Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Sabtu, 17 Desember 2011

Keadilan Di Dalam Berpoligami


Keadilan Di Dalam Berpoligami




وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nisa’:129)

Penafsiran Ayat

a.      Ibnu Jarir At-Thabari
Ibnu Jarir At-Thabari berkata di dalam menafsirkan ayat di atas: “Kamu tidak mampu untuk menyama ratakan  kecintaan hati kalian terhadap istri-istri kalian, meskipun kalian berhasrat untuk menyamakannya. Karena itu janganlah hawa nafsu kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dengan kecintaan yang kamu tidak sanggupi untuk mewujudkannya. Sehingga membuat kalian  berbuat dholim terhadap istri yang lain di dalam pemenuhan hak seperti pembagian waktu gilir, nafkah serta hubungan baik di antara mereka. Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung antara mempunyai suami atau menjanda.”
     Dari Ubaidah menafsirkan ayat ini “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” yaitu jiwa kalian tidak bisa berbuat adil dalam masalah kecintaan dan jimak.[1]

b.      Imam Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Kalian tidak mampu untuk berbuat yang sama terhadap istri-isteri kalian di dalam segala segi. Meskipun pembagian malam terhadap mereka sama, namun tingkat kecintaan, syahwat dan jimak mempunyai tingkat yang berbeda-beda satu sama yang lainnya. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah Al Salmani, Mujahid, Hasan Al- Basri dan Ad Dhohak bin Muzahim.”
          Adapun asbabun nuzul ayat ini  adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Abi Mulaikah beliau berkata, “Ayat ini turun kepada Aisyah, yakni tatkala Rosulullah saw lebih mencintainya dari pada istri yang lain. Hal sebagaimana tertera di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlu Sunnan dari hadist Abdullah bin Zaid bahwa Aisyah pernah berkata, “Adalah Rosulullah saw membagi waktu gilirnya terhadap istri-istrinya, dan beliau berbuat adil terhadapnya. Kemudian beliau berdo’a: “
"اللهم هذا قَسْمي فيما أملك، فلا تلمني فيما تملك ولا أملك"
       “Ya Allah, Ini pembagian yang bisa saya sanggupi, maka janganlah engkau memaksakan hati saya untuk sesuatu yang engkau mampui sedangkan aku tidak mampu untuk melakukannya.” [2]
Dari Abu Hurairah Rosulullah bersabda,
"من كانت له امرأتان فمال إلى إحداهما، جاء يوم القيامة وأحد شِقَّيْهِ ساقط".
          “Barangsiapa yang memiliki dua istri dan lebih cenderung terhadap salah satu darinya maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan pundak mereka miring sebelah.”

c.      Imam Al-Qhurtubi
             
          Imam Al-Qurthubi berkata, “Allah ta’ala di dalam ayat ini telah mengabarkan tentang peniadaan kemapuan (seorang laki-laki) untuk berbuat adil terhadap istri-istri, yakni dalam hal kencenderungan yang bersifat thabiat, seperti kecintaan, jimak dan pembagian hati. Allah ta’ala telah mensifati keadaan manusia, bahwa mereka secara hukum penciptaan tidak mememiliki kemampuan hati untuk tidak cenderung kepada salah satu dari isti-istri mereka. Maka dari itu Rosulullah saw bersabda,
 (اللهم إن هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك)
“Ya Allah, Ini pembagian yang bisa saya sanggupi, maka janganlah engkau memaksakan hati saya untuk sesuatu yang engkau mampui sedangkan aku tidak mampu untuk melakukannya.”
          Mujahid berkata, “Janganlah kalian sengaja untuk  berbuat aniaya, namum berlaku adilah kelian di dalam pembagian waktu gilir dan nafkah karena hal tersebut mampu untuk dilakukan.”[3]

Suami menggauli salah satu istrinya dan tidak menggauli yang lain
       Ibnu Qudamah berkata, “Jika seorang suami menggauli salah satu istrinya dan tidak menggauli istrinya yang lain maka dia tidak bermaksiat.” Kami tidak mengetahui khilaf di kalangan ahlu ilmi, bahwa tidak diwajibkan taswiyah kepada istri-istrinya di dalam jimak. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Karena jimak merupakan cara untuk melapiaskan nafsu dan kecenderungan, maka tidak ada keharusan untuk taswiyah di antara mereka, dan karena hakekat hati selalu cenderung kepada salah satu dan tidak kepada yang lain.
          Ubaidah Al Salmani berkata, “Jika mungkin untuk disamaratakan di dalam kecintaan dan jimak di antara istri-istrinya maka itu lebih baik dan lebih utama untuk dilakukan karena lebih dekat kepada keadilan.”
Telah diriwayatkan bahwa Rosulullah berbuat adil kepada istri-istrinya semuanya sampai dalam masalah ciuman.[4]

Berlaku Adil Terhadap Istri-Istri Yang Dimiliki
-          Diwajibkan untuk taswiyah di dalam pembagian waktu bermalam di antara istri-istri yang dinikahinya.
-          Hendaknya waktu bermalam di antara para istrinya adalan satu malam satu malam. Kecuali jika istri yang lain meridhai untuk lebih dari pada itu.
-          Ibnu Mundzir berkata, “Menurut Ahlu Ilmi bahwa pembagian waktu bermalam antara istri yang muslimah dan zimmiyan adalah sama.”
-          Diperbolehkan untuk mendatangi istri yang meskipun bukan jadwalnya untuk suatu keperluan tertentu. Jika dia bermalam dan melakukan jimak maka dia wajib mengqodo’nya . Sebagaimana pekataan Aisyah,

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل علي في يوم غيرى فينال مني كل شيء إلا الجماع
                   Adalah Rosulullah mendatangiku pada hari yang bukan menjadi jatahku, kemudian Rosulullah mendapatkan dariku segala sesuatu kecuali jimak.”     
-          Tidak diwajibkan untuk berbuat sama di antara istri-istrinya di dalam jimak dan segala sesuatu yang bisa membangkitkannya.[5]
-          Imam Nawawi berkata, “Disunnahkan untuk taswiyah didalam istimta’ karena hal tersebut lebih sempurna dan lebih adil untuk dilaksanakan. Jika tidak demikian maka diperbolehkan, karena dorongan untuk istimta’, syahwat dan kecintaan tidak mungkin untuk disamakan di antara istri-istri yang ada.”
-          Ashabuna berkata, “Diperbolehkan untuk tinggal bermalam kepada salah satu istri lebih dari tiga hari dengan izin istri yang lain, jika tanpa izin maka hal itu tidak diperbolehkan. Dari Aisyah berkata,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لنسائه كل واحدة يوما وليلتها، غير أن سودة رضى الله
عنها وهبت ليلتها لعائشة.
                “Adalah Rosulullah saw, membagi jatah bergilir kepad istri-istrinya yaitu satu hari satu malam. Kecuali Saudah dia memberikan jatah malamnya kepadaku.”[6]




[1] .Tafsir Thobari:
[2]. Tafsir Ibnu Katsir: 2/430-431
[3] . Tafsir Al-Qhurtubi: 5/407-408
[4] Al Mughni: 8/149
[5] . Manarus Sabil; 2/146
[6] . Majmu’ syarhu muhazzab; 16/429-430

0 komentar:

Posting Komentar