Apakah al-Qur’an perlu hermenetik
Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, dan yang juga berasal dari perkataan Greek hermeneutikos bukan merupakan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (world-view; weltanschauung). Apabila perkataan ini dikaitkan dengan al- Qur'an, ataupun dengan Biblical Studies, arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri.
Oleh sebab itu, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hermeneutika al-Qur'an, lebih baik kita bahas dahulu perbedaan arti bahasa (linguistic meaning) dan arti istilah (technical meaning) hermeneutika itu sendiri. Dari segi bahasa misalnya Aristotle pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa Latin, al-Farabi (w. 339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-'Ibarah.
Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern kini. Hermeneias yang dia kemukakan, menyusuli karyanya Kategoriai, sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu. Dari segi bahasa, al-Farabi sangat tepat mengalihbahasakan hermeneuias sebagai 'ibarah yang memberi konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna-makna tertentu. Begitulah pengertian hermeneutika yang pada asalnya hanya merujuk kepada makna bahasanya semata.
Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengetian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah kamus filsafat, misalnya, menyatakan:
Hermeneutics. . . .Originally concerned more narrowly with interpreting sacred texts, the term acquired a much broader significance in its historical development and finally became a philosophical position in twentieth century German philosophy.
Sebuah thesis Ph.D. mengenai hermeneutika juga menyatakan hal itu:
Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Jadi istilah 'hermeneutika' kemudian telah beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat. Menarik untuk menelusuri sedikit latar belakang mengapa hermeneutika digunakan oleh para teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami teks-teks Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible."
For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible.
Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari nilai kebenaran Bible? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan lagi:
Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.
Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi "individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors" (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible "between the line" demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.
Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" atau pun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad (s.a.w.). Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam salat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.
Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality, sepertimana dinyatakan oleh seorang pengkaji sejarah Bible:
The Hebrew text now in our possession has one special peculiarity: notwithstanding its considerable age, it comes to us in relatively late manuscripts which are therefore far removed in time from the originals (sometimes by more than a thausand years). . . .none of these manuscripts is earlier than the ninth century C.E.
Begitu juga Kitab Perjanjian Baru, mempunyai masalah yang sama dengan Kitab Perjanjian Lama:
The New Testament scriptures also reflect similar problems as those of the Hebrew Bible. These scriptures, particularly the gospels, were written after the period of Jesus, in the Greek language, that he most probably did not speak. Moreover, it is acknowledged by prominent Christian authorities that the purpose of the gospel writers was not to write objective history but for evangelical purpose, which in part led to the profusion of allegorical commentaries.
Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorangpun kini yang native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Semitic languages). Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga ke hari ini.
. . . the search for the 'original Semitic language' was on. . . and Arabic with its 'primitive' inflections soon became the firm favourite as the primary witness to what that original language must have looked like.
Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur'an itu sendiri. Jadi al-Qur'an lah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri," atau "to understand the author better than he understood himself." Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.
Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah s.a.w.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.
Al-Jurjani (w. 816/1413), misalnya, dalam kamus istilahnya yang terkenal, Kitab al-Ta'rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan ta'wil sebagai berikut:
Ta'wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia bekmakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan [semangat] Kitab dan Sunnah. Contohnya seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (al-Anbiya': 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ta'wil itu lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat-ayat al-Qur'an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta'wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Tegasnya, "textual criticism" untuk al-Qur'an tidak ada dalam tradisi Islam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, tetap tidak bisa disamakan antara tafsir ataupun ta'wil dengan hermeneutika yang berangkat dari "textual criticism" pada Bible. Sebuah buku Hermeneutika terbitan Kanisius Yogyakarta, misalnya, sempat menyamakan al-Qur'an dengan Bible dan kitab agama yang lain, dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeneutika. Penulis buku tersebut mengatakan:
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik.
Pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "karya yang mendapat inspirasi Ilahi" seperti juga Bible, jelas tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Orang-orang Islam tidak pernah memahami bahwa al-Qur'an itu sebuah "karya" sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami karya tersebut. Sebaliknya, pemikiran itu datang dari kaum Orientalis yang mengecoh kaum Muslimin agar menganggap bahwa al-Qur'an itu karya Muhammad dan menyatakan bahwa Islam juga agama buatan Muhammad alias Muhammadanism. Padahal orang-orang Kristen sendiripun, yang masih mempunyai masalah dengan teks-teks Bible, tidak pernah mengatakan bahwa Injil itu karya Nabi Isa.
Jadi, tradisi tafsir dalam Islam tidak sama dengan tradisi hermeneutika dalam Kristen. Seorang sarjana Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika:
Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.
Singkatnya, hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bible itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur'an. Sehingga apa yang hilang pada Bible dapat ditemukan dalam al-Qur'an.
Kembali kepada makna istilah hermeneutika, seperti yang dinyatakan sebelum ini, perpindahan makna hermeneutika dari ruang lingkup teologi kepada ruang lingkup filsafat dibidani oleh filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri 'hermeneutika umum' yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian. Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher. "He founded general hermeneutics for theological reasons." Schleiermacher yang Protestan sudah tentu tidak setuju dengan interpretasi-interpretasi Katolik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan lembaga kepausannya. Baginya interpretasi Protestan terhadap Bible itu lebih mendekati ajaran Nabi Isa yang sebenarnya.
The theological concerns that made Schleiermacher undertake the project of general hermeneutics are made very clear in his: Brief Outline of the Study of Theology. . . .In his work, General Hermeneutics is supposed to supply the basis for a biblical hermeneutics that would make knowledge of primitive Christianity possible, and vindicate Protestant claims to being more faithful to the original teachings of Christ.
Sudah tentu ketika teks-teks Bible menjadi masalah, maka interpretasi-nya pun akan lebih bermasalah. Tidak mengherankan dalam hal ini jika Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai "krisis interpretasi Bible" dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya. Dia katakan:
Hermeneutics, the study of proper means of text-interpretation, is not the cause of the current biblical studies, rather it may point indirectly to some ways out of this crisis.
Apabila kemudian hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.
Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur'an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur'an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam "school of thought" tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.
Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.
Hermeneutic circle: The problem in the process of interpretation that arise when one element, for instance in a text, can only be understood in terms of the meanings of others or of the whole text, yet understanding these other elements, or the whole text, in turn presupposes understanding of the original element. Each can only be understood in the light of the others. . . . . The phenomenon has preoccupied German thinkers from Schleiermacher and Dilthey through Heidegger and Gadamer.
Di dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada usul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayatnya adalah < i>, dan bahagian- bahagiannya ada yang menunjukkan qat'iyy al-dilalah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma'lum min al-din bi al-darurah, ada sesuatu yang ijma' mengenai al-Qur'an, dan ada yang difahami sebagai al-Qur'an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasannya itu adalah ajaran al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada al-Qur'an maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang usul menjadi furu', yang thawabit menjadi mutaghayyirat, yang qat'iyy menjadi zanniyy, yang ma'lum menjadi majhul, yang ijma' menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin akan menjadi zann, bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.
Aqidah al-Nasafi, misalnya, pada paragraf pertamanya menyatakan: haqa'iq al-asya' thabitatun wa al-'ilmu biha mutahhaqqiqun, khilafan li al-sufata'iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia [adalah yang] sebenarnya, bersalahan dengan [pendapat] kaum sufasta'iyyah). Salah satu golongan sufasta'iyyah (sophist) itu adalah golongan 'indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur'an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur'an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Tentu kaum Muslimin tidak bermaksud begitu apabila manafsir atau mena'wil al-Qur'an.
Surat al-Ikhlas dalam al-Qur'an, misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu. Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan "mathematical oneness" tidak keluar dari aqidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika. Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami.
Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus."
Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu.
Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir- akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:
Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi [kalau bukan mereka]." (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)
0 komentar:
Posting Komentar