Copyright © ISLAMIND
Design by Dzignine
Minggu, 11 Desember 2011

Ahlul Kitab

A)  Pengertian Ahlul Kitab    
1.      Definisi  secara Bahasa
            Kata ahl berasal dari kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl artinya adalah famili, keluarga, kerabat. Ahl ar-rajul artinya adalah istrinya, ahl ad-dâr artinya penduduk kampung, ahl al-’amr artinya penguasa, ahl al-madzhab artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab tersebut, ahl al-wabar artinya penghuni kemah (pengembara), ahl al-madar atau ahl al-hadhar artinya orang yang sudah tinggal menetap[1].
             Dari pengertian di atas, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, Maknanya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab samawi. Dengan ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab yang di turunkan Allah l .


2.    Definisi secara Istilah
            Al-Qur’an telah mengecualikan kaum Muslim dari sebutan Ahlul Kitab meskipun kaum Muslim beragama sesuai dengan kitab samawi, yaitu al-Qur’an. Berikutnya, sebutan Ahlul Kitab secara syar’i hanya menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani, tidak mencakup selain keduanya.
                Kata Ahlul Kitab dinyatakan di dalam 31 ayat al-Qur’an [2] . Al-Qur’an menggunakan kata Ahl al-Kitâb hanya dengan penunjukkan kepada dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani. Terbukti bahwa semua ayat Ahl al-Kitâb menunjuk kepada dua golongan tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat tersebut, juga dari sebab-sebab turunnya.               
              Pada masa Rasulullah n dan sahabatnya  sebutan  Ahl al-Kitâb selalu digunakan hanya untuk menunjuk dua komunitas pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut sebagai Ahl al-Kitâb. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitâb hanya Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel, sedangkan di luar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, tidak termasuk Ahl al-kitâb. Mereka berargumentasi bahwa Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa obyek seruan Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. yang diutus hanya Bani Israel. Akan tetapi, hal itu tidak menunjukkan tidak bolehnya orang di luar Bani Israel mengikuti risalah Taurat dan Injil, juga tidak menunjukkan bahwa pengikut Taurat dan Injil selain Bani Israel tidak termasuk Ahl al-Kitâb. Apalagi bahwa orang-orang Arab (bukan keturunan Bani Israel) pada masa Nabi n tetap dimasukkan sebagai bagian Ahl al-Kitâb, di samping karena sebutan Ahl al-Kitâb adalah umum untuk semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani.       
            Imam ath-Thabari v, ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 64, menyatakan: “Ahl al-Kitâb bersifat umum mencakup seluruh pengikut Taurat dan pengikut Injil. Yang demikian sudah diketahui bersama, yakni bahwa yang dimaksud dengn Ahl al-Kitâb adalah dua golongan itu seluruhnya.” Hal senada juga dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr[3].     
             Imam Ibnu Katsir v , ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan: “Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh Ahl al-Kitâb, yaitu Yahudi dan Nasrani, serta siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka [4].
Artinya, setiap orang yang menganut agama Yahudi atau Nasrani, sekalipun bukan keturunan Bani Israel, adalah bagian dari Ahl al-Kitâb.    
            Ada juga sebagian kaum Muslim yang beranggapan bahwa sekarang Ahl al-Kitâb sudah tidak ada. Artinya, orang Yahudi dan Nasrani sekarang bukanlah Ahl al-Kitâb. Mereka berargumentasi, Ahl al-Kitâb adalah orang Yahudi dan Nasrani pada masa Rasulullah n, atau menjalankan ajaran Taurat dan Injil yang sebenarnya secara lurus. 
             Pendapat tersebut kurang tepat. Sebab, penyimpangan orang Yahudi dan Nashrani juga sudah terjadi pada masa Rasul n bahkan sudah berlangsung sebelum masa beliau. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa orang Nasrani pada waktu itu sudah meyakini ide trinitas [5]. meyakini bahwa al-Masih Putra Maryam adalah Allah[6]. meyakini al-Masih adalah anak Allah[7]. menyekutukan Allah l dengan menjadikan rahib-rahib dan orang-orang besar mereka sebagai tuhan selain Allah (orang Yahudi juga berperilaku sama)[8]. dan penyimpangan Nasrani lainnya masih banyak. Sedangkan orang Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah[9]. menutupi kebenaran dengan memalsukan isi taurat[10]. dan masih banyak penyimpangan lainnya.
Artinya, orang Yahudi dan Nasrani memang sudah menyimpang sejak masa Rasul n. Oleh karenanya, mereka dengan jelas digolongkan sebagai orang kafir[11]. Adapun sekarang, penyimpangan mereka bertambah lebih banyak lagi. Namun, status mereka adalah sama dengan pada masa Rasul n, yaitu termasuk orang kafir.
             Syekh bin Bazz v pernah di Tanya : Siapa ahlul kitab sekarang mengingat kaum yahudi  saat ini adalah kaum musyrik kepada Allah l. Dia menjawab: Bahwa ahlul kitab adalah Yahudi & Nasrani dalam kondisi kemusrikin mereka . kemusyrikin mereka telah terjadi ketika telah turunnya Al-Quran kepada nabi Muhammad n [12].    
             Ada pendapat nyleneh yang dikembangkan oleh kalangan Islam Liberal. Menurut mereka, ahl al-Kitâb bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup semua penganut agama yang memiliki kitab suci termasuk Hindu, Budha, Konghuchu, Sinto, dan lain-lain. Pendapat ini adalah pendapat batil. Rasul n dan para sahabat pada waktu itu mengetahui tentang orang Majusi dan agama mereka. Namun, orang Majusi tidak mereka sebut sebagai ahl al-Kitâb. Imam Malik bin Anas v meriwayatkan bahwa Umar a pernah menyebut Majusi lalu berkata, “Saya tidak tahu bagaimana memperlakukan urusan mereka.”    
               Kenyataan bahwa mereka bukan ahlul Kitab juga diperkuat oleh fakta bahwa hukum tentang ahlul Kitab tidak diterapkan semua atas mereka. Hasan bin Muhammad bin ’Ali bin Abi Thalib a  menuturkan:           
"Rasulullah n pernah menulis surat kepada orang-orang Majusi Hajar. Beliau menyeru mereka pada Islam. Siapa saja yang masuk Islam diterima, sedangkan yang tidak, dikenakan atas mereka kewajiban membayar jizyah, hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi. [HR. Al-Baihaqi][13]         
            Hadis ini menjelaskan perlakuan seperti terhadap Ahlul Kitab dalam hadis Imam Malik v di atas, yaitu bahwa perlakuan sama itu tidak dalam semua hal, tetapi hanya dalam masalah jizyah. Artinya, orang Majusi juga dikenai kewajiban membayar jizyah, tetapi mereka termasuk orang-orang musyrik. Adapun bagaimana dengan As-sabiun.( orang-orang yang mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.) para ulama berbeda pendapat tentangnya apakah masuk dalam agama Ahli ktab atau tidak
            Imam Ahmad v menyatakan: Bahwa mereka termasuk kelompok Nasrani , pada tempat lain beliau berkata : ''Telah sampai kepadaku bahwa mereka berhari raya pada hari sabtu. Jika mereka berhari raya pada hari sabtu maka mereka termasuk Yahudi.''
Imam Mujahid v berkata : "Mereka (para As-shabiun )berada pertengahan antara Yahudi dan Nasrani.
Imam As-Suddi dan ar-Rabby mengatakan bahwa mereka termasuk ahlu kitab, sementara Imam Syafi'i v beliau bertawaquf tentang status mereka. Namun pendapat yang rajih adalah seandainya mereka atau siapa saja yang sejalan dengan Yahudi dan Nasrani dalam keyakinan terhadap nabi dan kitab mereka maka mereka termasuk ke dalam golongan ahlu kitab adapun jika mereka menyelisihi ahlu kitab maka mereka bukan dari ahlu kitab
             Walhasil, ahlul Kitab secara syar‘i hanyalah orang-orang beragama Yahudi dan Nasrani baik dulu pada masa Rasul n dan para sahabat ataupun masa sekarang dan yang akan datang. Baik dari keturunan Ajm, Arab ataupun dari kalangan bani Israil sendiri .
B) Hukum Lelaki Muslim  Menikahi Wanita Ahlul Kitab
            Pada permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat :
I)       Pendapat  yang memperbolehkan
             Jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan para ulama salaf dan khalaf termasuk dari kalangan Aim'matul Al-arba'ah telah bersepakat akan kebolehan seorang laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab[14], berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
a) Dari Al-Qur'an ,
 firman Allah l :
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷�s?#uä £`èdu‘qã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽö�xî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur ü“ɋς­GãB 5b#y‰÷{r& 3 `tBur ö�àÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ô‰s)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû Íot�ÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ

Artinya:” Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S al-Maidah: 5)
Ayat ini menurut para ulama tidak ada sebab turunnya melainkan Riwayat tentang ayat sebelumnya yaitu firman Allah l :
y7tRqè=t«ó¡o„ !#sŒ$tB ¨@Ïmé& öNçlm; ( ö@è% ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6ÍhŠ©Ü9$#   $tBur OçFôJ¯=tæ z`ÏiB ÇyÍ‘#uqpgø:$# tûüÎ7Ïk=s3ãB £`åktXqçHÍj>yèè? $®ÿÊE ãNä3yJ¯=tæ ª!$# ( (#qè=ä3sù !$®ÿÊE z`õ3|¡øBr& öNä3ø‹n=tæ (#rã�ä.øŒ$#ur tLôœ$# «!$# Ïmø‹n=tã ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÍÈ
"Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(Al-Maidah:4)
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini (Al-Maidah: 5):
            Pertama: "Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Asy-Syafi’i v sebagaimana dinukilkan oleh Al-Baihaqi  v  dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309) berkata: “Siapapun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapapun yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan Ajam), Maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125).  
            kedua: "Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nashrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, di mana dia mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik. Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyyah (beragama Nashrani).
         Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat Al-Baqarah:
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)     
            Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah l  maka dia haram untuk dinikahi meskipun dia Yahudiyyah atau Nasraniyyah. Adapun bila dia mentauhidkan Allah l meskipun dia tidak beriman kepada Al Qur’an dan Nabi Muhammad  n maka dia halal untuk dinikahi. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar).    
            ketiga: ''Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nashrani, baik dari kalangan Bani Israil ataupun yang lainnya, apakah dia mengikuti agama Yahudi atau Nashrani yang murni dan mentauhidkan Allah l ataukah mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah, maka semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.        
            Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh Asy-Syaukani v  dalam Fathul Qadir (2/15), Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di v dalam Taisirul Karimir Rahman (hal. 221-222) Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin v dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/218), dan pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
    1).  Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani.     
   2.) Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat Al-Baqarah:
karena Allah  l menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah l juga menerangkan tentang kesyirikan dan kekufuran mereka sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 72-73, dan surat At-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’)
    3.)Dalam hadits Abu Sufyan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah n mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nashrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38-39)
     4) Terdapat banyak Riwayat yang menyebutkan bahwa surat al-Maidah adalah surat yang terakhir rurun kepada  Rasulullah n atau surat yang paling akhir di dalam al-Qur'an. Bahkan tidak ada  satu ayat pun di dalam surat al-Maidah yang di naskh dan semua ayat –ayat yang ada di dalamnya adalah muhkam. sebagaimana yang di katakan oleh Abu Dawud di dalam kitab Nasikh dari Abu Maisarah dari Amr bin Syurahbil berkata : ''Tidak satu ayat pun dalam surat al-Maidah yang di hapus hukumnya ", begitu juga yang di keluarkan oleh Al-faryabi ,Abu Ubaid ,Abd bin Humaid ,Ibnul Mundzir dan abu Asy-syaikh dari  Abu Maisarah [15].

b)  Dari As-sunnah
            Rasulullah n  bersabda,  sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dari Jabir bin Abdillah a :
َنَتزَوَجُ نِسَاءَ أَََهْلُ اْلكِتَابُ وَلَايَتَزَجُوْنَ ِنَساءَنَا
“Kami menikahi wanita-wanita ahlul Kitab dan laki-laki ahlul Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami.”
            karena Ahul Kitab merupakan golongan tersendiri dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir. Dan dengan kesyirikan dan kekafiran yang mereka lakukan, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang pada asalnya termasuk orang-orang musyrik. Dan dasar pijakannya adalah Firman Allah l dalam beberapa ayat ketika berbicara tentang orang-orang kafir menyebutkan orang-orang musyrik setelah orang-orang Ahlul Kitab. Dan ungkapan seperti ini menunjukkan perbedaan mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:
   Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Q.S al-Bayyinah: 1)
            Allah l  juga berfirman: 
Artinya: “ Orang-orang kafir dari ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu...”(Q.S al-Baqarah: 105)

c)  Qo'ul salaf
            Di keluarkan Abdur'razak dan Ibnu Jarir dari Umar bn khotob a beliau berkata: "kaum muslimin boleh menikahi wanita Ahlul kitab dan laki-laki mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita muslimah.
             Di keluarkan Abdur'razak dan Ibnu manzur dari Jabir bin Abdillah ,ketika dia di Tanya mengenai hukum menikahi wanita-wanita Ahlul kitab baik dari Yahudi maupun Nasrani, Maka beliau menjawab; kami pernah menikah dengan mereka pada zaman fathul mekah dan ketika itu kami tidak menemukan perermpuan yang banyak ketika kami pulang kami mentalak mereka . dan wanita-wanita (Ahlul kitab)buat kami adalah halal dan wanita-wanita kami haram bagi mereka.
            Para sahabat sendiri diantaranya Utsman bin Af'fan a penah menikahi Na'ilah binti fara'fadhah Al-kalbiyah yang beragama nasrani dan melalui beliau Nailah masuk islam, sedangkan Hudzaifahajuga pernah menikahi seorang wanita-wanita yahudi dari penduduk Madain. Dan ketika Jabir di Tanya mengenai hukum menikahi wanita-wanita Ahlul kitab , Dia menjawab: kami menikahi mereka di zaman penklukan islam bersama Sa'ad bin Abi waqash a [16] .

II)     Pendapat  yang mengharamkan
            Sebagian ulama mengaharamkan secara keras pernikahan semacam ini, dan dalil-dalil mereka gunakan  adalah sebagai berikut:
Pertama:"Di riwayatkan dari Nafi  bahwa Ibnu Umar a pernah di Tanya mengenai pernikahan dengan wanita , Ahlul kitab maka beliau menjawab;
حََرامَ اللهُ تَعَالَي المُشْرِكَاتِ عَلَي الْمُْسِلِمْينَ وَلَا أَعْرِفُ شَيْءٍ مِنَ لِأشْرَاكُ أَعْظََمُ مِنَ أَنْ تَقُوْلَ اْلمَرْءَةُ َربَهَا عِيْسَي أوَ عَبْدٌ مِنَ عِبَادِ اللهِ تَعَا لَى (روه بخاري)
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-oranbg yang beriman dan aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih berat (dosanya )pada kemusyrikan ,daripada seseorang wanita yang mengucapkan :tuhanku adalah isa ,karena isa termasuk dari hamba Allah ta'ala" [Hr Bukhori]
lalu beliau membaca ayat surat Al-Baqarah ayat 221.
 Ini adalah pendapat Imamiyah(syiah )begitu juga dengan sebagian zaidiyah yang mereka menjadikan urat Al-Maidah ayat 5  terhapus dengan Ayat dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang menghapus kekhususan dengan keumuman .
F Hujah –Hujah para Jumhur ulama salaf dalam membantah pendapat ini:
1)     Menanggapi ucapan Ibnu umar ,Al-Qurthubi mengatakan : "Ucapan tersebut di luar pendapat jama'ah yang berlandaskan pada argumentasi yang kuat . diantaranya adalah pendapatnya sahabat Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah dan Hudzaifah yang menyatakan kehalalan menikahi wanita ahlul kitab . dan ini termasuk pendapatnya mayoritas para sahabat dan tabi'in secara keseluruhan. dari kalangan Tabi'in seperti Said bin Musayab, Said bin Juba'ir , Mujahid, Thawus, dll[17].
        Ibnu Hazm v mengatakan seandainya tidak ada dalil yang lain kecuali ayat ini, niscaya ucapan Ibnu Umar dapat menjadi pegangan. Akan tetapi kita juga mendapatkan firman Allah l yang lain dalam surat al-Maidah ayat 5[18].
       Syaikh kamil Uwaidah berkata : "Bahwa hadis di atas mauquf pada Ibnu umar dan bertolak belakang dengan apa yang di benarkan oleh al-Qur'an serta al-Hadist  yang shahih yang membolehkan seorang mu'min menikahi wanita Ahlul kitab . Artinya ucapan atau pendapat seseorang tidak dapat di jadikan hujah ataupun  dalil apabila di sejajarkan  dengan firman Allah l dan sabda Rasulullah n .
2)     Berkena'an dengan firman Allah l dalam surat Al-Baqarah ayat 221, Jumhur ulama berkata:
            Pertama: Jumhur Ulama beragumentasi bahwasanya lafadz (لمشركا ت) tidak mencakup Ahlul kitab karena firman Allah l dalam surat Al-Bayinat:1 :
óOs9 Ç`ä3tƒ tûïÏ%©!$# (#rã�xÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB 4Ó®Lym ãNåkuŽÏ?ù's? èpuZÉi�t7ø9$#
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,(Al-Bayinah:1)
            Berdasarkan pada lafadz di atas terdapat pemisahan antara Ahlul kitab dengan orang-orang musyrik, juga kata sambung untuk menunjukan pemisahan antara keduanya. Dan zhohir dari lafadz (musyrikat) tidak mencakup Ahlul kitab.
            Kedua: Berdasarkan hadist yang di riwayatkan para salaf yang memperbolehkan menikahi wanita-wanita Ahul kitab.
            Hamad (seorang salaf) bertanya kepada Ibrahim mengenai permasalahan menikahi Wanita-wanita Ahlul kitab baik Yahudi maupun Nasrani lalu dia bekata : Tidak apa-apa, Maka Aku berkata , bukankah Allah l berfirman (ولا تنكحوا المشركات) ….! Maka dia menjawab , sesungguhnya mereka (المشركا ت) dalam ayat ini adalah orang-orang Majuzi dan para penyembah berhala,
            Begitu juga Qotadah menafsirkan ayat ini dia bekata: "Yang dimaksud Al-musrikat) adalah kaum musyrikin arab yang mereka tidak mempunyai kitab yang mereka baca.
            Ketiga : Tidak di perbolehkan seseorang mengatakan bahwasanya ayat di dalam surat al-Baqoroh ayat 221, menghapus surat  al-maidah ayat 5, karena al-Baqoroh adalah salah satu surat yang turun di Madinah setelah peristiwa Hudaibiyah beberapa waktu adapun al-Maidah merupakan surat yang terakhir turun kepada Rasulullah n dan seluruh ayat di dalam surat al-Maidah adalah muhkam dan qaidah yang benar adalah akhir surat yang turun sebagai penghapus yang awal dan tidak sebaliknya ,tapi pendapat yang sangat mashur dari kebanyakan para ulama ahli fiqh surat al-Baqarah ayat 221 ini tidak di naskh dan tidak menaskh bahkan ayat ini masih tetap berlaku bagi semua orang-orang musyrik dan ayat dalam surat al-Maidah hanya mengkhususkan keumuman ayat tesebut tanpa ada naskh . pendapat senada juga telah di riwayatkan dari sejumlah para sahabat seperti Utsman , Thalhah , Hudzaifah , Jabir dan ibnu Abbas g.
            Ke'empat: Berdasarkan beberapa  riwayat yang menyatakan bahwasanya sahabat Hudzaifah bin Yaman a  yang menikahi wanita Yahudi di Madain ,lalu sahabat Umar bin khatab a mengirim surat kepada nya agar Ia menceraikannya,  Maka Huzaifah a mengatakan: "Apakah  engkau mengharamkanya yang mengharuskan aku untuk menceraikannya, Maka Umar a menjawab: Tidak , Aku tidak menganggapnya haram tapi Aku takut kalau mereka (kaum muslimin ) akan menikahi wanita-wanita Ahlul kitab yang telah rusak kesucian diri mereka (pelacur).
            Maka dari hadis ini bisa di ambil kesimpulan bahwasanya Umar a tidak mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita Ahlul kitab tetapi ini adalah rasa kehati-hatian Umar a terhadap nasib kaum muslimin jika para lelakinya menikahi perempuan Ahlul kitab yang mereka mengikuti jejak Hudzaifah dan sahabat lainnya  diantaranya hikmah dari pendapat Umar adalah tidak akan di telantarkannya kaum muslimah dan masih banyak hikmahnya yang lain yang menyebabkan Umar a memerintahkan para sahabatnya untuk menceraikannya.

 Kedua: "Mereka yang mengharamkan menikahi Ahlul kitab berhujah dengan dalil firman Allah l :
4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ Ì�Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«ó™ur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts† öNä3oY÷�t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ

". Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"[Al-Mumtahanah:10]

F  Syekhul islam Ibnu Taimiyah v membantah pendapat ini dengan mengatakan dari tiga sisi[19]:
1)     "Sesungguhnya Ahlul kitab tidak masuk pada golongan kaum musyrikin  sebagaimana firman Allah l:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3“t�»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uŽõ°r& ¨bÎ) ©!$# ã@ÅÁøÿtƒ óOßgoY÷�t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« Íky­ ÇÊÐÈ
"  Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin[20]] orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu[Al-Haj:17]
            Tapi mereka di sifati dengan kemusyrikan[21]. karena asal dien mereka bukanlah kemusyrikan karena Allah l telah mengutus rasul kepada mereka dengan membawa risalah tauhid . Dan setiap kaum  yang mengimani para rasul dan kitab-kitab samawi bukanlah dien mereka menjadi  sebuah kemusyrikan tapi mereka telah membuat –buat kemusyrikan. sebagaimana firman Allah l dalam surat Yunus, ayat 18.
Oleh karena itu mereka disifati dengan kemusyrikan sejak mereka mengada-ngadakan bid'ah kemusyrikan dalam ajaran agama tanpa petunjuk dari Allah l maka wajib di bedakan dengan kaum musyrikin karena dasar agama mereka mengikuti kitab yang datang dari Allah l yang mengajak kepada tauhid bukan kemusyrikan.
2)     Cangkupan lafadz ( (المشركينseperti yang di sifati oleh Allah l tehadap mereka . Maka dari sini membedakan dilalah lafadz yang mufrad dengan yang makrun (lafadz yang menyertai) jika lafadz musyrikin dengan bentuk mufrodh maka Ahlul kitab masuk ,tapi jika lafadz ahlul kitab disertai dengan lafadz musyrikin maka ahlul kitab tidak masuk kedalam golongan kaum musyrikin, Maka berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwasanya surat al-Baqaroh ayat 221 masih bersifat umum sedangkan surat al-Maidah ayat 25, itu bersifat khusus, dan lafadz khusus lebih di dahulukan daripada lafadz umum .
3)     Ayat ini turun setelah Sulhul Hudaibiyah yang terjadi pada th 6 H, sebab nuzul ayat ini adalah ketika kaum muslimin behijrah ke-Madinah lalu turunlah surat al-Mumtahanah ayat yang kesepuluh yang memerintahkan untuk menguji keimanan orang-orang yang berhijrah dari kalangan wanita. dan khitab ayat ini adalah kepada kaum muslimin yang masih mengikat pernikahan dengan wanita kafir, karena lafadz alif laam dari lafadz Al-kawafir adalah sebagai ahd (yang mengikat perjanjian pernikahan) dan wanita kafir yang mengikat perjanjian pernikahan dengan kaum muslimin adalah wanita musyrik.

& Kesimpulannya :
            Dari argumentasi yang telah dipaparkan oleh dua kelompok di atas, maka pendapat yang paling kuat diantara pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi para wanita ahlul Kitab sebagaimana pendapat jumhur ulama.

III)       Di makruhkan menikahi wanita –wanita Ahlul kitab
            Menikahi wanita-wanita Ahlul kitab, walaupun di perbolehkan tapi di sana di makruhkan. karena ada beberapa sebab:
            Pertama: "wanita Ahlul kitab tidak mengimani risalah yang di bawa oleh nabi Muhammad n  yang menyebabkan di takutkan mereka bisa memalingkan kaum muslimin dari dien mereka .
            Kedua: "Di takutkan para wanita Ahlul kitab adalah ibu bagi anak kaum muslimin yang menyebabkan anak kaum muslimin bisa di jerumuskan oleh mereka ke dalam kemusyrikan karena madrasah pertama bagi seorang anak adalah ibu mereka.
            Para ulama yang memakruhkan adalah pendapatnya Imam Hanafi v dan Sya’fi v sedangkan Imam Malik v memperbolehkan menikahi wanita Ahlul kitab dari kalangan kafir dzimmi saja, sebagaimana perkata’an Ibnu Abbas: ”Dari para wanita  Ahlul kitab mana yang di halalkan bagi kami dan mana yang tidak di halalkan bagi kami ,lalu beliau membaca Ayat (وقا تلو ا الذين لا يومنون با الله واليوم لأ خير  ) sampai firman allah (حت يعتوا الجزية عن يد  ) maka barang siapa ytang membayar jisyah maka dihalalkan untuk di nikahi adapun mereka yang belum di haramkan untuk di nikahi.[22]
            Karena para sahabat yang menikah yang mereka menikahi wanita –wanita Ahlul kitab adalah dari kalangan kafir dzimmi, bukan dari kalangan kafir harbi.
         Adapun pendapatnya Sayyid bin  Musayyab dan Hasan Al-Basry mengatakan (المحصنات من الذين أتو الكتا ب) “ini masuknya kepada kafir dzimmi dan harbi dan boleh menikahi mereka.    
            Adapun mereka yang mengharamkan menikahi wanita Ahlul kitab dari kalangan kafir harbi adalah pendaptnya mazhab Hanafi. karena seandainya di Darul Harbi , Maka menikahi mereka bisa menjerumuskan kepada pintu fitnah dan mazhab Syafi’I hanya memakruhkan. Adapun mazhabnya Hambali melarangnya karena menyelisihi pendapatnya sahabat Umar bin khatab a.
Adapun bolehnya menikahi budak dari kalangan Ahlul kitab , Maka Abu Hanifah v dan  para sahabatnya memperbolehkannya , sedangkan Imam Malik , Syafi’I, Al-laysi , dan Al-Awza’I mengharamkannya [23]. dan begitu juga dengan Imam Ahmad yang mengharamkannya . karena Allah l hanya memperbolehkan menikahi para muhsonat sebagaimana firman Allah l dalam surat Al-Maidah ayat lima.
Adapun permasalahan bolehnya menyetubuhi budak dari kalangan Ahlul kitab maka para Ahlul ilmi baik dari kalangan A’immah Al-Arba’ah dan selain mereka memperbolehkannya. dan belum pernah di temukan dari perkata’an para salaf yang mengharamkannya. Adapun firqah yang mereka yang mengharamkannya adalah dari kalangan Syi’ah. Adapun mengenai pendapat yang memakruhkannya menikahi mereka tanpa ada sebuah maslahat atau hajat,  Maka ini juga masih di perselisihkan begitu juga dengan makruhnya menyetubuhi budak dari kalangan Ahlul kitab ini juga masih di perselisihkan .

C)   Penyebab-penyebab di perbolehkannya  menikahi wanita ahlul kitab, diantaranya  :
Pertama: ''Mereka memiliki kesama'an di dalam keimanan yang sebagiannya adalah dasar-dasar yang  pokok .
Kedua: ''Mereka memiliki kesama'an di dalam pengetahuan mereka tentang Allah l. dan keimanan dengan para rasul dan hari akhir dan dari perkara hisab dan Adzab.
            Maka berdasarkan inilah di perbolehkan menikahi mereka dengan adanya persama'an ini bisa di harapkan keislaman mereka ,karena mereka juga mengimani kitab–kitab para Nabi dan Rasul-rasul. dan ini semua merupakan faktor dalam melanggengkan pernikahan dengan mereka .



D)  Hikmah–hikmah di perbolehkannya menikahi wanita Ahlul kitab, diantaranya :
 Pertama: ''Untuk menghilangkan pembatas-pembatas antara Ahlul kitab dan islam karena dengan menikahi mereka maka terjadilah internalisasi dan hubungan antar keduanya dan saling tolong menolong dalam permasalahan kekeluarga'an , Maka dari sinilah terbukalah peluang bagi Ahlul kitab dalam mempelajari jati diri  islam itu sendiri baik dari hak-haknya ,perundang-undangan dsb.
            Kedua: ''Ini merupakan metrode dalam menghubungkan  kaum muslimin dengan Ahli kitab dan juga sebagai metode dalam mendakwahkan mereka kepada dienul islam.
 Ketiga; ''karena kaum muslimin mengimani semua para Rasul dan juga semua dien yang di bawa para rasul. maka perkara ini tidak membahayakan bagi perempuan Ahli kitab di dalam keyakinan mereka dan perasa’an mereka dan dan juga tentunya kaum muslimin memiliki kekuatan dalam keluarga yang bisa mengatur istrinya.
            Adapun jika kemudhorotannya lebih besar maka hukum menikahi mereka menjadi haram. berdasarkan firman Allah l:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷s•B ׎ö�yz `ÏiB 7px.ÎŽô³•B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í`ÏB÷s•B ׎ö�yz `ÏiB 78ÎŽô³•B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n<Î) Í‘$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããô‰tƒ ’n<Î) Ïp¨Yyfø9$# Íot�ÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã�©.x‹tGtƒ ÇËËÊÈ

      Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik.(Q.S al-Baqarah: 221).                       .
           Dan secara konteks keumuman larangan di dalam ayat ini menyangkut orang-orang penyembah berhala dan ahlul Kitab. Hal ini sesuai dengan firman Allah l:                                                                  
          Artinya: ”Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nashrani berkata: “al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling ?“(Q.S At-Taubah: 30)

E)    Syarat Dibolehkannya Menikahi Wanita Ahlul Kitab
             Meskipun para Ulama dan ahli Fiqh dikalangan kaum muslimin mengatakan bolehnya menikahi wanita ahli kitab secara mutlak dari kalangan Yahudi dan Nashrani sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’anul Karim, namun tidak mengenyampingkan perlunya peringatan dan penjelasan bagi kaum muslimin bahkan setiap muslim yang menghendaki pernikahan semacam ini kecuali dalam kondisi tertentu seperti telah memilikin aqidah yang kuat (lurus dan benar), memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’atnya, senantiasa berusaha mengaplikasikannya dan membiasakannya (dalam kehidupan sehari-hari). Kalau tidak demikian maka para Ulama menganggap pernikahan yang semacam ini tidak disukai dan haram hukumnya. Hal ini dikarenakan nikahnya seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, sementara aqidah dia tidak kuat, bodoh terhadap hukum-hukum syari’at Islam, dan cenderung menyelisihi dari jalan yang benar menjadikan sebab dia binasa, juga keturunannya dan keluarnya mereka dari Islam seperti lepasnya busur panah dari sarangnya.
            Maka dalam kondisi dan keadaan seperti ini para Ulama mengutamakan pernikahan seorang muslim yang seperti ini dengan wanita muslimah yang memiliki agama yang kuat, dan yang demikian berdasarkan sabda Nabi n :
فاظفر بذات الدين تربت يداك
Artinya: .....pilihlah wanita yang beragama, kalau tidak niscaya kamu akan celaka. (al-Hadits).
            Dan karena yang demikian juga dapat menjamin lurusnya aqidah seseorang, selamat agamanya, keluarganya bahagia, perkembangan anak-anaknya baik dalam naungan Islam.
      Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan Al Muhshanat (المحصنات )  dalam ayat di atas   yang menjadi syarat mutlak menikahi mereka , memiliki dua pengertian:
      1). Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina) maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh ahlul Kitab baik merdeka atau budak asalkan dia afifah. Ibnu Jarir v menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir). 
       2). Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat  jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Mereka berdalilkan dengan firman Allah l dalam surat An-Nisa ayat 25:
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Dan ayat ini sebagai pengkhususan dari ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ayat: 221.firmannya :
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran"[Al-Baqarah :221]
Di keluarkan dari oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas a  berkata tentang ayat ini, Allah l telah menghalalkan bagi kita makanan-makanan mereka dan perempuan-perempuan mereka.         
            Sisi pendalilannya adalah ketika Allah l mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan dan Ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah l membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah l:       
 “Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 3).
F   Pendapat ini dirajihkan oleh As-Sa’di dan Al-Utsaimin dan inilah yang rajih, wallahu a’lam. 
              Asy-Syaikh Muqbil v dalam kitabnya Ijabatus Sail hal. 614-615 menegaskan: Bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam karena dia masih kafir. Akan tetapi yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasehatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri terlanjur mencintai suaminya maka biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.

F)    Mudhorot –Mudhorot Yang  Di Khawatirkan Oleh Para Ulama Akibat  Menikahi Mereka, Diantaranya :
            Pertama: ''Asy-Syaikh Muqbil v menasehatkan dalam Ijabatus Sail hal. 531, : Bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyyah atau Nashraniyyah. Apabila di negeri itu Yahudi atau Nashara lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan mempengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nashara.
            Ke'dua : ''Tokoh pemikir Muslim asal Mesir, Sayid Quthub v , dalam Tafsir Fi Dhilalil Quran menulis: ''Kita menyaksikan pada masa kini bahwa pernikahan antaragama membawa keburukan atas rumah tangga Muslim. Kenyataan menunjukkan bahwa istri yang Yahudi atau Nasrani atau yang tidak beragama, memberi shibghah (corak) rumah tangga dan anak-anaknya dengan sibghah-nya itu, akhirnya ia melahirkan satu generasi yang berpaling dari Islam.''
            Ke'tiga: "Dr. Yusuf al-Qardhawi v berkata di dalam kitabnya al-halal wal haram: "Apabila jumlah umat islam sedikit di suatu negara (minoritas ) ,pendapat yang di unggulkan dalam masalah ini dalah pendapat yang mengharamian lelaki mereka mengawini wanita-wanita non muslim . karena perkawinan mereka dengan wanita-wanita non-Muslim dalam kondisi seperti ini dengan tetap menegakan hukum yang mengharamkan perkawinan wanita–wanita muslim dengan laki-laki non-Muslim, berarti mengentaskan anak-anak perempuan muslimah atau paling kurang, sebagian dari mereka sehingga mereka tidak laku dan mengalami kehancuran. hal ini merupakan bahaya yang paling besar bagi masyarakat muslim. dan itu adalah bahaya yang tidak akan hilang dengan mengikat (mensyaratkan )pembolehan perkawinan itu dan memberlakukannya sampai beberapa waktu .
            Ke'empat: "Prof.Dr.Buya Hamka (ketua umum MUI pertama) pernah mengatakan: kalau agama tidak sama, maka anak keturunan akan pecah jiwanya, bahkan besar kemungkinan karena tenggang-menenggang suami istri, keduanya sama-sama melalaikan agamanya, yang menyebabkan anak-anak mereka pun tidak tentu lagi apa agamanya .

& Kesimpulannya:
             Setelah penulis menela’ah dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun qoul para salaf dan mempertimbangkan maslahat ataupun mudharat yang akan terjadi berkena'an dengan masalah ini, Maka penulis menyimpulkan bahwasanya ada syarat-syarat yang harus di penuhi bagi  seorang laki-laki muslim yang ingin menikahi wanita Ahlul kitab. Yaitu syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Hendaknya dia memiliki Aqidah yang kuat , menguasai ilmu-ilmu islam dan Akhlak yang hasanah, karena dengan perangkat atau wasilah yang telah terpatri dalam dirinya bisa membentengi dirinya dalam mengarungi bahtera rumah tangganya  bersama dengan mereka dan si lelaki juga bisa mengarahkan si wanita kepada cahaya islam dan tidak di khawatirkan bagi si laki-laki dan Anak-anaknya untung menyimpang kepada kemusyrikan .
2) Hendaknya mereka para wanita Ahlul kitab adalah orang yang selalu menjaga kehormatan diri dan kesucian mereka dan tidak pernah mengumbar aurat mereka di depan laki-laki asing yang bukan mahram mereka .
3) Hendaknya mereka para wanita Ahlul kitab adalah wanita –wanita merdeka bukan para budak.
             Lalu Apakah golongan wanita  Ahlul kitab yang memenuhi kriteria –kriteria  syarat-syarat  di atas   masih Ada pada sa'at ini?
             Jika golongan dari wanita Ahlul kitab yang memenuhik kriteria –kriteria dia atas masih ada pada realita sekarang ini dan sang lelaki muslim tentunya memiliki keimanan yang mantap, Maka di bolehkan baginya untuk menikahi mereka .

 الحمد الله رب العالمين


   Referensi:
1.   Tafsir Al-Quranul Azim , Ibnu katsir, Dar fay'ha, Damaskus, Cet ke 2, Th : 1418 H/1998.
2.   Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Jarir Ath-Thabari
3.   Tafsir Ad-Durur Al-Mansur fie Tafsir Al-Ma'sur , Jalaluddien As-Suyuti, Dar Al-fikr, Beirut, Cet Th ; 1914H/1993M.
4.   Taysirul Al-karimi Ar-Rahman fie kalami Al-Manan, Abdurrahman As-Sa'die, Muasasah   Ar-Risalah , Cet 1 , Th :1421H/2000M
5.   Zubdatu At-Tafasir min fathul Qadir, Sulaiman Al-Asqar, Dar fayha, Damaskus , Cet 5, Th: 1414H/1994 M.
6.   Tafsir fie Zilali Al-Qur'an, Said Quthb, Dar As-Syuruk, Beirut, Cet 5, Th : 1408H/1988 M
7.   Tafsir Fahrurazi, Imam Fahrurazi, Dar fikr , Beirut, Th :1415 H/1995M.
8.   Majmu Fatawa, Ibn At-Taimiyah, Dar Al-Wafa'a, Riyadh, Cet 2 Th : 1419H/1998 M.
9.   Majmu fatawa Maqalat al-Mutanawiah, Syekh ibn Abdul Aziz bin Baz.
10.     Fiqh Al-Islam wa Ad-dilatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaily, Dar fikr, Damaskus , Cet ke 4, Th : 1418H/1997 M
11.     Fiqh As-Sunnah , Sayid Sabiq, Dar Fikr, Beirut, Cet ke 4, Th :1403H/1983 M.
12.     Rawa'iul Bayaan Tafsirul Ayat Al-Ahkam, As-Shobuni, Maktabah Ghozali, Damaskus, Cet ke 3, Th: 1400H/1980 M.
13.     Fiqh wanita, Syekh Muhammad Kamil Uwaidah, Pustaka Al-kautsar, Indonesia , Cet ke1, Th :1998M
14.     Jariamah Az-zawaaj bighairil Muslimat (apa bahayanya menikah dengan wanita non-muslim), Abdul Muta'al al-jabri, Gema insani press, Indonesia, Cet I, Muharram 1424 H/Maret 2003M.
15.     Syarhul Mumti'e , Syekh Utsaimin.
16.     Az-Zawaj bighoiril Muslimin, Syekh Hasan khalid (menikah dengan non- Muslim), Pustaka Al-Sofwa , Cet ke1, Th: 2004.
17.     Halal wal Haram , Yusuf Qordhowi.
18.     Kamus Al-Munawir , A.W.Munawir, Pustaka Progresif, Cet ke 25,Th :2002
 Kamus Lisân al-’Arab,  Ibn Manzhur.

[1] . Kamus al-Munawir hlm. 46, Pustaka Progressif; Lisân al-’Arab,  Ibn Manzhur,  1/28; al-Manawi, at-Ta‘ârif 1/105; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 1/13.
[2]. QS 02: 105, 109; QS 03: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; QS 04: 153, 159, 171; QS 05: 15, 19, 59, 65, 68, 77; QS 29: 46; QS 33: 26; QS 57: 29; QS 59: 2, 11; QS 98: 1, 6.

[3]. Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 3/303, Dar al-Fikr, Beirut; Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/348. Dar al-Fikr, Beirut.
[4] . Tafsir. Ibn Katsir sîr Ibn Katsîr, 1/372. Dar al-Fikr, Beirut
[5] . Lihat: QS al-Maidah: 73, ide trinitas sendiri dijadikan doktrin resmi gereja dalam Konferensi Nicea pada abad ke-2 M.
[6] Lihat: QS al-Maidah : 17.            
7. Lihat: QS at-Taubah: 30.

[8] . Lihat: QS Ali Imran : 64.
[9] . Lihat: QS at-Taubah: 30.
[10]. Lihat: QS Ali Imran: 71 dan 78. Lihat juga catatan kaki al-Quran dan terjemahan maknanya oleh Depag, yang mengisyaratkan bahwa orang Nasrani juga melakukan hal sama.
[11] . Sebagai tambahan, lihat: QS al-Baqarah [02]: 105; al-Hasyr [59]: 2, 11; al-Bayyinah [98] 1,6.
[12] .Majmu fatawa Maqalat al-Mutanawiah, Abdul aziz bin Baz, 2/441.
[13] Al-Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, hlm. 108, Hizbut Tahrir cet. 4 (Mu’tamadah). 2003..
[14] . Majmu Fatawa , Ibnu Taimiyah,  16/113; Fiqh Islam Wa Adillatuhu , Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 9/6653; Ra'waiul Baya'an Tafsir Ayasiril Ahkam Minal Al-qur'an , 1/287: Fiqh Sun'nah Sayyid Sabiq. 2/41.
[15] Az-Zawaj bighoiril Muslimin , Syaikh Hasan Khalid, Hal 115-116.
[16] . Fiqh Sunnah,  Sayyid Sabiq  ,2/41.
[17] . Ibid 2/90.
[18] . Fiqh wanita , Syaikh Kamil Uwaidah hal 388-389.
[19] . Majmu fatawa, Ibnu taimiyah 16/113
[20]. Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[21] . Qs.At-Taubah:31.
[22] . Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/691.
[23] . Majmu fatawa, 16/115.

0 komentar:

Posting Komentar