Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Selasa, 13 Desember 2011

Kisah Nabi Adam


“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf: 111).


Kisah Nabi Adam As (Bapak Manusia)



Allah ialah yang awal; yang tidak ada sesuatu sebelum-Nya, yang berbuat sesuai kehendak-Nya, tidak ada waktu yang membatasi seluruh perbuatan-Nya, firman-Nya keluar sesuai dengan kehendak-Nya, kehendak-Nya sejalan dengan kebijakan-Nya; karena memang Allah adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dalam segala hal yang telah ditakdirkan dan ditetapkan-Nya, sebagaimana Allah pun Maha Bijaksana dalam menetapkan semua ketentuan syari’at-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Berdasarkan kebijaksanaan Allah yang menyeluruh, ilmu-Nya yang melingkupi segala hal dan rahmat-Nya yang sempurna maka Allah Ta’ala memutuskan untuk menciptakan Nabi Adam AS sebagai bapaknya manusia, dimana Allah mengutamakan manusia di atas mahluk lainnya dengan beberapa keutamaan. Kemudian Allah Ta’ala memberitahukannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30). Yakni seorang khalifah yang berbeda dari mahluk sebelum mereka yang tidak akan mengetahuinya selain Allah.”

Kemudian para malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” (Al-Baqarah: 30). Perkataan itu diutarakan mereka dengan maksud mengagungkan Rabb mereka jangan sampai Rabb mereka menciptakan mahluk di muka bumi ini yang akhlaknya menyerupai akhlak mahluk yang pertama atau Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka tentang penciptaan Nabi Adam AS dan pelanggaran yang akan diperbuat keturunannya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya al-Bidaayah Wa an-Nihaayah (1/70-71): “Allah Ta’ala mengabarkan kepada para malaikat dengan gaya bahasa pujian mengenai penciptaan Nabi Nabi Adam AS dan keturunannya, seperti halnya Allah mengabarkan urusan yang besar sebelum penciptaannya. Para malaikat pun bertanya dengan maksud menyelidiki dan mencari tahu tentang hikmah di balik penciptaannya tersebut; dan bukan bermaksud menentang penciptaan Nabi Adam AS dan keturunannya atau iri terhadap mereka; sebagaimana yang dituduhkan para mufassir yang bodoh.”

Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

Sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu serta hal-hal yang berkaitan dengan keadaan mahluk tersebut (Nabi Adam AS) mengenai maslahat dan manfaatnya yang tidak terhitung dan tidak terhingga.

Allah memberitahukan kepada mereka tentang keberadaan Dzat-Nya yang sempurna ilmu-Nya dan Allah mesti mengenalkan keberadaan Dzat-Nya yang memiliki keluasan ilmu dan hikmah, sehingga Dia tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan sia-sia dan tidak ada hikmah di baliknya.

Kemudian Allah menjelaskan kepada para malaikat secara mendetail; bahwa Dia akan menciptakan Nabi Adam AS dengan tangan-Nya langsung dan akan memuliakannya di atas seluruh mahluk lainnya. Allah menggenggam satu genggaman dari semua lapisan tanah; baik yang halus, yang kasar, yang subur dan yang gersang, sehingga keturunannya memiliki tabiat-tabiat tersebut. Pada mulanya hanya berupa tanah, kemudian Allah meneteskan air di atasnya, sehingga berubah menjadi lumpur (tanah liat), dan setelah keberadaan air di dalam lumpur tersebut telah cukup lama, maka lumpur itu berubah menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk. Selanjutnya Allah Ta’ala menyempurnakan kejadiannya setelah membentuknya terlebih dahulu; sehingga keberadaannya bagaikan tembikar dari tanah liat. Pada tahapan ini, maka ia hanya berbentuk jasad tanpa ruh. Setelah Allah menyempurnakan penciptaan jasadnya, maka Allah meniupkan ruh ke dalamnya, sehingga jasad itu berubah yang tadinya hanya benda mati menjadi mahluk yang mempunyai tulang, daging, urat saraf, urat-urat kecil dan ruh. Itulah hakikat penciptaan manusia, dan Allah menjanjikannya dengan semua ilmu dan kebaikan.

Allah menyempurnakan ni’mat-Nya kepada Nabi Adam AS dan mengajarinya nama-nama semua benda. Ilmu yang sempurna niscaya dapat membawa kepada kesempurnaan yang pari purna dan kesempurnaan akhlak. Allah hendak memperlihatkan kepada para malaikat mengenai kesempurnaan mahluk ini (Nabi Adam AS). Kemudian Allah menanyakan kepada para malaikat tentang nama-nama benda yang telah disebutkan Nabi Adam AS, seraya Allah Ta’ala berfirman kepada mereka: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!” (Al-Baqarah: 31). Yakni perkataan para malaikat yang terdahulu yang meminta supaya Allah SWT meninggalkan penciptaan-Nya didasarkan pada kenyataan yang tampak di hadapan mereka pada saat itu.

Para malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang telah disebutkan Nabi Adam AS, seraya mereka berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 32)

Allah Ta’ala berfirman, “Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Al-Baqarah: 33)

Para malaikat menyaksikan langsung kesempurnaan mahluk tersebut (Nabi Adam AS) dan kesempurnaan ilmunya yang tidak dimiliki mereka dalam hal hitungannya. Dengan kejadian itu, mereka mengetahui secara mendetail dan menyaksikan langsung kebijaksanaan Allah, kemudian mereka pun mengagungkan serta menghormati Nabi Adam AS. Allah menghendaki pengagungan dan penghormatan yang diperlihatkan para malaikat kepada Nabi Adam AS dilakukan secara lahir dan bathin.

Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam.” (Al-Baqarah: 34). Yakni hendaklah kamu menghormati, mengagungkan dan memuliakannya sebagai ibadah, ketaatan, kecintaan dan kepatuhanmu kepada Rabbmu.


Kemudian para malaikat pun segera bersujud seluruhnya. Ketika mereka sujud, maka ketika itu Iblis berada di antara mereka dan Allah memerintahkannya supaya bersujud kepadanya bersama-sama dengan para malaikat. Iblis bukan berasal dari golongan malaikat, melainkan berasal dari golongan jin yang diciptakan dari api yang sangat panas. Iblis menyembunyikan keingkaran terhadap perintah Allah dan ia merasa iri dengan manusia yang diberikan keutamaan dengan keutamaan tersebut.

Kesombongan dan keingkaran Iblis menyeretnya ke lembah penolakan bersujud kepada Nabi Adam AS., dan sebagai bentuk keingkaran terhadap perintah Allah Ta’ala dan menunjukkan kesombongan.* Iblis tidak dapat menahan perasaan benci dan keengganannya bersujud kepada Nabi Adam AS., sehingga ia mentolelir dirinya untuk menunjukkan penentangannya kepada Rabbnya serta mencela kebijakan-Nya, seraya berkata, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12). Di dalam ayat lain Allah SWT berfirman kepadanya: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (Shad: 75)

Jadi kekufuran, kesombongan, keingkaran dan kedengkian adalah sebab utama yang membuat Iblis diusir dan dilaknat.

Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (al-A’raf: 13)

Iblis tidak mau tunduk terhadap perintah Rabbnya dan tidak mau bertaubat kepada-Nya, bahkan ia secara terang-terangan memperlihatkan sikap permusuhannya dan bersikeras akan memusuhi Nabi Adam AS dan keturunannya. Setelah Iblis mengetahui bahwa Allah telah memutuskan baginya penderitaan yang abadi, maka ia segera menyiapkan dirinya untuk menyeru keturunan Nabi Adam AS (manusia) melalui perkataannya atau perbuatannya dan menjadikan mereka sebagai bala tentaranya serta pengikut setianya yang dijanjikan bagi mereka lembah kebinasaan. Iblis berkata, “Ya Rabbku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.” (Shad: 79). Selanjutnya tuntaslah pemberian hak atas Iblis untuk memusuhi Nabi Adam AS dan keturunannya.

Karena kebijakan Allah telah ditetapkan, bahwa manusia terdiri dari beberapa tabiat yang saling berlawanan, akhlak yang baik atau yang jelek, maka merupakan suatu kemestian untuk membedakan akhlak itu dan cara membersihkannya sesuai dengan kadar penyebabnya dari ujian yang dihadapinya. Ujian terbesarnya adalah kemungkinan Iblis menyeru mereka kepada segala kejahatan, dimana Allah telah mengabulkan permintaan Iblis, seraya berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).” (Shad: 80-81)

Kemudian Iblis berkata kepada Rabbnya sambil mengikrarkan kedurhakaannya serta permusuhannya kepada Nabi Adam AS dan keturunannya: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at).” (al-A’raf: 16-17)

Iblis mengutarakan perkataannya itu, karena ia merasa yakin tidak akan gagal menggoda manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (as-Saba’: 20)

Selanjutnya Allah menetapkan perintah yang dikehendaki oleh Iblis yaitu menyesatkan Nabi Adam AS dan keturunannya, seraya Allah berfirman kepadanya: “Pergilah, barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (al-Isra’: 63-64)

Yakni, jika kamu mampu, maka jadikanlah mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dalam mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang mendatangkan kemudaratan, dan dalam mengelola harta mereka dengan pengelolaan yang menimbulkan kemudaratan dan kegiatan usaha yang melahirkan penderitaan. Kemudian akan berserikat dengannya dari mereka dalam harta dan anak-anak, yaitu orang-orang yang jika memakan makanan, meminum air dan melangsungkan pernikahan, maka mereka tidak menyebut nama Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “… dan beri janjilah mereka” , yakni perintahkanlah kepada mereka agar mendustakan Ba’ats (kebangkitan dari kubur) serta adanya balasan pahala, tidak menggiring mereka kepada kebaikkan, menakut-nakuti mereka dengan para kekasihmu dan menakut-nakuti mereka ketika akan mengeluarkan infak yang bermanfaat dengan menggiring mereka kepada kekejian dan kebakhilan. Ketentuan itu berasal dari Allah untuk memperlihatkan sejumlah hikmah dan rahasia yang besar.

Sesungguhnya kamu, hai musuh yang nyata (Iblis), bahwa kemampuanmu tidak akan tersisa sedikitpun dalam menyesatkan mereka. Orang jahat dari mereka akan terlihat kejahatan dan keburukannya, dan Allah tidak akan mempedulikannya.

Sesungguhnya keturunan Nabi Adam AS terutama para nabi dan para pengikut mereka yang terdiri dari orang-orang yang jujur, orang-orang yang menjaga kesucian diri, para wali dan orang-orang mukmin niscaya Allah Ta’ala tidak memberikan kekuasaan kepada Iblis untuk menyesatkan mereka. Bahkan Allah Ta’ala mendirikan untuk mereka sebuah benteng yang diliputi perlindungan serta jaminan-Nya, dan membekali mereka senjata yang tidak mungkin sanggup diterjang musuh yaitu keimanan kepada Allah dan kekuatan tawakkal mereka kepada-Nya, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.” (an-Nahl: 99)

Selain itu Allah telah membantu mereka untuk menentang musuh tersebut (Iblis) dengan beberapa cara, yaitu:
1.     Allah telah menurunkan kepada mereka Kitab-Nya yang mencakup ilmu-ilmu yang bermanfaat dan nasehat-nasehat yang meninggalkan kesan dan memberikan pengaruh serta memberikan dorongan untuk mengerjakan sejumlah kebaikan dan mewanti-wanti dari mengerjakan sejumlah keburukan.

2.    Allah telah mengutus para rasul kepada mereka untuk memberikan kabar gembira kepada orang yang beriman kepada Allah dan taat kepada-Nya dengan balasan pahala yang kontan dan memperingatkan orang yang kufur, mendustakan ayat Allah dan berpaling dari jalan-Nya dengan siksaan yang bermacam-macam. Kemudian menjamin orang yang mengikuti petunjuk-Nya yang diturunkan kepadanya melalui kitab-Nya serta mengutus para rasul-Nya kepadanya supaya tidak tersesat di dunia dan tidak sengsara di akhirat serta baginya tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan yang memilukannya.

3.    Allah telah memberikan bimbingan kepada mereka yang tertera dalam kitab-Nya serta melalui lisan para rasul-Nya supaya mengerjakan langkah-langkah yang dapat mengalahkan musuh mereka (Iblis), dan menjelaskan kepada mereka tentang hal-hal yang diserukan syetan dan jalan-jalannya yang dapat menyebabkan khalifah (manusia) menjadi mangsa buruannya.

4.    Sebagaimana halnya Allah telah membimbing mereka dengan menjelaskan hal-hal yang diserukan syetan dan jalan-jalannya, maka Allah juga telah membimbing mereka ke jalan yang akan menyelamatkan mereka dari kejahatan dan fitnahnya dan menolong mereka untuk mewujudkannya dengan pertolongan takdir yang di luar kemampuan mereka. Karena ketika mereka mengerahkan seluruh usaha mereka serta memohon pertolongan kepada Rabb mereka, niscaya Allah sebagai Rabb mereka akan memberi kemudahan kepada mereka dalam menempuh semua jalan yang dapat menyampaikan mereka kepada tujuan yang dimaksud.

5.    Allah menyempurnakan ni’mat-Nya kepada Nabi Adam AS dengan diciptakannya Hawa sebagai pasangan dari jenisnya dan sesuai dengan wujudnya agar ia merasa senang kepadanya dan Allah pun menyempurnakan sejumlah tujuan yang bermacam-macam melalui proses perkawinan, perkumpulan dan penjagaan keturunan melalui proses perkawinan tersebut.

Allah SWT berfirman kepada Nabi Adam AS dan istrinya: “Sesungguhnya syetan itu ialah musuh kamu berdua, hendaklah kamu berdua berhati-hati kepadanya, sehingga jangan sampai syetan itu mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang Allah telah menempatkan kamu berdua di dalamnya; dan Allah telah membolehkan kamu berdua memakan seluruh buah-buahan dan meni’mati seluruh keni’matannya, kecuali hanya satu pohon yang dilarang Allah di dalam surga tersebut, dimana Allah telah mengharamkannya kepada keduanya, seraya berfirman, “Hai Adam, bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zhalim.” (al-A’raf: 19)

Allah berfirman kepada Nabi Adam AS dalam meni’mati seluruh ni’mat yang tersedia di dalam surga: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Thaha: 118-119)

Keduanya tinggal di dalam surga tersebut sesuai dengan kehendak Allah; sebagaimana yang telah dijelaskan Allah bahwa musuh keduanya selalu mengawasi atau mengintai keduanya dan menunggu kesempatan untuk menggoda keduanya.

Ketika Iblis melihat kebahagiaan pada diri Nabi Adam AS dengan dimasukan ke dalam surga dan keinginannya yang besar untuk tetap kekal di dalamnya, maka Iblis menemuinya dengan cara yang halus dalam wujud seorang teman yang akan memberikan nasehat, seraya berkata, “Hai Adam, apakah kamu ingin aku tunjukkan ke suatu pohon yang jika kamu memakan buahnya, maka kamu akan kekal dalam surga ini. Sedang Rabb Yang Maha Kuasa tidak menghendakimu kekal di dalamnya.”

Iblis senantiasa berusaha membisikan pikiran-pikiran jahat, merayu, menggoda, membujuk, berjanji, bersumpah dan menasehati keduanya dengan nasehat yang nyata-nyata sebagai tipu daya yang besar; sehingga akhirnya keduanya terpedaya dan memakan buah pohon yang dilarang atau diharamkan Allah atas keduanya.

Ketika keduanya memakan buah pohon itu, maka tampaklah aurat keduanya yang sebelumnya tertutupi, sehingga keduanya memetik daun-daun dari surga untuk menutupi aurat keduanya. Yakni menempelkan daun-daun surga itu untuk menutupi badan keduanya yang telanjang sebagai pengganti pakaian.

Seketika itu juga turun dan tampak di hadapan keduanya akibat pelanggaran yang telah dilakukan keduanya, sehingga Rabb keduanya menegur keduanya, seraya berfirman, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua.” (al-A’raf: 22)

Allah Ta’ala menumbuhkan dalam hati keduanya keinginan untuk bertaubat yang sesungguhnya dan memohon ampunan yang sejujurnya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya.” (Al-Baqarah: 37). Selanjutnya “keduanya berkata, “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 23)

Kemudian Allah menerima taubat keduanya dan menghapus dosa yang telah diperbuat keduanya, akan tetapi Allah tetap memberikan peringatan atas perbuatan dosa tersebut; yaitu dengan mengeluarkan keduanya dari surga karena memakan buah dari pohon yang telah ditetapkan. Keduanya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi yang kebaikannya datang silih berganti dengan keburukannya, kebahagiaannya datang silih berganti dengan penderitaannya.

Allah juga mengabarkan kepada keduanya, bahwa Dia akan menguji keduanya dan keturunan keduanya, dimana bagi orang yang beriman dan beramal shalih, niscaya akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari keadaannya semula, sedang bagi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling dari jalan-Nya, niscaya akan memperoleh balasan akhir yang buruk yaitu penderitaan yang abadi dan siksaan yang kekal.

Allah Ta’ala mewanti-wanti kepada keturunan keduanya supaya waspada terhadap godaan dan tipu daya syetan, seraya berfirman, “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (al-A’raf: 27)

Allah memerintahkan kepada keduanya supaya mengganti pakaian keduanya yang dilepaskan oleh syetan dengan pakaian yang dapat menutupi aurat keduanya. Dengan pakaian tersebut maka tercapailah keindahan lahiriyah dalam kehidupan. Akan tetapi pakaian yang lebih tinggi kedudukannya dari pakaian tersebut adalah pakaian takwa yang menjadi pakaian hati dan ruh, yaitu: keimanan, keikhlasan, taubat dan menghiasi diri dengan semua akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari semua akhlak tercela.

Kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan dari Nabi Adam AS dan Hawa istrinya yang terdiri dari kaum laki-laki dan kaum wanita dalam jumlah yang banyak, menyebarluaskan mereka di muka bumi dan menjadikan mereka sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat bagaimanakah mereka beramal.

Allah SWT berfirman dalam surat al-Kahfi, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Nabi Adam AS”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (al-Kahfi: 50).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya al-Bidaayah Wa an-Nihaayah (1/72-73): “Iblis keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan sengaja dan menunjukkan keingkaran atau kesombongannya dengan menolak perintah-Nya. Tidaklah Iblis menunjukkan sikap tersebut, kecuali ia telah mengkhianati tabi’atnya serta materi jasadnya, dimana materi yang jelek akan membutuhkan sesuatu yang dapat menutupi kejelekkannya, dan ia adalah mahluk yang diciptakan dari api sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya. Juga sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Shahîh Muslim dari Aisyah RA dari Rasulullah SAW, seraya bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Nabi Adam AS diciptakan dari apa yangtelah digambarkan kepada kalian (dari tanah).”


Adapun di antara faidah yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah:
1. Sesungguhnya kisah besar ini telah dipaparkan Allah di dalam kitab-Nya dalam beberapa tempat (ayat) dengan paparan yang jelas yang di dalamnya tidak ada keraguan dan termasuk kisah yang sangat besar yang disepakati para rasul, kitab-kitab suci samawi diturunkan karenanya dan seluruh pengikut para nabi dari mulai yang pertama hingga yang terakhir telah meyakini kebenarannya.

Dewasa ini muncul sekelompok zindiq yang mengingkari seluruh ajaran yang dibawa para rasul, mengingkari adanya Pencipta (Rabb) serta tidak mempercayai ilmu kecuali ilmu alam (fisika); sehingga pengetahuan mereka tidak akan dapat mengantarkan kepada keyakinan tersebut, karena pengetahuan mereka sangat terbatas.

Berkenaan dengan madzhab yang jauh dari kebenaran ini; baik menurut syara’ maupun akal sehat, bahwa mereka telah mengingkari keberadaan Nabi Adam AS dan Hawa dan keterangan yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang keberadaan keduanya.

Sedangkan di antara mereka yang pendapatnya dianggap sesat adalah orang-orang yang berpendapat bahwa manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam masalah akidah, sebagaimana berkembang dan majunya teknologi. Dengan pendapat tersebut, mereka bermaksud menafikan sejarah akidah, sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur’an dalam kisah Nabi Adam AS dan Iblis dan menafikan wahyu dan para rasul.

Mereka beranggapan bahwa manusia itu berasal dari kera atau sejenisnya, kemudian ia berevolusi sehingga mencapai wujudnya yang sekarang.

Mereka terpedaya oleh teori mereka yang sangat keliru yang didasarkan pada asumsi akal mereka yang sejak semula telah rusak dan mengabaikan keterangan yang bersumber dari ilmu-ilmu yang benar, khususnya ilmu-ilmu yang dibawa para rasul.

Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kebenaran ilmu-ilmu yang dibawa para rasul dalam firman-Nya, “Maka tatkala datang kepada mereka rasul-sasul (yang dulu diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Al-Mukmin: 83).

Keberadaan mereka sangatlah jelas bagi kaum muslimin yang berilmu dan orang-orang yang percaya adanya Pencipta, bahwa mereka adalah kelompok paling sesat. Tetapi sebagian pengaruh pendapat madzhab atheis itu dan pendapat-pendapat lainnya yang merujuk pendapat madzhab itu telah diminumkan dan dicekokkan kepada sebagian kaum muslimin.

Ketika sekolompok intelektual muslim yang menamakan diri sebagai kelompok modernis menafsirkan tentang sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS dengan makna tunduknya alam ini kepada manusia, dimana benda-benda bumi, barang tambang dan sejenisnya telah ditundukan Allah Ta’ala kepada manusia. Itulah makna sujud para malaikat kepada Nabi Adam AS.

Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir niscaya tidak akan ragu bahwa pendapat itu bersumber dari pemikiran yang rusak dan bertentangan dengan kitab Allah (Al-Qur’an), dimana tidak ada perbedaan di antara penentangannya dengan penentangan yang dilakukan aliran kebatinan dan Qaramithah (salah satu sekte Syi’ah). Jika penafsiran kisah di atas dimaknai dengan makna tersebut, maka penyimpangan tersebut dapat terjadi pada kisah-kisah Al-Qur’an yang lainnya dan Al-Qur’an akan beralih fungsi yang tadinya sebagai penjelas atas segala sesuatu, petunjuk serta rahmat menjadi sebuah simbol yang memungkinkan semua musuh Islam memperlakukannya dengan perlakuan tersebut, sehingga aturan-aturan hukum Al-Qur’an dapat dibatalkan dengan penafsiran tersebut. Selain itu petunjuk Al-Qur’an akan berubah menjadi kesesatan dan rahmatnya berubah menjadi malapetaka. Maha Suci Engkau, Ya Allah. Sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan kebohongan yang besar.

Bagi seorang mukmin dalam menyikapi penafsiran semacam itu, maka cukup baginya dengan membatilkan pemikiran atau pendapat keji tersebut dan berpaling kepada keterangan yang dijelaskan Allah kepada kita tentang sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS, sehingga ia mengetahui bahwa pendapat itu dimaksudkan untuk menafikan keterangan yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya keindahan tutur kata para pemeluk madzhab tersebut hanya menarik perhatian orang yang berprasangka baik kepada mereka, sedangkan seorang mukmin tidak akan membiarkan keimanannya serta kitab suci Rabb-nya dinodai oleh pendapat yang mengandung tipuan para pengikut madzhab tersebut.

2. Faidah lainnya berkaitan dengan keutamaan ilmu, dimana sikap para malaikat saat ditunjukan kepada mereka keutamaan Nabi Adam AS dengan ilmunya maka mereka mengakui keutamaan dan kesempurnaannya, sehingga berhak mendapat pernghormatan dan pengagungan.

3. Bahwa orang yang dikaruniai ilmu oleh Allah wajib mengakui ni’mat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya dan semestinya ia berkata sebagaimana perkataan para malaikat dan para rasul, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32). Selain itu sudah semestinya baginya memelihara perkataannya dari segala hal yang tidak diketahuinya. Ilmu termasuk ni’mat yang sangat besar, dan cara mensyukurinya adalah mengakuinya sebagai milik Allah, memuji-Nya, mempelajarinya, mengajari orang bodoh, memahamkan sesuatu hal yang telah diketahui kepada seseorang dan berdiam diri dari sesuatu hal yang tidak diketahuinya.

4. Bahwa Allah menjadikan kisah tersebut sebagai pelajaran bagi kita, dimana kesombongan, kedengkian dan ketamakan adalah akhlak yang sangat berbahaya bagi seorang hamba, karena kesombongan dan kedengkian Iblis kepada Nabi Adam AS telah mengubah keadaannya sebagaimana telah anda ketahui serta ketamakan Nabi Adam AS dan Hawa istrinya telah mendorong keduanya memetik buah pohon yang dilarang. Jika saja tidak ada rahmat Allah kepada keduanya, niscaya keduanya akan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Dengan adanya rahmat Allah, sehingga yang kurang menjadi sempurna, yang kalah menjadi menang, yang binasa menjadi selamat dan yang hina menjadi mulia. Al-Hafizh Ibnu Al-Qayyim berkata dalam kitabnya Al-Fawaa`id (hal. 105): “Sumber kesalahan semuanya ada tiga hal, yaitu:
Kesombongan, sifat yang menyebabkan Iblis mengalami akibat sebagaimana dijelaskan di atas. Ketamakan, sifat yang menyebabkan Nabi Adam AS AS dikeluarkan dari surga. Kedengkian, sifat yang menyebabkan seseorang bertindak lalim (lancang) kepada saudaranya.
Barangsiapa yang terjerumus ke dalam kejelekkan ketiga sifat tersebut, niscaya ia telah jatuh ke dalam kejelekkan. Kekufuran bersumber dari kesombongan, kema’siatan bersumber dari ketamakan dan kelancangan dan kelaliman bersumber dari kedengkian.”


5. Bahwa diwajibkan atas seseorang ketika jatuh ke dalam perbuatan dosa untuk segera bertaubat dan mengakui dosa yang diperbuatnya serta mengucapkan ucapan sebagaimana yang diucapkan kedua ibu bapaknya (yakni Nabi Adam AS dan Hawa) dengan hati yang ikhlas dan bertaubat dengan benar. Tidaklah Allah menceritakan taubat keduanya, kecuali supaya kita mengikuti taubat keduanya, sehingga kita mendapatkan kebahagiaan dan diselamatkan dari kebinasaan. Juga tidaklah Allah Ta’ala menceritakan kepada kita tentang hal-hal yang dibisikan syetan dari sesuatu yang dijanjikan kepada kita dan tipu daya yang dihembuskannya untuk menyesatkan kita yang dilakukannya dengan berbagai cara, kecuali supaya kita waspada terhadap musuh tersebut yang secara terang-terangan dan terus-menerus menunjukan permusuhannya.

Allah mencintai kita dengan memerintahkan kita supaya melawan Iblis dengan mengerahkan segenap kemampuan menjauhi jalannya dan garis-garis kebijakannya dan melakukan hal-hal yang akan menumbuhkan perasaan takut akan terjatuh ke dalam perangkapnya, melakukan amalan-amalan yang menjadi benteng pelindung seperti: wirid-wirid yang shahih, dzikir hati dan ta’awudz yang bermacam-macam, menyiapkan senjata penghancur perangkapnya berupa iman yang benar serta kekuatan tawakal kepada Allah, mengabaikan kebenciaannya terhadap amal-amal kebaikan dan menentang bujukannya dan pikiran-pikiran keji yang selalu dihembuskannya setiap saat ke dalam hati dengan melakukan perbuatan yang sebaliknya dan yang membatalkannya seperti ilmu-ilmu yang bermanfaat dan melakukan segala hal yang benar.

6. Bahwa di dalam kisah di atas terdapat dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan bagi Allah sesuatu yang telah ditetapkan-Nya untuk Dzat-Nya seperti nama-nama yang baik (Asmmaa`ul Husnaa) dan sifat-sifat secara keseluruhan, tanpa membedakan di antara sifat-sifat Dzat dan sifat-sifat perbuatan.

7. Menetapkan dua tangan bagi Allah seperti disebutkan dengan jelas di dalam kisah Nabi Adam AS, “Lammaa Khalaqtu Bi Yadayya (… yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku).” (Shaad: 75). Yakni Allah memiliki dua tangan menurut makna yang hakiki yang tidak serupa dengan tangan mahluk, seperti halnya Dzat-Nya tidak serupa dengan dzat mahluk serta sifat-sifat-Nya tidak serupa dengan sifat-sifat mahluk.

Ahlussunnah sepakat bahwa Allah Ta’ala memiliki dua tangan yang selalu terbentang memberikan karunia serta keni’matan, dan keduanya merupakan sifat dzatiyah yang tetap bagi-Nya menurut kepatutan; dan mereka sepakat bahwa keduanya adalah tangan dalam arti hakiki yang tidak serupa dengan tangan mahluk serta tidak boleh mengalihkan makna keduanya kepada makna kekuasaan, ni’mat serta makna lainnya karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, mengalihkan pembicaraan dari makna hakiki ke makna majazi (kiasan) tanpa dalil.
Kedua, makna tersebut tidak sesuai secara bahasa dalam konteks kalimat seperti firman Allah: “Lammâ Khalaqtu Bi Yadayya (… yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku) dan tidak tepat menggantinya dengan makna: “Lammâ Khalaqtu Bi Ni’matî Au Quwwatî (yang telah Ku-ciptakan dengan ni’mat-Ku atau kekuasaan-Ku) .
Ketiga, adanya penyandaran kata yadd kepada kata Allah dalam bentuk Tatsniyyah (kata yang menunjukkan makna dua), dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pada satu tempat pun menyandarkan kata ni’mat atau quwwah kepada kata Allah dalam bentuk Tatsniyyah, sehingga bagaimana mungkin menafsirkan kata yang satu dengan kata yang satunya lagi?
Keempat, Jika yang dimaksud dengan kedua tangan dalam konteks tersebut adalah kekuasaan, maka entunya dipandang sah mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Iblis dengan kekuasaan-Nya” dan perkataan sejenisnya. Seandainya dibolehkan, niscaya Iblis akan berargumen dengan perkataan itu kepada Rabb-nya ketika berfirman kepadanya, “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shaad: 75).
Masih banyak alasan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat merujuk kitab Al-Fatwa Al-Hamawiyyah, karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dan ringkasannya karya Ibnu ‘Utsaimin.


0 komentar:

Posting Komentar