkan, dan Allah telah membatasinya dengan firman-Nya, “… kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya.” (Hud: 40). Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (Hud: 46). Sedangkan do’a keselamatan itu kamu peruntukkan bagi puteramu yang jelas-jelas mengikuti agama kaumnya maka “… janganlahkamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46).

Itulah teguran Allah kepada Nabi Nuh AS, dimana Allah memberikan pengajaran serta nasehat kepadanya mengenai do’a semacam itu yang diucapkan semata-mata karena belas kasihan orang tua kepada putranya. Sedangkan hal yang wajib dalam berdo’a, bahwa pelakunya harus berilmu dan ikhlas di dalam memohon keridhaan Allah Ta’ala.

Nabi Nuh AS pun berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa adzab yang pedih dari Kami.” (Hud: 47-48).

Nabi Nuh AS turun dari perahunya dengan selamat, lalu Allah Ta’ala memberikan keberkahan kepada keturunannya yang beriman dan menjadikan keturunannya itu tetap hidup, dimana putranya yang bernama Yafits telah memenuhi wilayah bagian Timur dengan keturunanya, Ham telah memenuhi wilayah bagian barat dengan keturunannya dan Sam telah memenuhi wilayah di antara kedua wilayah tersebut dengan keturunannya.

Nabi Nuh AS hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun, dan ia hidup setelah kebinasaan mereka selama waktu yang telah ditetapkan menurut kehendak Allah.

Nabi Nuh AS adalah salah seorang dari para rasul ulul ‘azmi dan termasuk salah seorang dari rasul-rasul yang akan dimintai syafaat pada hari kiamat. Nabi Nuh AS ialah rasul yang pertama kali diutus kepada manusia dan menjadi bapak manusia yang kedua (setelah Nabi Adam AS).

Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata: “Bukan hanya satu orang salaf yang berkata: “Ketika orang-orang shaleh wafat, maka kaum mereka beri’tikaf di kuburan-kuburan mereka serta membuat patung-patung mereka, dan setelah kejadian tersebut berlangsung cukup lama, maka kaum mereka menyembah patung-patung mereka.”

Al-Qurthubi berkata: “Alasan kaum mereka membuatkan patung-patung mereka untuk mengenang mereka dan amal shaleh mereka, sehingga kaum mereka berharap memiliki kesungguhan seperti kesungguhan mereka serta beribadah kepada Allah di kuburan-kuburan mereka, kemudian sepeninggal mereka datang generasi yang tidak mengerti tujuan pembuatan patung-patung tersebut sehingga syetan membisiki generasi itu; bahwa nenek moyangnya telah menyembah serta mengagungkan patung-patung tersebut.” Untuk lebih jelasnya dapat merujuk Fath Al-Majiid (1/281-282)

Di antara faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Nuh AS di atas, bahwa seluruh rasul dari mulai Nabi Nuh AS hingga Nabi Muhammad SAW sepakat menyerukan tauhid yang murni dan melarang kemusyrikan, dimana seruan yang pertama kali Nabi Nuh AS serta para rasul lainnya serukan kepada kaumnya adalah, “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59). Mereka mengulangi seruan yang pokok tersebut dengan berbagai cara.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan etika dakwah dan kesempurnaannya. Nabi Nuh AS menyeru kaumnya siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, dalam segala situasi dan kondisi dengan suatu harapan akan mendapat kesuksesan dalam berdakwah. Ia memikat hati mereka dengan sejumlah pahala yang kontan di dunia, diselamatkan dari siksaan dan mendapatkan ni’mat berupa harta, keturunan dan rezki yang berlimpah jika mereka beriman dan memperoleh balasan pahala di akhirat, kemudian ia mengingatkan mereka akan balasan yang sebaliknya jika mereka kufur. Nabi Nuh AS menunaikannya dengan penuh kesabaran, sebagaimana dilakukan para rasul yang lainnya, menggunakan tutur kata yang lemah-lembut dan penuh kasih sayang, menggunakan gaya bahasa yang menarik hati mereka supaya tercapai tujuan yang dimaksud dan mengemukakan ayat-ayat dan dalil-dalil.

Faidah lainnya, bahwa kesamaran yang dituduhkan musuh-musuh para rasul atas kerasulan mereka sebagai dalil yang menunjukkan batilnya perkataan para pendusta tersebut.

Sejumlah tuduhan yang dilontarkan oleh mereka kepada para rasul, padahal mereka tidak memiliki alasan yang kuat untuk melontarkan tuduhan tersebut menunjukan tidak adanya ilmu dan kebenaran menurut semua orang yang berakal.
Adapun yang dimaksud dengan kesamran di atas ialah sesuatu yang menimbulkan keraguan dan kesangsian terhadap kejujuran penyeru dan kebenaran seruannya; sehingga menghalangi untuk dapat melihat kebenaran serta memenuhinya atau menangguhkan pemenuhannya.

Adapun perkataan yang dilontarkan para pemuka kaum Nabi Nuh AS yang kafir adalah, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27). Simaklah apa yang dikatakan oleh mereka, niscaya anda akan menemukan beberapa penyimpangan yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang batil dan angkuh terhadap kebenaran.

Sedang berkenaan dengan perkataan mereka tersebut di atas, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27).

Apakah keberadaan sesuatu kebenaran yang disampaikan seseorang harus dipandang sebagai sesuatu yang meragukan yang menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu kebenaran.?

Kesimpulan dari perkataan mereka tersebut, bahwa semua perkataan yang disampaikan seseorang dari manapun sumbernya harus dianggap sebagai suatu kebatilan. Itulah tuduhan yang telah dilontarkan mereka terhadap semua ilmu manusia yang bermanfaat yang bersumber dari seseorang. Perlu diketahui, bahwa perkataan mereka yang mengganggap batil kepada semua ilmu. Padahal tidaklah di hadapan manusia terdapat sejumlah ilmu, kecuali sebagian dari mereka dapat mengambil manfaat dari sebagian yang lainnya dengan ilmu yang berbeda. Sedang ilmu yang paling agung, paling benar dan paling bermanfaat adalah ilmu yang didapatkan manusia dari para rasul, karena ilmu mereka bersumber dari wahyu Ilahi.

Juga perkataan mereka, “… dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27). Yakni kami dan kamu sama-sama manusia.

Para rasul telah menjawab perkataan tersebut, seraya berkata, “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11).

Allah telah memberikan karunia dan keistimewaan kepada para rasul dengan wahyu dan kerasulan, sehingga keingkaran suatu kaum atas para rasul merupakan kebodohan yang besar dan tuduhan yang keji terhadap ni’mat Allah, karena rahmat Allah dan kebijaksaan-Nya telah menetapkan para rasul dari kalangan manusia, sehingga memungkinkan bagi para hamba-Nya untuk mempelajari ilmu dari mereka, memudahkan ni’mat itu bagi mereka dan Allah pun memudahkan mereka dalam menempuh jalannya. Sedangkan para pendusta telah mengingkari ni’mat yang pokok tersebut serta jalan yang lurus yang bermanfaat yang disampaikan para rasul kepada mereka.

Juga perkataan mereka, “…dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)

Perlu diketahui oleh setiap orang yang berakal, bahwa kebenaran itu harus diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh dirinya dan bukan oleh orang yang diikutinya. Perkataan ini dikatakan para pendusta semata-mata keluar dari kesombongan dan kesesatan. Sedang kesombongan ialah penghalang terbesar bagi seseorang untuk mengetahui dan meyakini kebenaran yang disampaikan oleh orang yang diikutinya.

Juga perkataan mereka, “… orang-orang yang hina dina diantara kami.” (Hud: 27)

Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang fakir, maka sesungguhnya kefakiran bukanlah merupakan suatu aib.

Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang hina dalam perilaku, sungguh hal itu merupakan suatu kebohongan yang nyata. Karena sesungguhnya orang-orang yang hina dalam perilaku adalah orang-orang yang melontarkan perkataan itu. Apakah beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, taat kepada Allah dan para rasul-Nya, tunduk kepada kebenaran dan jalan yang lurus yang mendatangkan keselamatan semuanya termasuk perbuatan yang tercela.?

Apakah sifat-sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang hina serta para pelakunya dianggap sebagai orang-orang yang hina, atau justru yang hina adalah orang yang berprilaku sebaliknya, yaitu orang-orang yang meninggalkan kewajiban bertauhid kepada Allah, mensyukuri ni’mat-Nya, mengesakan-Nya dan memenuhi hati mereka dengan kesombongan terhadap kebenaran dan terhadap mahluk? Demi Allah, bahwa perilaku itulah yang sesungguhnya paling hina di antara perilaku-perilaku yang hina, akan tetapi kaum itu benar-benar telah diliputi oleh kesombongan. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji yang tidak akan menyulitkan orang-orang pilihan (para rasul).

Juga perkataan mereka, “…yang lekas percaya saja.” (Hud: 27) Yakni mereka mudah percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh! Mereka tidak bermusyawarah, tidak bersikap hati-hati dan tidak mempertimbangkan terlebih dahulu.

Jika dipastikan, bahwa penomena tersebut adalah sebuah kenyataan, maka hal itu menjadi dalil sebuah kebenaran.

Karena kebenaran tersebut didukung dengan dalil-dalil, memancarkan cahaya, keagungan, keindahan, kejujuran serta ketentraman, sehingga ia tidak lagi membutuhkan musyawarah dengan siapa pun untuk mengikutinya. Adapun hal yang masih membutuhkan musyawarah adalah hal-hal yang samar yang tidak diketahui kebenaran dan manfaatnya.

Adapun keimanan yang lebih terang daripada sinar matahari serta lebih indah dari segala sesuatu yang indah, maka tidak akan mengabaikannya kecuali orang yang sombong, seperti orang-orang yang lalim dan ingkar tersebut di atas.

Juga perkataan mereka, “… dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27)

Apakah dalam perkataan mereka terkandung kejujuran?
Karena mereka mengabarkan suatu berita yang bersumber dari diri mereka dan perkataan mereka menyiratkan kebencian yang membara dalam lubuk hati mereka; sehingga memungkinkan mereka mengatakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya.

Dalam menyikapi dua buah berita yang kontropersi, maka berita yang benar wajib diterima, terlepas apakah sumbernya adalah orang yang dipandang mulia atau orang yang dipandang hina, karena kebenaran itu haruslah ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi daripada segala sesuatu.

Juga perkataan mereka, “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. 11:27)

Perlu diketahui bahwa perkataan mereka itu semata-mata didasarkan kepada sangkaan, sedang sangkaan adalah sedusta-dustanya perkataan. Kemudian jika mereka berkata, “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”, maka perkataan mereka itu mencakup semua kebatilan yang mereka tuduhkan kepada Nabi Nuh AS, tetapi atas alasan apakah kamu meyakini bahwa para pengikut Nabi Nuh AS adalah orang-orang yang dusta. Perkataan mereka itu justeru menjadi dalil dan bukti kebohongan perkataan mereka dengan sendirinya seperti yang anda lihat. Bagaimana perkataan mereka tidak diyakini sebagai kebohongan, sedang para rasul mengimbangi perkataan mereka dengan sejumlah dalil dan bukti yang bermacam-macam yang tidak menimbulkan keraguan bagi siapa pun akan bathil dan bohongnya perkataan para pembohong tersebut.

Faidah lainnya, bahwa di antara keutamaan para nabi dan bukti nyata kebenaran kerasulan mereka ialah keikhlasan mereka yang sempurna kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakan ibadah mereka yang khusus yang terbatas kepada Allah dan ibadah mereka yang umum yang sangat banyak dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi mahluk, seperti: berdakwah dan mendidik masyarakat yang dilaksanakan secara terus-menerus. Mereka memperlihatkan keikhlasan itu dan memperdengarkannya secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada pendengaran kaum mereka, seraya masing-masing dari mereka berkata, “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29)

Karena keutamaan-keutamaan itulah, maka mengikuti para rasul niscaya menyebabkan para pengikut mereka berada dalam keutamaan tersebut. Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya kepada mereka berupa kedudukan yang agung di dunia dan di akhirat yang melebihi keagungan yang dicapai oleh para pencari dunia.

Faidah lainnya, bahwa celaan terhadap niat orang-orang beriman dan apa yang dikaruniakan Allah kepada mereka dari sejumlah karunia-Nya dan bersumpah kepada Allah, bahwa Dia tidak akan mendatangkan karunia-Nya kepada mereka merupakan perkataan warisan musuh-musuh para rasul. Karena itu, Nabi Nuh AS berkata kepada kaumnya ketika mereka bersumpah serta meminta kepada Allah supaya mencela kaum mukminin, “… dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka.” (Hud: 31)

Faidah lainnya, bahwa wajib memohon pertolongan kepada Allah dan menyebut nama-Nya pada saat berlayar dan berlabuh dan dalam setiap gerak-gerik. Juga wajib memuji Allah serta banyak mengingat-Nya ketika mendapat ni’mat, tanpa kecuali ni’mat diselamatkan dari berbagai kesedihan dan penderitaan sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (Hud: 41)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zhalim.” (Al-Mukminun: 28)

Juga wajib memohon keberkahan ketika menempati rumah yang baru, sebagaimana wajib memohon keberkahan ketika akan bepergian dan melakukan pekerjaan baik lainnya dan memohon keberkahan atas rumah yang sudah lama didiami, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan berdo'alah: “Ya Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat.” (al-Mukminun: 29)

Dalam do’a tersebut tercakup dzikir kepada Allah dan permohonan supaya diberi kekuatan ketika bergerak dan diam, dan permohonan supaya keteguhan dalam beriman kepada Allah. Keberkahan Allah niscaya akan turun kepada seseorang dalam segala keadaan dalam tempo waktu sekejap mata.

Faidah lainnya, bahwa ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan menunaikan semua kewajiban yang terkait dengan keimanan merupakan faktor penyebab diperolehnya kebahagiaan duniawi, dikarunia anak yang banyak, rezki dan kekuatan (kesehatan) badan, meskipun untuk mencapai semuanya itu masih terdapat faktor penyebab lainnya.

Juga ketakwaan merupakan sebab satu-satunya yang tidak ada sebab lainnya dengan sebab itu diperolehnya kebahagiaan akhirat dan selamat dari siksaannya.

Faidah lainnya, bahwa selamat dari siksaan dunia yang bersifat umum dikhususkan bagi orang-orang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka.

Sedangkan siksaan dunia yang bersifat umum dikhususkan bagi orang-orang yang durhaka dan yang turut bersama mereka dari anak-anak dan sejumlah binatang manakala anak-anak dan sejumlah binatang tersebut tidak memiliki kesalahan, karena berbagai bencana yang ditimpakan Allah kepada para pendusta meliputi anak-anak dan sejumlah binatang yang turut bersama mereka.

Adapun berkenaan dengan keterangan yang terdapat dalam sebagian kisah Israiliyat, bahwa ketika Allah berkehendak membinasakan kaum Nabi Nuh AS atau kaum-kaum yang lainnya, maka Allah memandulkan rahim-rahim, sehingga anak-anak yang masih kecil tidak ikut tertimpa adzab yang ditimpakan kepada mereka.

Keterangan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan menafikan keterangan yang ada yang telah diketahui.

Keterangan tersebut dibantah oleh firman Allah Ta’ala, “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu.” (Al-Anfal: 25)

Mayoritas pemuka kaum itu melontarkan tuduhan-tuduhan yang menimbulkan keraguan, dimana mereka menyebarluaskannya di tengah-tengah masyarakat dan mengulang-ngulangnya kepada pendengaran masyarakat, sehingga jiwa-jiwa yang lemah dari kebanyakan masyarakat mempercayainya. Mereka terus-menerus mengulanginya sehingga jiwa-jiwa yang lemah meyakininya dan membenarkannya serta menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang pasti. Dalam keadaan demikian, niscaya jiwa-jiwa yang lemah akan mengingkari kebenaran serta memusuhi penyerunya, sedang para pemuka mereka tertawa dan mengolok-olokkannya karena tujuan yang mereka kehendaki tercapai.

Penanaman keraguan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
Penanaman keraguan kepada penyeru seperti: pencemaran nama baiknya, kepribadiannya, perilakunya serta melontarkan tuduhan kepadanya dengan mengatakannya tolol, bodoh, sesat, gila, memfitnahnya dan tuduhan keji lainnya yang sekiranya dapat menghantarkan kepada tujuan yang ingin dicapai; yaitu membuat orang-orang lari dari sekeliling penyeru dan tidak mempercayainya.

Penanaman keraguan kepada materi-materi yang diserukan misalnya: menuduhnya sebagai perbuatan bid’ah, keluar dari kebiasaan, keyakinan serta aturan yang diwarisi masyarakat dengan tujuan supaya orang-orang lari dari seruan Allah dan menyimpangkan mereka dari jalan-Nya.

Penanaman keraguan kepada mereka yang diseru seperti: menganjurkan mereka supaya bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan mereka, agama mereka, agama nenek moyang mereka dan memelihara keni’matan mereka dan kehidupan mereka yang penuh ketenangan dan kebahagiaan; yang semuanya dimaksudkan untuk mempengaruhi semangat mereka dalam menentang seruan ke jalan Allah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kitab Ushuul ad-Dakwah (hal. 426-436).

0 komentar:

Posting Komentar