Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Selasa, 13 Desember 2011

Hadiah Terindah


Hadiah Terindah



Kehadiran

Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya.
Memang bisa juga hadir lewat surat, telepon, foto, atau faks.
Namun dengan berada di sampingnya, dapat berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif.
Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting.
Jadikan kehadiran sebagai pembawa kebahagiaan.





Mendengar

Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini.                                          
Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan sudah lama diketahui bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan.
Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati.  
Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan.
Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi.
Biarkan ia menuntaskannya, ini memudahkan memberikan tanggapan yang tepat setelah itu.
Tidak harus berupa diskusi atau penilaian.
Sekedar ucapan terima kasihpun akan terdengar manis baginya.





Diam

Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan.
Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang.
Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya "ruang".
Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik, bahkan mengomel. 





Kebebasan

Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki
atau mengatur kehidupan orang bersangkutan.
Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya ?
Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta.

Makna kebebasan bukanlah "Kau bebas berbuat semaumu".
Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.





Keindahan

Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho.
Bahkan tak salah jika mengkadokannya tiap hari !
Selain juga keindahan penampilan pribadi.





Tanggapan Positif

Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negative terhadap pikiran, sikap, atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita.
Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus.
Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi Anda.
Ingat-ingat pula, pernahkah memujinya.
Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf) adalah kado indah yang sering terlupakan.





Kesediaan Mengalah

Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran.
Apalagi sampai menjadi cekcok yang hebat. Semestinya pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan itu ?
Bila memikirkan hal ini, berarti siap memberikan kado "kesediaan mengalah".
Okelah, mungkin kesal atau marah karena telat datang memenuhi janji.
Tapi kalau kejadiannya baru sekali itu, kenapa musti jadi pemicu pertengkaran yang berlarut-larut ?
Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.





Senyuman

Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa.
Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputusasaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah.
Senyuman juga merupakan syarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali kita menghadiahkan senyuman manis pada orang yang kita kasihi ?


Izinkan Aku Menciummu Bu


Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.

Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu.

Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu.
Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya.
Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.


Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.


Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.



Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do'a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguk nya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

0 komentar:

Posting Komentar